Penghapusan KRL Ekonomi Jabodetabek: Kesalahan Pengalokasian Anggaran Untuk Transportasi Massal (Kereta Api)

Hari senin kemarin (25/3/2013) terjadi aksi demonstrasi dari Komunitas Masyarakat Pengguna Kereta di Bekasi. Aksi demonstrasi ini terjadi karena PT.KAI berniat untuk menghapus KRL ekonomi trayek Bekasi-Jakarta dan Serpong-Jakarta per 1 April 2013. Bahkan rencananya seluruh rangkaian KRL Ekonomi yang melintasi wilayah Jabodetabek akan dihapuskan pada bulan Juli 2013. Sehingga kemudian KRL Ekonomi akan diganti dengan KRL AC yang pengoperasiannya dilakukan oleh PT KAI Commuter Jabodetabek.

Sumber gambar: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/11/04/mvqj64-desember-seluruh-krl-rusak-akan-diganti
Ada enam butir tuntutan dari massa aksi, antara lain: penumpang meminta penghapusan kereta ekonomi dibatalkan, menambah jadwal perjalanan KRL ekonomi, menurunkan KRL ekonomi dan commuter line, menghapus sistem transit di sejumlah stasiun dan semua KRL ekonomi berhenti di Stasiun Besar Bekasi. Karena jikalau KRL ekonomi ditarik berarti masyarakat pengguna KRL ekonomi musti membayar kenaikan 400% lebih mahal dari tarif sekarang adalah Rp 2.000,- menjadi Rp 8.000,- hingga Rp 9.000,-. Padahal diketahui sendiri bahwa pengguna KRL ekonomi adalah masyarakat kelas menengah kebawah. Walaupun secara akumulatif jumlah penumpang KRL ekonomi terus menerus menurun sejak tahun 2009 sebanyak 86,6juta penumpang, tahun 2010 (69,3jt penumpang) tahun 2011 (56 juta penumpang), dan tahun 2012 (46,5 juta penumpang). Namun kenaikan tarif 400% ini akan berdampak pada struktur pengeluaran masyarakat yang akan naik, dari semula Rp 2.000/sekali naik x 2 kali kenaikan KRL (pulang dan pergi) x 25 hari efektif kerja tanpa hari libur sabtu minggu= Rp 100.000,-/bulan menjadi Rp 8.000/sekali naik x 2 kali kenaikan x 25 hari efektif kerja: Rp 400.000,-/bulan.

Salah satu faktor mengapa KRL ekonomi ditarik: pertama masalah keselamatan karena KRL ekonomi ini beroperasi sejak tahun 1974 dan suku cadangnya sudah tidak diproduksi kembali. Sehingga sistem kanibal terpaksa dilakukan untuk mengganti spare part kereta. Gangguan teknis ini sering kali membuat KRL ekonomi mogok di tengah perlintasan rel sehingga mengganggu seluruh perjalanan KRL ekonomi di lintasan Jabodetabek. Tercatat pada tahun 2012 terdapat 1.228 perjalanan KRL ekonomi yang terganggu dan mengakibatkan 4.217 perjalanan KRL AC ataupun KRL commuterline terganggu hingga akhir tahun 2012.
Pertanyaan kemudian muncul dalam benak saya, bagaimana bisa selama 39 tahun KRL ekonomi dapat terus berfungsi tanpa adanya peningkatan kualitas maupun kuantitas KRL ekonomi sehingga hari ini keberadaannya harus dihapus?

Peningkatan kualitas maupun kuantitas KRL ekonomi dapat terjadi apabila tersedianya anggaran yang memenuhi untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas KRL ekonomi. Anggaran untuk peningkatan kualitas dan kuantitas KRL ekonomi didapatkan dari PT.KAI yang termasuk dalam BUMN. Sebagai state-owned enterprises berarti pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan subsidi dalam bentuk PSO (public service obligation) dan memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan dari BUMN yang kemudian masuk sebagai penghasilan bukan pajak. Terlebih lagi bagi saya, kereta api masuk dalam kategori public goods & services karena sifatnya non-rivalary consumption dan non-excludable. Pengkategorian kereta api sebagai barang publik juga ditegaskan dalam UU 2/2012. Sehingga sudah sewajarnya apabila kereta api mendapatkan kucuran anggaran lebih mengingat pula fungsi kereta api sebagai transportasi massal dalam skala wilayah dan kota.

Pertanyaannya kemudian ialah, apakah dana PSO sudah mampu mencukupi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kereta api (dalam hal ini termasuk pula KRL ekonomi)?
Untuk menjawab hal tersebut saya suguhkan tabel diperkembangan PSO dari tahun 2006-2012 dengan beberapa pembanding lainnya (dalam miliar rupiah)

Jenis
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
APBN-P
RAPBN
Subsidi energi (termasuk subsidi BBM dan subsidi listrik)
94.605.4
116.865.9
223.013.2
94.585.9
139.952.9
195.288.7
168.55.9
Subsidi BBM
64.212.1
83.792.3
139.106.7
45.039.4
82.351.3
129.723.6
123.599.7
Subsidi non-energi (mencakup 9 subsidi,termasuk PSO)
12.826.4
33.348.6
52.278.2
43.496.3
52.754.1
41.906.0
40.290.3
PSO
1.795.0
1.025.0
1.729.1
1.339.4
1.373.9
1.849.4
2.2025.0
Sumber: Olahan Data Pokok APBN 2006-2012, Kementerian Keuangan RI

Data terbaru dari investor.co.id, dalam RAPBN 2013, Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,03 triliun untuk PSO yang terdiri untuk PT.KAI sebesar Rp 803 miliar, PT. PELNI Rp 826 miliar, pengguna kantor POS Rp 309 miliar, dan PSO untuk informasi publik sebsar Rp 89 miliar. Pertanyaannya kemudian, apakah cukup dana sebesar Rp 803 miliar untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kereta api termasuk KRL ekonomi yang beroperasi di Jabodetabek? Jawabannya tidak, jumlah tersebut sangat sedikit apalagi bila jumlah dana yang tersedia untuk PT.KAI dibandingkan dengan subsidi BBM dan subsidi listrik. Sehingga sangat wajar sekali jika PT.KAI sering sekali meminta dilibatkan dalam penentuan subsidi PSO yang mereka anggap jumlahnya terlalu minim dan tidak sesuai dengan UU 23/2007 tentang Perkereta apian.

Disisi lain, pengamat kereta api dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Aditya Dwi Laksana mengutarakan bahwa selama ini dana PSO suka terlambat cair dan tidak seratus persen mampu terserap hingga hasilnya PT.KAI kerap menalangi biaya operasional kereta kelas ekonomi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

Pesan yang ingin saya sampaikan sebenarnya sederhana, penghapusan KRL ekonomi tidak terjadi akibat masalah keselamatan saja, namun penghapusan KRL ekonomi Jabodetabek terjadi karena permasalahan yg lebih besar, yakni akibat ketidakefisienan anggaran dalam PT.KAI dan Pemerintah yang tidak memprioritaskan kereta api sebagai tulang punggung transportasi di Indonesia!

Komentar

Kia mengatakan…
Setuju Bro...Pemerintah Harusnya Bisa Berbuat Lebih Baik...