Hasil Kajian RUU PT oleh HMP PL ITB


ini hasil dari curhat sore senator kita kemarin, diskusi singkat, nyantai, dan penuh inspirasi. silahkan dinikmati, semoga bisa menambah pengetahuan dan kepedulian kita terhadap nasib pendidikan generasi penerus kita nantinya... :D

Ini mukanya anak2 HMP PL ITB di Semarang

Mahasiswa dan Nasib Pendidikan Tinggi Negeri Ini
Oleh : Gabriel Efod V. P.
Pro-kontra Rancangan Undang Undang Republik Indonesia tentang Pendidikan Tinggi (RUU PT) sudah menjadi perdebatan yang panjang setahun belakangan, khususnya di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia. Apa yang dipermasalahkan dari RUU ini? Hal inilah yang menjadi inti pembahasan dari obrolan dan diskusi santai yang digagas serta diselenggarakan oleh Tim Kesenatoran HMP Pangripta Loka ITB, bertajuk “CURHAT SORE SENATOR HMP” pada Jumat, 24 Juni 2011, lalu.

Semenjak dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi, telah dibuat beberapa draft RUU PT dengan berbagai perubahannya, baik itu yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah. Diskusi santai yang kami adakan kemarin mengacu pada draft keempat RUU PT, tertanggal 6 Juni 2011, yang diajukan oleh pemerintah.

Hakikat Pendidikan Tinggi
Seperti yang diamanatkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, salah satu fungsi Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, perguruan tinggi sebagai badan pusat ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan sudah sepatutnya menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang pada hakikatnya berorientasi pada terjaminnya hak-hak asasi warga negara dalam pemenuhan pendidikan dan keilmuannya.

Namun, bagaimanakah format awal tujuan pendidikan yang diamendemenkan dalam RUU PT tersebut? Pada bagian “menimbang”, terlihat bahwa pendidikan tinggi memiliki peran yang strategis baik itu dalam pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ada satu hal pokok yang kami rasa dapat menjadi blunder dalam pelaksanaan pendidikan tinggi tersebut, yaitu pelayanan pendidikan yang secara eksplisit diorientasikan pada daya saing bangsa dalam era globalisasi. Begitu baik visi pendidikan tinggi yang diarahkan pada daya saing bangsa, namun hal ini dapat menyimpang dari tujuan besar pelayanan pendidikan sesuai hakikatnya, yaitu pemenuhan hak pendidikan setiap warga negara. Sebab, pada kenyataannya belum semua daerah di Indonesia dapat disetarakan kualitas pendidikan tingginya maupun kuantitas perguruan tingginya. Kita harus membenahi “pendidikan tinggi” itu sendiri, sebelum akhirnya menuju visi besar pendidikan tinggi sebagai daya saing bangsa pada era globalisasi.

Statuta Perguruan Tinggi dan Majelis Pemangku
Tahukah kawan, pada pasal 1 poin 12, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik? Ya, segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan. Pada pasal 19 poin ketiga, tertulis “Organisasi kemahasiswaan dibentuk berdasarkan statuta”. Saya sendiri agak tergelitik membacanya, organisasi kemahasiswaan dengan landasan hukum berupa AD/ART (sebagai dasar organisasinya masing-masing) dan secara kultural tumbuh dan berkembang di kampus, haruslah menyesuaikan diri dengan landasan perundangan utama yaitu statuta yang baru dibuat hingga RUU ini disahkan. Apakah statuta ini dapat merangkum kepentingan mahasiswa? Inilah yang menjadi tugas kita sebagai mahasiswa.

Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut (pasal 51 dan 63), serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik (pasal 1 poin 14). Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Satu hal yang sangat janggal, tidak ada wakil mahasiswa dalam komposisi keanggotaan Majelis Pemangku ini. Mahasiswa sebagai organ dengan porsi terbesar dalam perguruan tinggi, serta merupakan subjek dan objek pendidikan dalam perguruan tinggi, justru tidak disertakan dalam fungsi superior Majelis Pemangku. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Tapi pada perubahan di draft RUU terbaru ini, posisi mahasiswa dalam Majelis Pemangku telah ditiadakan.

Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang kami simpulkan dapat menjadi boomerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku. Pertama, sistem portofolio (pasal 47 poin 5 / pasal 59 poin 4), yaitu investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar kami artikan sebagai pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus. Apalagi, yang kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan.

Bagaimanakah peran mahasiswa dalam sistem pendidikan tinggi ini? Ini pula yang menjadi pertanyaan kami. Sepatutnya ada posisi mahasiswa dalam keanggotaan Majelis Pemangku. Mengapa ? Tiga peran mahasiswa yaitu SUARA, PENGAWASAN, serta SUBJEK-OBJEK PENDIDIKAN. Dengan adanya mahasiswa, ada fungsi aspirasi dan suara dari elemen terbesar perguruan tinggi yaitu mahasiswa. Kedua, fungsi pengawasan yang secara kultural juga dilaksanakan mahasiswa, utamanya adalah pengawasan peran independen dalam sistem pendidikan tinggi, khususnya dalam mengawasi wewenang menteri dalam membentuk badan yang melibatkan masyarakat (pasal 6 poin e) agar independensi pendidikan terjamin. Ketiga, sebagai subjek dan objek pendidikan, mahasiswa memiliki hak dan tanggung jawab dalam dunia pendidikannya (kampus), oleh karena itu penting adanya mahasiswa dalam keanggotaan Majelis Pemangku.

Perguruan Tinggi Asing
Dalam draft RUU PT ini, dijelaskan pula mengenai keterlibatan perguruan tinggi asing dalam pendidikan tinggi di Indonesia (bab VI, pasal 87 – 89). Pada dasarnya kami tidak mempermasalahkan masuknya perguruan tinggi asing di Indonesia, justru dengan adanya transfer nilai yang positif dari adanya perguruan tinggi asing akan menjadi baik bagi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya di Indonesia. Namun hal ini kami sebut sebagai lampu kuning bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Berkaca dari adanya sekolah berstandar internasional setingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, secara filosofi ada beberapa tujuan pendidikan yang harus diatur dan dijamin oleh pemerintah melalui turunan undang-undang (PP atau Permen).

Lampu kuning yang kami maksud adalah standard pendidikan asing yang berbeda dengan standard pendidikan Indonesia. Bukan standard dalam arti standard kualitas pendidikannya, melainkan standard filosofis penanaman nilai ke-Indonesia-an dalam pendidikan. Penanaman nilai ke-Indonesia-an, budaya Indonesia, dan semangat nasionalisme sangatlah penting. Tidak hanya belajar sebagai investasi pribadi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga, namun belajar sebagai investasi bangsa yang bertujuan memperkaya anak muda calon pemimpin bangsa, membangun bangsa, dan memakmurkan bangsa serta masyarakatnya di masa depan.

Biaya dan Pendanaan Pendidikan
Sejak isu RUU PT ini muncul dan menjadi polemik di masyarakat, biaya dan pendanaan pendidikan menjadi salah satu masalah utama yang diangkat, khususnya berdampak pada komersialisasi pendidikan. Namun pada draft RUU PT terakhir yang kami diskusikan ini, porsi pembiayaan yang dijamin bahwa maksimal sepertiga dari biaya operasional (pasal 99, 103, dan 108) tidak begitu dipermasalahkan. Yang pasti sudah dijamin bahwa pembiayaan pendidikan mahasiswa dapat sesuai kemampuan ekonominya dan dapat dibantu dengan bantuan biaya pendidikan (beasiswa).

Satu hal yang menarik, yang kami temukan adalah mengenai porsi minimal 20% mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik tinggi. Hal ini kami rasa baik sebagai usaha mencerdaskan muda mudi bangsa. Namun, setelah memperhitungkan dengan data statistik yang kami dapatkan dari Swiss International, satu hal menarik kami simpulkan bahwa dengan solusi yang diberikan di atas ternyata tidak menjamin dalam mencerdaskan anak muda khususnya dari golongan masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini belum tepat sasaran serta tidak dapat mengatasi masalah hak berpendidikan masyarakat kelas bawah.

Dari sekitar 237 juta penduduk di Indonesia, terbagi atas beberapa kelas ekonomi antara lain :
1.) 16,8 juta masyarakat kelas atas yang dapat berinvestasi hingga masing-masing 600 juta rupiah;
2.) kelas menengah ke atas yang tidak kami definisikan jumlahnya;
3.) 3,08 juta orang dengan penghasilan 5,2-6 juta rupiah/bulan;
4.) 11,85 juta orang berpenghasilan 2,6-5,2 juta rupiah/bulan;
5.) 27,73 juta orang dengan penghasilan 1,5-2,6 juta/bulan;
6.) 91,24 juta orang berpenghasilan 1-1,5 juta/bulan; dan
7.) lebih banyak lagi orang berpenghasilan 0-1 juta/bulan yang tidak terdefinisikan.

Lalu dari semua itu, hanya sekitar 22.000 anak muda dari kelas masyarakat miskin yang beruntung dari 110.000 calon mahasiswa yang mendapatkan tempat di PTN melalui SNMPTN. Apabila digambar secara visual, dari piramida kelas ekonomi masyarakat Indonesia (6 kelas : kelas atas, kelas menengah A, B, C, D, dan kelas bawah) serta diperbandingkan dengan perhitungan biaya operasional pendidikan tinggi yang ada, porsi 80% yang diterima di PTN adalah dari masyarakat kelas atas & kelas menengah strata A (paling atas). Sedangkan untuk 20 % yang dialokasikan untuk masyarakat kelas bawah, ternyata hanya mampu untuk masyarakat kelas menengah starata B dan strata C. Sebagai kesimpulan, ternyata RUU PT ini tidak menjawab pertanyaan dapatkah hak berpendidikan masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah dapat dijamin oleh amendemen NKRI. Dari sana terlihat bahwa perguruan tinggi masih kokoh berdiri sebagai mercusuar atau menara gading yang sulit digapai masyarakat khususnya kelas ekonomi berpenghasilan rendah. Untuk itu, untuk diri kita masing-masing, muncul satu pertanyaan, dapatkah kita sebagai mahasiswa menyejahterakan bangsa kita? Karena kita lah orang-orang yang beruntung bisa belajar dan mendapatkan ilmu yang sewajibnya kita gunakan untuk memajukan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Sedikit untuk Mahasiswa
Diskusi santai serta berbagi pandangan seputar kehidupan bangsa ini, kami sebagai Tim Kesenatoran HMP Pangripta Loka ITB memang baru menginisiasi lagi di himpunan kami. Bukan kajian yang berat-berat, namun setidaknya ada sedikit porsi untuk membuka mata kita semua agar tahu realitas bangsa. Utamanya adalah merubah pandangan kita sebagai mahasiswa, tidak lagi kerdil, hanya memikirkan kesenangan kehidupan kampus dan berbagai masalahnya, namun lebih besar lagi apa yang dapat kita berikan kepada negara kita ini setelah kita semua menjadi pemimpin-pemimpin bangsa. Kawan, ayo kita budayakan diskusi di kampus kita…
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater …
Semerah darah, sebening air mata, HMP …, HMP HMP HMP …
Gabriel Efod Virant Pangkerego
HMP 09 034
Tim Kesenatoran 11/12
HMP Pangripta Loka ITB



Komentar

agung mengatakan…
Menarik... Setelah UU BHP dibatalkan, ternyata ada suksesornya.. UU PT.

Perlu diperjuangkan adanya keterwakilan mahasiswa di MWA. Ini harga mati.. Selain menyuarakan suara mahasiswa, bisa juga menjadi proses pembelajaran bagi mahasiswa.

Adapun terkait biaya, prinsipnya biaya kuliah boleh mahal dan itu wajar. Tapi yang harus dijamin pemerintah adalah seleksi yang dilakukan bukan berdasar kesanggupan membayar. Adapun ketika mahasiswa kurang mampu diterima, skema2 beasiswa dari dana bestari ITB dan lain2 harus jadi pendukung mereka. Di samping subsidi pemerintah tentunya.

Salam,
Agung - Pl 01