Negara Salah Pikir dan Salah Urus


Pemerintah : “Subsidi BBM mau dicabut karena terlalu memberatkan fiskal dan jikalau subsidi BBM terus dipertahankan akan membuat defisit anggaran. Sehingga kita harus cabut subsidi BBM agar tidak memberatkan fiskal. Agar tidak memberatkan masyarakat akan ada BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat).”

Partai politik : “BLSM itu sama seperti BLT, akal-akalan partai penguasa untuk mendapatkan citra baik menjelang pemilu 2014, apalagi BLSM itu diperlakukan selama 6 bulan”

@SBYudhoyono : “Subsidi BBM memang perlu dikurangi dengan cara menaikkan harga BBM terbatas dan terukur *SBY*”

Sumber gambar: http://iyasharlyansyah.wordpress.com/

Makin panjang umurnya Negara ini ternyata makin salah pikir dan salah urus. Ternyata benar, kalau enggak bisa mengerjakan hal-hal yang sederhana, jangan berpikir jauh untuk bisa mengerjakan hal-hal yang lebih besar. Persoalan seperti ujian nasional, PON, E-KTP,harga bawang, harga sapi, dan hambalang aja Negara ini ngurusnya enggak bener, apalagi BBM yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dan sangat berpengaruh untuk produksi dalam negeri.

Pertama alasan fiskal, oke subsidi BBM akan memberatkan fiskal dan menyebakan defisit. Tapi alasan kenaikan BBM tidak bisa kita terima dari perspektif fiskal begitu saja; kenapa? Kalau alasannya fiskal berarti jebolnya APBN bukan hanya berasal dari subsidi BBM. Toh masih banyak government expenditure yang terbuang percuma, sebut aja uang jalan-jalan untuk mengambil data dari daerah (padahal bisa via email atau wasel), uang bikin pesta dan rapat instansi pemerintah di hotel-hotel mewah, dan indikator penyerapan APBN yang sering sekali kita jadikan patokan keberhasilan pengeluaran pemerintah padahal hasilnya cuma anggarannya habis tapi indikator fisik pembangunannya seadanya. Singkat kata saya cuma mau bilang, oke subsidi BBM akan memberatkan anggaran saya terima, tapi jangan Cuma liat BBM aja dong, banyak juga anggaran kita yang terbuang percuma. Evaluasi fiskal jangan hanya meninjau subsidi BBM,tapi juga tinjau pengeluaran yang hasilnya minim. Dalam hemat saya lebih berguna anggaran kita habis untuk subsidi BBM daripada anggaran kita habis untuk dipakai kegiatan-kegiatan enggak penting, yang nikmati kue ekonomi BBM bisa lebih banyak daripada yang nikmati kegiatan-kegiatan pemerintah yang kurang penting seperti itu meenn.

Kedua, BLSM sebagai pengganti subsidi BBM. BLSM ini formatnya hampir sama seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) pernah diberlakukan pada kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2008. Coba kita tinjau BLSM ini secara rasional. Kalau subsidi BBM dicabut dan harga BBM naik maka akan terjadi inflasi/kenaikan harga keseluruhan. Terjadinya inflasi karena kenaikan harga BBM tidak dibarengi dengan kenaikan daya beli masyarakat. Pemerintah berpikir dengan adanya BLSM maka akan membantu meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Kenaikan pendapatan masyarakat miskin akan meningkatkan konsumsi masyarakat miskin. Kenaikan konsumsi masyarakat miskin berarti kenaikan penawaran, dengan permintaan akan barang dan jasa yang terbatas (mengingat kenaikan BBM yang memungkinkan penurunan produksi barang dan jasa, ataupun jika volumenya stagnan dampaknya pun akan sama) maka harga akan tetap naik. Sehingga program BLSM yang mencoba membantu masyarakat miskin, secara logika dan tanpa data, dapat dinilai sia-sia karena masih akan ada gap antara pendapatan masyarakat dan harga barang/jasa.

Secara umum pula dapat dikatakan bahwa subsidi yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas jauh lebih baik secara ekonomis dan bermanfaat dibandingkan subsidi untuk konsumsi seperti BLSM. Kebiasaan untuk memberikan subsidi konsumsi, kecuali untuk penduduk yang tidak mampu secara fisik, akan memupuk budaya bangsa “meminta-minta” (the nation of beggars) dan bukan budaya bangsa kerja dan produktif. Padahal dari sejarah kita belajar bahwa kemerdekaan bangsa bukan dari meminta-minta Jepang, tapi dari perjuangan kerja keras dan gagah berani segenap bangsa Indonesia melalui politik, diplomasi, dan tentara rakyat. Tapi pemberian subsidi untuk konsumsilah yang akan membuat kita melupakan sejarah dan memiliki budaya meminta-minta belas kasih orang lain  pada masa mendatang,  apa kita mau jadi the nation of beggars di masa datang?

Ketiga, kita berbicara tentang BBM, suatu barang yang berasal dari sumber daya alam dan memiliki keterbatasan. Terlebih produksi minyak Negara ini semakin rendah sehingga untuk mencukupi kebutuhan domestiknya setiap tahun kita harus mengimpor minyak. Masalahnya bukan impor minyaknya, memang mungkin kita harus impor minyak, tapi masalahnya produksi minyaknya yang rendah dan volumenya jauh dari konsumsi domestic terhadap minyak Berarti kita harus berbicara tentang bagaimana menggenjot produksi minyak dalam negeri kita dan bagaimana memberlakukan mixed used energy dalam setiap kegiatan yang bisa enggak pakai BBM! jangan Cuma bicara konsumsi BBM untuk sepeda motor/mobil dan kebutuhan impor minyak aja dong!

Apa kita mau jadi Negara yang volume impor minyaknya terus naik tapi produksi minyak dalam negerinya stagnan atau terus turun? Kalau kita enggak mau, artinya kita harus berbicara tentang bagaimana menggenjot produksi minyak dalam negeri dan bagaimana konsumsi BBM nya tidak terus naik. Caranya bagaimana? Bangun kilang minyak baru, benahi & prioritaskan transportasi public, dan paksa kegiatan-kegiatan yang sumber energinya enggak harus dari minyak pakai yang sumber energi lain, kasih insentif untuk kegiatan-kegiatan tersebut! Itu yang harusnya kita bicarakan dong. Sampai kapan Negara ini mau berdebat tentang harga minyak dunia yang naik terus harga BBM dalam negeri juga harus naik, emang dipikir koefisien daya beli masyarakat Indonesia sama kayak daya beli bule? Kita akan terus terjebak dalam diskusi yang sia-sia dan terus menerus tidak mengubah nasib bangsa dimasa depan jikalau terus menerus energi bangsa ini habis untuk diskusi mengenai impor minyak, harga minyak internasional, dll yang membuat kita terus menjadi korban globalisasi tanpa mengidahkan nasib masyarakat kita sendiri dimasa depan.

Keempat, tontonan politik hari ini makin lama makin ngawur. Semuanya cuma teriak kepentingannya! Lihat bagaimana tanggapan partai politik terhadap BLSM, yang dituntut oleh partai-partai politik kepada penguasa ialah program BLSM hanya akan menjadi alat pencitraan politik baru bagi partai penguasa sehingga partai penguasa itu langgeng di pemilu 2014. Meeennn kenapa lo bicaranya urusan kepentingan politik partai lo yang akan kalah kalau partai penguasanya punya program BLSM yang menyenangkan rakyat?
Sekali-kali kita belajar dari Amerika Serikat, akhir tahun 80’an dan awal tahun ‘90an, ada perdebatan sengit di Amerika Serikat. Dari kubunya partai republic, mereka masih percaya dengan voodoo economicsnya Ronald Reagan (Reaganomics). Partai republic percaya dengan teorinya: tarif pajak yang rendah, kaum pekerja/buruh akan bekerja lebih keras, semakin banyak orang masuk angkatan kerja, tabungan meningkat berlipat ganda dan dampaknya ada pada sisi penawaran akan menghasilkan begitu banyak pemasukan sampai-sampai pendapatan pemerintah akan terus meningkat sekalipun pajak turun. Pemahaman ini tidak dinilai tepat dari kubu partai democrat yang menjadi penguasa hari itu dengan presiden Bill Clinton, karena nyatanya angka tabungan tetap suram dan bahkan menurun, dampaknya hanya sedikit bagi tenaga kerja, dan membuat jurang defisit. Pemerintahan Clinton hari ini bukan hanya menolak pemikiran partai republic untuk memperbesar pengeluaran pemerintah, deregulasi, dan mepertahankan suku bunga tinggi . Tapi pemerintahan Clinton waktu itu bersikukuh dengan pemikirannya untuk mengendalikan defisit,  pengaturan baru bank untuk menjaga kecukupan modal, pemangkasan pengeluaran dan bahkan menaikan pajak. Cerita pertarungan partai republic dan partai democrat di Amerika Serikat menunjukkan adanya kepercayaan terhadap pemahaman masing-masing partai dan pertarungan politik di negeri Paman Sam menjadi pertarungan politik berlandaskan pemahaman masing-masing.

Tontonan politik di Negeri ini semakin hari justru malah sebaliknya (bukan mengangungkan Amerika Serikat, namun dalam hal ini kita harus belajar dari mereka). Tontonan politik hari ini malah  memberikan pelajaran bagi kita (masyarakat) untuk bagaimana mempertahankan kepentingannya, seperti pejabat kepolisian yang sempat menolak untuk ditahan karena salah ketik pada surat penangkapannya dan sebuah partai politik yang menunut KPK karena KPK ingin menyita mobil seorang kader parpol politik tersebut tanpa membawa surat. Oh my God, itu masalah sepele yang terus menerus dibesarkan sehingga makin hari makin jauh dari titik masalah sebenarnya.

Tontonan politik hari ini bukan tontonan yang memberikan pembelajaran kepada kita untuk mempertahankan dan memperdalam ideologi, tapi tentang bagaimana mempertahankan dan memenangkan kepentingan kelompok! Sehingga harusnya kita bertanya hari ini, partai politik itu ada karena kesamaan ideologi atau sebatas kepentingan?!

Kelima dan terakhir, untuk bapak Presiden tercinta, the Knight Grand Cross of the Order of Bath!
Saya sebagai anak bangsa ini hanya ingin bertanya, jikalau suatu saat saya memiliki anak dan anak saya bertanya kepada saya tentang siapa saja presiden Indonesia, apa yang harus saya jawab agar anak saya dimasa depan ingat bahwa kita pernah punya presiden bernama SBY? Apakah presiden yang miliki GDP tertinggi sepanjang sejarah Indoensia? Saya pikir hal tersebut tidak bisa saya banggakan di masa depan, karena GDP tidak berbicara dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Apakah cadangan devisia yang semakin besar? Tidak pula karena rasio hutang kita pun terus meningkat. Apakah presiden yang memiliki gelar the the Knight Grand Cross of the Order of Bath Dari ratu inggris? Tidak, karena gelar tersebut akhirnya ditukar dengan pemberian blok Tangguh di Papua dan pendirian OPM di Inggris.  Atau mungkin lebih baik harus saya jawab, hari ini adalah masa yang harus terlewatkan begitu saja karena tidak menghasilkan banyak untuk Indonesia….

Komentar