Asumsi RAPBN 2014 Konstan dan Tidak Realistis!

Asumsi dasar ekonomi makro mencakup variable yang dinilai memiliki dampak signifikan terhadap postuk APBN. Asumsi dasar ekonomi makro ini kemudian yang menjadi acuan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN. Penyusunan asumsi dasar ekonomi makro disusun berdasarkan analisa-analisa terkait, seperti misalnya analisa time series. Perubahan dalam asumsi dasar ekonomi makro tentunya sangat berpengaruh terhadap postur APBN. Di Indonesia sendiri sering kali perubahan APBN (APBNP) terjadi karena perbedaan antara realita dan asumsi dasar ekonomi makro.

Begitu krusialnya asumsi dasar ekonomi makro dalam gejolak perekonomian Indonesia membuat saya tertarik untuk mengamati asumsi dasar ekonomi makro 2014 dalam RAPBN 2014 yang telah disampaikan oleh Presiden SBY dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 2013. Berikut asumsi dasar ekonomi makro 2014 seperti yang tercantum dalam dokumen nota keuangan dan RAPBN 2014:

1.       Perekonomian nasional tahun 2014 diperkirakan mampu tumbuh lebih baik jika dibandingkan kondisinya dalam tahun 2013. Hal ini disebabkan karena perekonomian global yang diperkirakan menjadi lebih baik (berdasar dari prediksi IMF terkait pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2014 akan naik menjadi sebesar 3,8% dari tahun 2013 3,1%). Perbaikan perekonomian global kemudian menyebabkan meningkatnya permintaan dunia dan mempengaruhi ekspor-impor. Permintaan domestik juga diperkirakan meningkat didukung meningkatnya daya beli masyarakat dan adanya penyelenggaraan pemilu

2.       Tekanan inflasi tahun 2014 diperkirakan akan mereda seiring dengan kecendrungan penurunan tekanan harga-harga komoditas dan energi di pasar internasional. Hal ini didasari oleh perbaikan aktivitas produksi di berbagai Negara, perbaikan kebijakan di bidang ketahanan pangan, membaiknya koordinasi kebijakan fiscal dan moneter, serta aktifnya pemerintah daerah untuk menjaga laju inflasi di tiap-tiap wilayahnya akan memberi kontribusi positif bagi stabilitas harga nasional

3.       Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat diperkirakan relatif lebih stabil.

4.       Tingkat suku bunga SPN 3 bulan dalam tahun 2014 diperkirakan tidak akan bergerak jauh dari tingkat suku bunga di tahun 2013. Kemungkinan membaiknya perkiraan kondisi ekonomi global sehingga beberapa kebijakan pelonggaran likuiditas di berbagai Negara juga akan selesai. Perkiraan ini menyebabkan daya tarik investasi di berbagai Negara juga membaik, yang selanjtunya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan persaingan untuk menarik likuiditas global, demikian juga dengan arus modal ke Negara-negara berkembang kawasan Asia, termasuk Indonesia

5.       Rata-rata harga minyak mentah Indonesia/ICP di pasar internasional dalam tahun 2014 diperkirakan tidak jauh dari harga di tahun 2013. Hal ini diperkirakan berdasarkan pola pergerakan ICP pada periode sebelumnya yang mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia lainnya. Sehingga diperkirakan ICP akan menurun.

6.       Lifting minyak dan gas bumi Indonesia dalam tahun 2013 diperkirakan mengalami peningkatan. Proyeksi ini didasarkan pada upaya Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah peningkatan lifting migas seperti yang diamanatkan dalam Inpres No.2/2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional.
Perkembangan realisasi beberapa indikator ekonomi makro yang dijadikan asumsi dasar ekonomi makro 2008-2012 dan proyeksinya dalam tahun 2013-2014 akan ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2008-2014
No.
Indikator Ekonomi
2008
2009
2010
2011
2012
2013 (APBNP)
2014 (RAPBN)
1.
Pertumbuhan ekonomi (%)
6,0
4,6
6,2
6,5
6,2
6,3
6,4
2.
Inflasi (%)
11,1
2,8
8,0
3,8
4,3
7,2
4,5
3.
Nilai tukar (Rp/US$1)
9.691
10.408
9.087
8.779
9.384
9.600
9.750
4.
Suku bunga SPN 3 Bulan (%)
9,3
7,6
6,6
4,8
3,2
5,0
5,5
5.
Harga minyak (US$/barel)
97,0
61,6
79,4
111,6
112,7
108,0
106,0
6.
Lifting minyak (ribu barel/hari)
930,9
943,9
953,9
898,5
860,6
840,0
870,0
7.
Lifting gas (mboepd)
-
-
-
-
-
1.240,0
1.240,0
Sumber: Kementrian Keuangan, 2013

Sumber gambar: http://www.nefosnews.com/post/berita-analisa/hatta-berhemat-cegah-krisis-ala-yunani

Mungkinkah asumsi dasar ekonomi makro 2014 akan mendekati realita di masa datang? Bagi saya tidak. Menurut saya asumsi dasar ekonomi makro 2014 seperti disusun oleh mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah seadanya dan sekedarnya, seperti tugas kuliah mahasiswa yang dikerjakan satu hari sebelum pengumpulan tugas. Asumsi dasar ekonomi makro 2014 disusun jauh dari realita perkembangan terkini, disusun dengan ekspektasi tinggi yang terus menjadi iming-iming.
Berikut argumentasi saya, mengapa asumsi dasar ekonomi makro 2014 saya anggap tidak realistis:
1.       Bagaimana meloncat pertumbuhan ekonomi ke 6,4% apabila target 6,3% saja sudah sulit?
Pada awalnya APBN 2013 mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%, namun kemudian di revisi dalam APBNP 2013 menjadi 6,3% pada bulan Juni 2013. Hari ini, dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3% saja, kita masih ragu target tersebut dapat dicapai. Pertumbuhan ekonomi kuartal I dan II sebesar 6,1% dan 5,9% menunjukkan jauhnya pertumbuhan ekonomi dari target sebesar 6,3%.

Pertumbuhan ekonomi didasari oleh perubahan dalam variabel konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah, dan aktivitas perdagangan internasional. Variabel konsumsi masyarakat dan investasi cenderung menurun, neraca perdagangan mengalami defisit, dan pengeluaran pemerintah belum optimal hingga kuartal II.
Pertanyaannya kemudian, apabila target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 6,3% saja sulit tercapai (memungkinkan pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dibawah atau sama dengan 6%), apakah kita dapat melompat menjadi 6,4% pada tahun 2014? Dengan asumsi konstan saya pikir tidak, kecuali ada kebijaksanaan baru, terobosan inovatif yang masuk pada inti masalah, yang mampu mendorong prilaku aktor ekonomi.

2.       Inflasi tahun 2013 tidak dapat dikendalikan
Dalam asumsi makro 2014, diutarakan bahwa tekanan inflasi tahun 2014 diperkirakan mereka akibat perbaikan kebijakan pangan, membaiknya koordinasi kebijakan fiscal dan moneter, dan aktifnya pemerintah daerah dalam menjaga laju inflasi. Benarkah? Saya rasa tidak.

Pertama, kebijakan pangan yang ada tidak menjumpai inti masalah pangan. Permasalahan pangan nasional ialah produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan nasional. Permasalahan ini diselesaikan dengan membuka keran impor beberapa komoditas pangan. Dalam jangka waktu pendek, masalah keterbatasan komoditas pangan mungkin dapat terselesaikan dengan keseimbangan permintaan dan penawaran. Namun, dalam jangka panjang belum tentu masalah krisis pangan dapat teratasi selama tidak ada perubahan positif dalam produksi pangan nasional di sektor pertanian.

Kedua, mungkin koordinasi dalam kebijakan fiscal dan moneter membaik, tapi sayangnya kebijakan tersebut selalu di ambil disaat terlambat. Contohnya seperti masalah kebijakan fiskal tentang subsidi BBM yang memberatkan APBN dan terlambatnya menaikkan BI Rate dalam mengantisipasi inflasi pada kebijakan moneter di bulan Juli dan Agustus 2013.

Ketiga, apa indikator tertangani inflasi dengan baik? Inflasi pada bulan Juli 2013 sebesar 8,61% (yoy) justru malah menunjukkan kegagalan dalam mengendalikan inflasi. Justru sering sekali inflasi terjadi akibat kesalahan pemerintah, baik dalam administrated price inflation seperti dicabutnya subsidi BBM maupun volatile food inflation karena tidak mampu mendorong produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan domestik.

3.       Nilai tukar rupiah terus terdepresiasi, The Fed belum konsisten
Hingga kemarin, 19 Agustus 2013, tercatat nilai tengah kurs rupiah berada di level Rp 10.451 per dollar AS. Nilai tukar terus menurun dalam sebulan terakhir ini. Namun, asumsi makro 2014 mengatakan bahwa rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar AS relatif lebih stabil.
Menurut saya, nilai tukar rupiah justru semakin tidak menentu akibat kemungkinan perubahan kebijakan The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) dan pergantian Gubernur The Fed.

Perubahan kebijakan The Fed kemungkinan terjadi akibat sinyal kuat dari Gubernur The Fed, Ben Bernanke, bahwa kebijakan pembelian obiligasi Pemerinah AS akan dikurangi akibat adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi AS. Namun rencana pengurangan kebijakan quantitative easing ini masih terus dikritik, terutama oleh Paul Krugman, yang berpendapat stimulus ekonomi masih diperlukan oleh AS karena belum mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Sedangkan momentum pergantian Gubernur The Fed pada 1 Februari 2014 memungkinkan adanya perubahan kebijakan The Fed (terutama apabila digantikan oleh Larry Summers). Sejarah terus mengatakan, bahwa kebijakan The Fed tidak hanya memiliki dampak bagi perekonomian AS, namun juga dunia, termasuk Indonesia. Belum stabilnya perekonomian AS memungkinkan terjadinya inkonsistensi kebijaksanaan moneter, tidak seperti konsistennya kebijakan moneter AS yang konsisten saat perekonomian AS stabil (saat itu The Fed dipimpin oleh Alan Greenspan selama beberapa dekade).

4.       Suku bunga Indonesia naik
Suku bunga acuan/BI Rate naik sebesar 50 basis poin menjadi 6,5 persen pada bulan Juli 2013. Kenaikan BI Rate ini dilakukan untuk mencegah ancaman inflasi akibat kenaikan BBM. Bahkan berita-beritayang beredar memungkinkan BI Rate akan kembali naik akibat adanya volatile food inflation.
Apabila suku bunga kembali naik (bahkan yang sekarang sudah termasuk tinggi dibanding beberapa Negara lain), dalam kurva IS-LM, akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada permintaan agregat, yakni penurunan ekspor, investasi, dan konsumsi masyarakat. Penurunan ekspor, investasi, dan konsumsi tentunya berpengaruh bagi net national production (NNP) dan justru melemahkan pertumbuhan ekonomi, terutama disaat harga komoditas dunia belum stabil.


5.       Perekonomian global & kesiapan Indonesia
Asumsi makro 2014 sering sekali berdasar pada harapan adanya perbaikan perekonomian global. Mungkinkah perekonomian global membaik? Ini masih terus menjadi teka-teki, walaupun perekonomian China dan India akhirnya naik tahun ini sebesar 7,5% dan 5%, namun perubahan dalam The Fed (yang telah dijelaskan sebelumnya) memungkinkan terjadinya perubahan negatif di Indonesia.

Entah perekonomian global akan membaik atau tidak, tapi kesiapan Indonesia memasuki era baru ekonomi global setelah krisis global harusnya menjadi tanda tanya. Kesiapan Indonesia dapat dinilai dari perbaikan infrastruktur, pemberantasan praktik korupsi, dan kemudahan birokrasi yang ketiganya merupakan domain kerja pemerintah. Apabila ketiga pekerjaan rumah dalam domain kerja pemerintah tersebut dapat diselesaikan dengan baik, tentunya akan memicu investasi, peningkatan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya memicu variabel konsumsi masyarakat, dan peningkatan ekspor.

Sayangnya, ekonomi yang tumbuh beberapa tahun terakhir ini ternyata rapuh dan kemungkinan runtuh tetap ada. Defisit transaksi berjalan (APBN defisit, sehingga pemerintah melakukan transaksi hutang) dan defisit perdagangan (neraca ekspor-impor negatif) menyebabkan rupiah terus melemah hingga hari ini. Selama tidak ada usaha lebih untuk perbaikan infrastruktur, birokrasi pemerintahan, penggenjotan produksi lokal & komoditas ekspor, perluasan pasar ekspor, pengoptimalan belanja pemerintah, dan memberanikan diri untuk mengurangi anggaran di pos-pos yang kurang penting, sangat memungkinkan Indonesia masa depan terjerumus dalam lubang masalah.

Hari ini kita harus menyadari bahwa “gejala” penyakit perekonomian sudah dijumpai hari ini, mulai dari defisit transaksi berjalan, defisit perdagangan, defisit primer APBN, melemahnya rupiah, ketidakcukupan pasokan pangan, ketergantungan berlebihan terhadap BBM, dan tidak optimalnya penerimaan dari pajak. Ditengah gejala per gejala kita jumpai, lingkungan sekitar pun berwarna abu-abu: cuaca baik & cuaca buruk terlihat samar-samar. Kalau kita tidak melakukan usaha dini mencegah datangnya “penyakit”, dampak terjadinya komplikasi penyakit semakin besar. RAPBN 2014 haruslah dapat menjadi “vitamin” bagi perekonomian makro Indonesia: penyusunan asumsi yang realitis dan aktual, pengalokasian dana di pos-pos yang urgent dan mengurangi alokasi dana pada pos-pos yang kurang penting dalam mencegah penyakit, dan ekspansi fiskal yang tepat sasaran untuk dapat menjalankan fungsi distribusi dan stabilisasi. Selama tidak ada terobosan dan perubahan dalam RAPBN, jangankan menepis krisis jangka panjang (krisis pangan, lingkungan, dan energi), memungkinkan tahun depan kita akan menjumpai krisis ekonomi.


Komentar