Analisis Kondisi Indonesia Terkini

Analisis Kondisi Indonesia Terkini

Salam Ganesha!

Merdeka!!!

Sebagai generasi muda yang akan memimpin Indonesia di masa depan, sudah jelas bagi kita untuk memahami kondisi negara kita di hari ini. Sebelum jauh kita berpikir mengenai apa yang akan kita lakukan sebagai solusi atas persoalan bangsa, tentu kita harus mengerti dulu apa persoalan yang bertubi-tubi diderita oleh negara kita.

Indonesia yang diproklamasikan berdiri menjadi negara dengan konstitusi dan hukum modern di tahun 1945, sebenarnya sudah memiliki peradaban berusia ribuan tahun lamanya. Berbagai kerajaan, dinasti, suku bangsa sudah berulang kali mencoba mengintegrasikan wilayah Nusantara ini dengan semangat persatuan di atas perbedaan, Bhinneka Tunggal Ika, Silih Asah-Asih-Asuh, dan kemudian istilah peradaban Barat yaitu demokrasi kita adopsi untuk kemudian disatukan dengan dasar negara kita yaitu Pancasila, menjadi Demokrasi Pancasila. Dengan usia peradaban berbilang ribuan tahun, sudah barang tentu bangsa kita berhak berdiri sejajar dengan bangsa lainnya sebagai bangsa yang bermartabat dan memiliki hak untuk menentukan arah sejarah manusia.

Dan generasi muda sebagai pemegang estafet kepemimpinan selalu menjadi garda terdepan dalam usaha integrasi ide dan wilayah menjadi Indonesia. Indonesia modern yang berdiri di tahun 1945 diawali oleh Sumpah Pemuda 1928, yang juga diawali oleh beberapa aktivis muda Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Muhammad Natsir. Tetapi dalam perjalanannya, kaum muda Indonesia selalu bergolak, tidak puas dengan rezim yang berkuasa, lalu akhirnya menumbangkan kekuasaan. Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 selalu diingat sebagai bentuk ketidakpuasan pemuda, pelajar dan mahasiswa terhadap melencengnya Rezim Penguasa dari cita-cita negara Indonesia. Seperti kata seorang terpelajar tahun 60an, Soe Hok Gie, “Kita generasi muda sudah semestinya memberantas mereka generasi tua yang mengacau.”

Dan hari ini, kita berada di sebuah titik jenuh ketidakpuasan, dan selalu bergulir dikepala kita semua mau dibawa kemana negara kita, saat tahun kita usia negara kita berada di angka 65 tahun. Pada tahun 2007, 2008 dan 2009, negara kita sempat masuk pada kategori mendapat peringatan terancam menjadi negara gagal (Failed State)[1]. Di awal dekade ini, negara kita bertubi-tubi ditimpa berbagai persoalan, dari mulai isu Cicak versus Buaya, kasus Bailout Bank Century, kasus terorisme, mafia pajak, mafia hukum, sampai bencana alam yang tidak henti-hentinya mengisyaratkan bahwa masyarakat Indonesia tidak pernah siap menghadapi bencana.

Setidaknya sejak reformasi 1998, ada 11 isu yang mendominasi isu di ranah kemasyarakatan, isu-isu itu antara lain:

1. Reformasi Birokrasi

2. Penegakan Hukum untuk Tindak Pidana KKN

3. Otonomi Daerah

4. Demokrasi dengan Pemilu Langsung

5. Ekonomi Makro

6. Kemandirian Energi

7. Ketahanan Pangan

8. Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial

9. Agama dan Ideologi

10. Lingkungan Hidup dan Bencana Alam

11. Kemiskinan

Semenjak reformasi 1998, 11 isu ini selalu menjadi bahan ketidakpuasan sosial, menjadi bahan bakar pembangkangan sipil, dan seringkali solusi-solusi yang diajukan oleh elit pemegang kekuasaan negara tidak dijalankan dengan serius, bahkan tumpang tindih dengan persoalan di sektor lain, maupun antara kepentingan pusat dan daerah.

Ketika beberapa aktivis mahasiswa dari UI, Al Azhar, Trisakti dan ITB turun ke lapangan untuk memberikan bantuan bagi korban banjir di Baleendah misalnya, terlihat bahwa pemerintahan lokal lebih sibuk mengurusi persiapan Pilkada Kabupaten Bandung, Pemerintah Provinsi malah merencanakan membangun DAM, atau relokasi, bahkan ingin membeli Gunung Wayang sebagai mata air Citarum, dan Pemerintah Pusat merasa cukup berkontribusi dengan memberikan tenda untuk pengungsi. Berbeda ketika terjadi longsor di Ciwidey yang menimpa PT Teh Dewata yang merupakan produsen teh kesukaan keluarga Ratu Inggris, maka bantuan cepat sekali mengalir kesana[2].

Kami mengajak teman-teman mahasiswa ITB untuk membicarakan tiga isu yang menjadi hal yang krusial untuk didiskusikan:

1. Penegakan Hukum untuk Kasus Bank Century

Kasus Bank Century dimulai dari audit BPK terhadap tindakan yang dilakukan Pemerintah dan Bank Indonesia terhadap Bank Century yang mengalami perampokan oleh pemiliknya sendiri, Robert Tantular. DPR awalnya menyetujui bailout bank ini sebesar Rp. 632 Milyar, tetapi kemudian Lembaga Penjamin Simpanan atas persetujuan Komite Stabilisasi Sektor Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan beranggotakan Gubernur BI Dr. Boediono (Wapres RI saat ini), Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom, Raden Pardede, dan lain-lain menyetujui bailout sampai berjumlah Rp. 6,67 Trilyun, sebuah jumlah yang fantastis untuk sebuah bank yang tidak begitu besar jumlah nasabahnya, dan juga tidak begitu besar kontribusinya dalam menopang sektor riil dalam perekonomian nasional.

Dalam bailout gelombang ketiga di bulan Februari 2009, ditemukan bahwa uang sejumlah Rp. 1,5 Trilyun mengalir ke beberapa rekening yang diduga dimiliki Ketua Partai Politik pendukung Tim Sukses SBY-Boediono. Oleh karena itu, KPK kemudian menyelidiki kasus ini. Tindakan KPK sendiri terhambat oleh isu kriminalisasi KPK dengan ditahannya dua Wakil Ketua KPK yaitu Chandra Muhammad Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. DPR kemudian mengambil alih penanganan isu ini dengan membentuk pansus hak angket untuk menyelidiki ke mana aliran dana Bank Century, sehingga gagal menyelamatkan uang nasabah yang keburu hilang dirampok pemiliknya sendiri[3].

Namun isu yang bergulir menjadi perdebatan mengenai perlu tidaknya Bank Century di-bailout (diberikan talangan), serta prosedur yang dijalankan KSSK dan LPS dalam menalangi Bank Century (sekarang Bank Mutiara). Pansus Century gagal menyelidiki ke mana aliran dana talangan dan hanya menyebutkan bahwa bailout bermasalah, serta pejabat yang menyetujui bailout harus bertanggung jawab, yaitu Boediono, Sri Mulyani, Miranda S Goeltom, Raden Pardede, dan lain-lain yang menjadi anggota KSSK dari BI dan Departemen Keuangan[4]. Gejolak yang berkembang menjadi isu politik mengenai siapa yang menggantikan Wapres Boediono, ketidaksetiaan partai-partai koalisi, isu reshuffle Kabinet, serta isu pemakzulan SBY dari jabatan Presiden jika terbukti bahwa dana talangan Bank Century sebesar Rp. 1,5 Trilyun digunakan sebagai dana kampanye Tim Sukses SBY-Boediono. Pemerintah tidak bergeming dengan pernyataan dari DPR. Tidak ada pejabat yang dinonaktifkan dari kedudukannya. DPR akhirnya menyiapkan hak menyatakan pendapat yang harus disetujui 2/3 jumlah anggota DPR. Namun rakyat sulit untuk mempercayai langkah elit politik di DPR maupun Pemerintahan, karena satu-persatu kasus KKN dibuka serta melibatkan berbagai elit politik dari partai.

2. Pembatalan UU BHP

UU BHP digulirkan sebagai rancangan Undang-Undang sejak UU Sisdiknas disahkan pada tahun 2003, di mana semua lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan dasar, menengah dan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan. Dalam keberjalanannya, RUU BHP selalu mengalami penolakan untuk disahkan, dan berulang kali direvisi. Pada revisi ke-51, akhirnya RUU BHP disahkan menjadi UU pada tanggal 17 Desember 2008 oleh DPR RI.

Masyarakat terpecah dalam menanggapi pengesahan UU ini. Ada yang menolak secara keseluruhan, ada yang menolak UU-nya saja tanpa menolak falsafah dasarnya, ada yang menolak penerapan BHP pada pendidikan dasar dan menengah, ada yang menerima seluruhnya. Pada umumnya lembaga pendidikan swasta menolak penerapan UU BHP karena ada kewajiban peserta didik menanggung hanya 30% dari biaya operasional pendidikan, padahal kebanyakan pelajar sekolah dan mahasiswa perguruan tinggi swasta menanggung di atas 30% biaya, bahkan ada yang mencapai 100%.

Akhirnya beberapa elemen masyarakat melakukan judicial review terhadap UU BHP. Setelah melalui beberapa aksi penolakan terhadap UU BHP, akhirnya UU BHP dinyatakan batal seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan semangat nasionalisme dalam UUD 1945, maupun dengan sistem pendidikan dalam UU Sisdiknas[5]. Implikasinya, beberapa perguruan tinggi yang sudah berstatus Badan Hukum Milik Negara seperti UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR, USU, dan UPI kehilangan pijakan hukumnya. Kampus-kampus ini tidak dapat lagi mengatur secara otonom dalam hal akademik, keuangan, dan kelembagaan, karena memang UU BHP ada untuk melegitimasi status Badan Hukum yang mereka peroleh.

Bagaimanapun implikasi batalnya UU BHP menjadi persoalan bersama seluruh elemen negara, yaitu Pemerintah dan Rakyat. Hal yang harus diingat bahwa jika UU BHP dicap sebagai UU titipan dari negara asing, maka harus diingat juga bahwa UU Sisdiknas jelas-jelas UU titipan asing, sebagaimana UU Minyak dan Gas Bumi, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Perbankan Nasional. Dalam persoalan pendidikan, ternyata elit-elit negara ini lebih senang mencontoh negara lain yang belum tentu sesuai dengan budaya bangsa ini. UU Sisdiknas dan UU BHP adalah dua produk hukum yang menjelaskan soal falsafah dasar, nilai-nilai, sistem, serta pola kelembagaan pendidikan di negara ini. Sampai sebegitu jauhnya pemerintah dan DPR mengatur pendidikan yang semestinya bisa diatur secara mandiri oleh rakyat Indonesia. Berbagai produk hukum itupun tidak menjawab hak dasar warga negara untuk memperoleh pengajaran.

Belum lagi pencabutan UU BHP ini dirasa tidak bisa merubah banyak pendidikan indonesia, hal ini dikarenakan pencabutan UU BHP sebenarnya hanya mengganti status yang diperkirakan kedepannya akan lebih berbahaya. Sebabnya adalah beberapa PTN setelah pencabutan UU BHP, kembali menggunakan BHMN dengan peraturan pemerintah (PP). Hal ini tidak berdampak banyak, malah masalah pendanaan tidak diatur lebih jauh pada PP tersebut dibandingkan dengan UU BHP.

Pemerintah sedang menjanjikan pengaturan baru mengenai pengelolaan otonomi perguruan tinggi. Perguruan Tinggi yang memiliki tiga kewajiban atau Tri Dharma yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat memang menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam pengaturannya. Di tengah ketidakpuasan yang sedang menyelimuti kondisi sosial rakyat Indonesia, sanggupkah elit politik yang didominasi golongan tua dan mapan mampu menjawab pertanyaan, mau dibawa ke mana pendidikan Indonesia?

3. Tantangan ACFTA

ASEAN and China Free Trade Agreement sudah berlaku mulai tanggal 1 Januari 2010. Negosiasi antara ASEAN dengan Pemerintah RRC memang sudah lama terjadi, terutama sejak tahun 2001, 2003, dan 2004. ACFTA merupakan salah satu pijakan awal untuk menuju kawasan perdagangan bebas ASEAN yang dipercepat dari tahun 2015 menjadi 2012. Negara-negara anggota ASEAN sudah mulai meningkatkan daya saing ekonomi untuk menghadapi Cina yang berpengalaman dalam perang dagang dengan AS, Eropa dan Jepang. Malaysia dan Brunei mengambil sektor Energi, Singapura mengambil sektor Jasa dan Keuangan, Thailand mengambil sektor Pertanian, Vietnam mengambil sektor IT, Filipina mengambil sektor ketenagakerjaan, dan Indonesia mengambil sektor industri disebabkan jumlah penduduk Indonesia paling besar di Asia Tenggara serta merupakan modal besar untuk membangun industri berskala internasional.

Namun ternyata kita lebih senang membentuk suasana ekonomi makro yang kondusif melalui investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), pasar finansial, serta privatisasi aset negara yaitu BUMN. Bermain-main dengan pasar uang yang sangat tidak stabil, karena mudah sekali untuk menang besar dan kalah besar di sebuah transaksi yang lebih banyak spekulan daripada orang yang berniat menjadi penjual dan pembeli, menjadi fokus utama perekonomian Indonesia pasca reformasi. Berbagai kebijakan yang semestinya diarahkan dalam pembangunan industri menjadi terlambat. Kebijakan Industri baru disahkan pada tahun 2008, dan itupun tidak ada industri yang menjadi prioritas. Dari rentang waktu hanya ada dua tahun dari 2008 sampai 2010 untuk menghadapi serbuan produk Cina, dan terbukti sekarang pedagang eceran sampai pedagang elektronik lebih senang menjual produk Cina karena lebih murah dan lebih cepat laku di kalangan pembeli[6].

Sebenarnya bangsa Indonesia tidak pernah gagap dengan perdagangan bebas. Kalau teman-teman menyempatkan diri untuk datang ke Museum Sejarah Jakarta, maka terlihat dengan jelas di berbagai pelabuhan Nusantara seperti Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Surabaya, Aceh dan Makassar, berbagai bangsa di dunia dari Eropa, Arab, India dan Cina datang ke Nusantara untuk berdagang. Mereka menjual produk mereka, dan kita menjual produk kita, tanpa bea masuk, tanpa pajak ekspor impor, sebuah gambaran ekonomi global di masa lampau. Hanya saja ketika kita berbicara tentang kondisi hari ini, pemerintah sebagai regulator dan rakyat sebagai pelaku ekonomi harus seiring sejalan dalam menghadapi tantangan ekonomi global.

Tantangan ekonomi global seperti yang disitir banyak pihak adalah semakin menguatnya kutub ekonomi baru di samping tiga komando ekonomi global yaitu AS, Eropa dan Jepang. Kutub itu adalah Brazil, Rusia, India, dan Cina. Kedua kubu ini sering pecah belah untuk kemudian menyatu lagi dengan yang lain, sehingga boleh dikatakan bahwa dunia tidak lagi disederhanakan dengan blok Barat dan Blok Timur, tetapi multiblok, multipolar, memiliki kutub ekonomi politik yang banyak. Hal ini dapat menimbulkan perang dagang dan perebutan sumber daya alam seperti air bersih, minyak dan gas bumi, energi alternatif. Tetapi juga hal ini menjadi peluang untuk kerjasama bahkan dialog antar peradaban untuk mewujudkan bumi manusia yang lebih damai, selaras dengan lingkungan, serta mencapai kemakmuran bersama.

Berdirinya ASEAN sebagai wadah persatuan bangsa-bangsa Asia Tenggara adalah salah satu warisan Rezim Orde Baru yang positif. ASEAN adalah wadah politik, ekonomi dan sosial tanpa maksud membangun pakta pertahanan agresif. Sebagaimana dahulu Majapahit meluaskan persekutuannya sampai ke Filipina, Thailand dan Kamboja. Sebagaimana dahulu Sriwijaya dahulu memiliki wilayah persekutuan sampai Madagaskar di ujung Barat dan Samoa di ujung Timur. Kekuatan yang dibangun ASEAN adalah masyarakat dunia tanpa perang, saling memperkuat, saling melindungi, oleh karena itu dahulu Rezim Orde Baru turut campur menyelesaikan sengketa politik di Kamboja, Vietnam dan Filipina. Kawasan Asia Tenggara juga satu-satunya wilayah yang melarang penempatan senjata nuklir di negara manapun yang menjadi kawasan Asia Tenggara.

Bangsa-bangsa Asia Tenggara dapat meneruskan cita-cita berdirinya ASEAN ini dalam menghadapi tantangan ekonomi global melalui pasar bebas. Memilih menjadi pemain dalam perang dagang internasional, atau menjadi penengah konflik bahkan menjadi inovator perkembangan ekonomi dunia menuju kemakmuran bersama. Bukankah hal tersebut yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa ini yang termaktub dalam Konstitusi kita? Bahwa bangsa ini berdiri untuk menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dan tantangan perdagangan bebas dunia seharusnya menjadi peluang untuk menjalankan amanat konstitusi. Tentu saja dibarengi dengan kemampuan negara yaitu pemerintah dan rakyat untuk menjalankannya. Dengan pemerintah yang tidak efektif dan efisien, rakyat yang kebingungan menjalankan peran ekonominya, pengangguran yang berjumlah 40 juta orang, ketimpangan ekonomi dan sosial, tidak beresnya pengelolaan listrik, air dan gas, terjadinya percepatan deindustrialisasi, bencana alam yang menimpa terus-menerus tanpa kesiapan negara dalam menghadapinya, dapatkah negara kita menghadapi perdagangan bebas dengan Cina di tahun ini? Dapatkah negara kita menghadapi perdagangan bebas dengan seluruh negara di dunia pada tahun 2012? Dapatkah negara kita menjadi pemain ulung? Atau malah menjadi korban dan jatuh sebagai negara gagal?

Demikian beberapa isu yang penting untuk dibicarakan saat ini. kami mengajak teman-teman semua untuk berdiskusi, memperdebatkan data, menambah isu yang akan kita bahas, untuk kemudian kita bersama mencari apa penyebab semua ini terjadi. Memahami persoalan adalah separuh jalan menuju jawaban. Jawaban yang akan kita ajukan jelas, yaitu bersikap dan melakukan aksi nyata. Kita harus bergerak, demi perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik.

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater!!!

Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB


[1] http://www.fundforpeace.org/

[2] Fakta bahwa pabrik teh ini adalah produsen teh kesukaan Ratu Inggris merupakan temuan di lapangan

[3] Surat pengusulan penggunaan Hak Angket DPR per tanggal 12 November 2009

[4] Pernyataan sikap DPR saat sidang paripurna tanggal 3 Maret 2010

[5] Putusan MK terhadap UU BHP tanggal 31 Maret 2010

[6] Lebih jauh mengenai perjanjian dagang RI-Cina baca lebih lanjut http://bisnis.vivanews.com/news/read/141259-acfta__ri_china_bikin_tujuh_kesepakatan

Komentar