Wong deso dan orang urban



Sudah hampir seminggu sejak gw ‘hijrah’ mencari kitab suci ke jawa timur dan dua minggu setelah pulang dari pulau Belitong. Dan akhirnya sekarang bisa ada kemauan untuk menulis lagi cerita-cerita baru. Eits tunggu dulu men, jangan lo pikir gw enak ya jalan2 mulu, ini duit tabungan lama2 tipis juga bro (apalagi enggak ada pemasukan hahaha).

Jalan-jalan selalu bikin kita ketemu sama suasana baru, orang baru, bahkan bahasa baru. Dari awalnya gw tinggal di Jakarta pakainya gue-lo, pindah ke Bandung buat kuliah pakenya aing-maneh, sampai sekarang dipelosok jawa timur musti ngomongnya aku-sampean. Bahkan gw sampai mikir ada enggak ya program studi di universitas jurusan sastra Indonesia? atau jurusan apa aja deh yang bisa bikin kumpulan kamus bahasa daerah (?).

Oke, pemirsa kayaknya udah enggak sabar, langsung deh gw ke ceritanya ya (tenang ini bukan cerita pamer foto-foto wisata kok hehe)

Pertama, perjalanan wisata ke pulau Belitong yang termasuk dalam provinsi Babel (Bangka dan Belitong). Pulau Belitong dan pulau Bangka adalah pulau sebelah timur pulau sumatera, yang nama kedua pulau ini harus dihafal di jaman SD karena setiap ujian IPS/geografi selalu ditanya,”dimana penghasil timah terbesar di Indonesia?”. Tapi sekarang pertanyaan untuk bertanya pulau Bangka dan Belitong harus di ganti, karena produksi timah di pulau Bangka dan Belitong sudah turun, yang tersisa cuma lahan-lahan bekas pertambangan timah. Kalau lo putarain itu pulau sekarang dan ngebandingin dengan cerita jaman SD, yang ada cuma rasa sedih, pantes aja setelah reformasi’98, orang-orang mendorong adanya otonomi daerah. Dikenal sebagai penghasil timah terbesar (saat itu harganya masih tinggi), tapi pulau Belitong dan pulau Bangka enggak bisa nikmati hasil produksi timah. Bahkan kalau enggak salah liat (dimana lupa), pulau Belitong itu termasuk daerah yang tertinggal di Indonesia.

Syukur pulau Belitong hari ini berubah, bukan lagi dikenal sebagai penghasil timah, tapi sebagai pulaunya laskar pelangi dan kampungnya ko ahok/basuki tjahya purnama (wakil gubernur DKI Jakarta). Sepanjang wisata di pulau Belitong, semuaaaaanya ada nama laskar pelangi! Gw main ke salah satu museum, disana ada buaya laskar pelangi. Gw pergi ke pantai, ada monument shooting film laskar pelangi. Gw nyari oleh-oleh, semua oleh2nya ada tulisan ‘belitong, negeri laskar pelangi’ atau apalah semuanya ada laskar pelanginya, bahkan bakso aja ada juga yang namanya bakso laskar pelangi!

Ya walau pun novelnya Andrea Hinata banyak mengandung pro-kontra (gw kesana sama kakak gw yang berteman sama Andrea Hinata, tapi doi kesel banget sama Andre Hinata haha) dan juga menurut gw si AH ini orangnya agak narsis ya. Tapi harus di akui, kalau enggak ada doi, daya tarik pulau belitong hanya pantai dan pemandangan alamnya saja. Entah siapa yang memanfaatkan, AH memanfaatkan pulau Belitong atau AH dimanfaatkan pulau Belitong, tapi menjadikan laskar pelangi sebagai objek pariwisata di pulau Belitong patut di apresiasi.

Kedua., cerita tentang ko Ahok (berasa akrab ya manggilnya ko ahok ko ahok haha), playmakernya DKI Jakarta dan gw selalu suka sama gaya main ‘keras’nya doi di DKI Jakarta. Sebelum menjadi WaGub DKI Jakarta, doi adalah bupati Belitong Timur. Dan lo harus tau men, setiap gw ajakin ngobrol masyarakat dari sana dan tau gw dari Jakarta, mereka semua langsung semangat ngomongin ko Ahok! Enggak ada orang yg gw ajak ngobrol yang enggak bangga sama ko Ahok (sampai2 gw kebawa rasa bangga juga). Sebenarnya ko ahok ini Cuma 2 tahun jadi bupati Belitong Timur, setelah itu dia izin jadi calon gubernur provinsi Bangka belitong (dan sayangnya kalah). Tapi walau Cuma 2 tahun, kerjaannya konkrit men. Kabupaten Belitong Timur lebih terbangun dibanding kabupaten Belitong Barat. Lebih rapih dan lebih tertata secara fisik. Masyarakat disana juga semangat cerita, karena sebelum jadi bupati sampai sekarang kalau ko Ahok mudik dari Jakarta, ko Ahok ini doyan juga blusukan kayak jokowi. Nongkrong di warung kopi, naik ojek kemana-mana, ngobrol sama masyarakat, berteman sama preman, dan gaya2 blusukan lainnya itu udah dilakuin sebelum doi jadi bupati Belitong Timur sampai sekarang (kalau di DKI Jakarta kan lebih banyak si jokowi tuh yg blusukan ya). Dan ada cerita yang keren tentang ko Ahok ini, saking dekat, dikenal, dan konkritnya, saat pemilu calon legislatif DPR-RI, caleg2 kan biasanya suka pasang foto tuh. Ahok enggak pasang baligo meenn! Doi Cuma ngomong sepatah kata saat pemilu akbar dihari terakhir kampanye,”tolong antarkan saya ke DPR!”. Dan simsalabimbimbiim! Jadi bro anggota DPR. GILAAAAAAA!!

Ketiga, perjalanan naik kereta api ekonomi majapahit dari Jakarta ke Malang. Namanya juga kereta ekonomi, duduknya hadap2an kan. Depan gw mbok2, sebelah gw mbok2, dan depan gw buruh di industri rokok (nama perusahaannya ada deeh). Jalan, jalan, naik kereta api tutututt…. Tengah malem ketika gw bangun tidur dan si buruh juga belum tidur, doi nanya ke gw,”mas, anak kuliahan?”,
Gw jawab:”baru lulus mas bulan kemarin, kenapa gitu?”
Si buruh:”oh kelihatan dari gayanya”
Gw dalam hati:”gaya gw emang muda banget kale haha”

Terus habis itu si buruh mulai deh nanya2 tentang gw, kuliah dimana, jurusan apa, punya pacar atau enggak, banyak deh nanya mulu kayak mau beli barang aja haha. Tapi ada satu percakapan yang agak bikin gw eeeeee…..

Si buruh:”mas anak orang kaya ya?”
Gw:”biasa aja mas,gini2 aja kayaknya”
Si buruh:”ah masa, itu bisa kuliah di ITB”
Gw:”yah mas kuliah disana mah yg penting rajin atau pinter aja (padahal gw enggak pinter dan enggak rajin juga haha)”
Si buruh:”mas nya mobilnya berapa?”
Gw:”keluarga saya Cuma punya 1 mas”
Si buruh:”ah masa mas enggak punya?”
Gw:”beneran mas, itu juga mobil yg pake rame2”
Si buruh:”mas nya kali yang enggak mau dibeliin”
Gw:”……..”

Akhirnya karena gw udah capek ditanya2in (dikira gw tawanan KPK kali ya ditanya mulu), gw mulailah pakai strategi menyerang balik! Yeah! Ini orang yg gw tanya terus tentang industri rokok, asalnya, keluarganya, dsb. Strategi berhasil dan akhirnya doi tidur karena kecapean jawab pertanyaan gw hahaha.

Oke bro sist, sabar ya masih ada satu cerita terakhir, nanti maksud cerita ini bagian penutup. Jadi sekarang selow aja dulu ya jangan langsung di close tabnya ya haha

Cerita keempat sekaligus terakhir!
Sampailah gw dipelosok jawa timur. Disini barulah gw bisa nikmati dan benar2 bersyukur gw jadi sarjana dalam kehidupan yang relatif lebih mudah diberi Tuhan. Gimana enggak bersyukur,walau kadang2 enggak punya duit, tapi gw masih bisa tetap kuliah selama 5 tahun, enggak perlu punya waktu nganggur dari SMA ke Kuliah (karena habis lulus SMA langsung kuliah), dan enggak diwajibkan bekerja sambil kuliah. Disini banyaaak banget orang yang habis lulus SMA langsung cari kerja (sama kayak buruh yg gw temuin di kereta) dan enggak sedikit juga yang musti kerja sambil kuliah. Jadi ada banyak juga yang umur 25,26,dan sekitarnya belum dapat gelar sarjana, karena kadang 1 semester kuliah, 1 semesternya lagi kerja buat bayar kuliah, atau kuliah-kerja, kuliah-kerja, buat bayar biaya kuliahnya sendiri. Jadi sekarang gw merasa bullshit deh buat orang2 dikampus keren yang sok2an kerja saat kuliah (walau mungkin tujuannya baik), disini gw udah liat yg bener2 banting tulang buat bayar kuliahnya sendiri. And fucking asshole buat organ2 yg ngasih beasiswa buat kampus2 tajir dan orang2 tajir, mending duit beasiswanya dikasih buat orang2 yang gigih cari uang untuk biayai hidupnya sendiri.

Oke  lah sampai sini aja dulu cerita tentang pendidikannya, ada poin penting lain yg mau gw ceritain dari pelosok kampong ini. Tapi ya gw berharap, semoga suatu saat pendidikan dan kemudahan dapat pendidikan di negeri ini bukan cuma buat orang kaya dan orang pintar. Karena kalau enggak bisa tingkatkan taraf pendidikan dari struktur masyarakat yang paling bawah, selamanya ada gap antara orang pinter dan orang miskin. Ya semoga2 arah pendidikan bangsa ini enggak bikin orang pinter dan orang ‘punya’ makin pinter, tapi fokus juga bikin masyarakat proletar dan orang bodoh jadi lebih pinter agar bisa punya kehidupannya jadi lebih baik.

Dilingkungan yang isinya orang2 kek gitu (umur 25 belum dapat gelar sarjana, pengangguran sejak lulus SMA, orang yg kerja sambil kuliah). Mereka liat gw kayak alien, umur 23 udah dapat gelar sarjana. Padahal yee, kalau dikampus gw itu sebenernya hal biasa aja, malah dihitungnya lama karena lulus kuliah 5 tahun hahaha, dan banyak juga temen seangkatan gw umur 23 udah punya gelar master. Tapi disni gw belagak jadi orang pinter aja hahaha. Ngobrol-ngobrol, begadang, sampai akhirnya dengan kesotoyan tingkat tinggi, gw mulai menerka: apa sih sebenarnya perbedaan, tolok ukur, orang2 dikampung sama orang2 di kota:

1.       Kemampuan analitis
Hal yang miris ketika bertemu dengan orang-orang desa ialah kemampuan nalar logikanya dalam menanggapi satu masalah. Misalnya gini, ada informasi A datang ke orang kampung, hasilnya keluar jadi A lagi! Sangat jarang gw temui ada orang desa yang punya kemampuan untuk menanggapi informasi A, kemudian keluar sebagai A++, B, atau bahkan jadi C. Informasi di desa terbatas dibanding di kota. Tapi yang jadi masalah lagi ketika informasi enggak di olah secara baik. Sekalipun di olah, hasil analisanya juga jauh dibandingkan dengan orang2 kota. Makanya, menurut gw mudah sekali orang2 desa itu terkena provokasi. Entah provokasi tentang agama, penyebaran kebencian, politis, dsb.

Tanpa memandang rendah orang2 di desa, tapi jikalau terjadi diskusi atau pun debat di desa dan di kota. Pasti akan lebih berkembang diskusi/debat di kota dibandingkan di desa. Faktor akses informasi dan kemampuan analitis menangkap informasi yang jadi faktor perbedaan antara orang-orang desa dan kota.

Menurut gw, faktornya penyebab hal ini bukan karena pendidikan di sekolah atau tidak diajarkannya filsafat logika di sekolah-sekolah dasar (seperti di Prancis yang mengajarkan anak SD tentang logika). Tapi kurangnya menangkap intisari pelajaran seperti matematika, sains, dsb yang banyak mengajarkan logika dan faktor lingkungan desa yang mungkin sudah mengakar budaya pragmatisme menangkap informasi.

2.       Bahasa
Kata orang bijak bahasa menunjukkan bangsa. Tapi hari ini udah jamannya globalisasi dan bahasa asing sudah jadi kemampuan wajib di jaman sekarang. Jadi orang bijak masa lampau itu kita lupain aja ya sekarang hahaha bercanda.

Bahasa itu menunjukkan kepandaian seseorang! Orang yang banyak baca, orang yang banyak belajar, orang yang banyak bergaul, pasti punya kosakata lebih banyak dibandingkan dengan orang yang jarang baca, jarang belajar, dan jarang bergaul.

Seperti yang gw tulis sebelumnya, informasi di desa terbatas. Jarang bisa menemukan buku bagus disini, bahkan media Koran dikampung2 itu juga enggak bisa lo samain kayak di kota. Koran di kota bisa sampai 40-50 halaman. Dikampung, bagi Koran lokal, bisa bikin 30 halaman itu udah jadi Koran edisi special men. Ye jadi lo jangan samain dulu nih kita semua penduduk Indonesia bacaannya sama, dari halaman juga udah beda, apalagi dari sisi konten, emmm miris lo liatnya, gw aja pusing baca berita disini.

3.       Visioner,
Itu bagian penutup sekaligus rasa syukur gw karena Tuhan izinkan gw lahir dilingkungan yang positif. Babeh gw orang minang, lulusan ITB, dan sangat pedulikan pendidikan. Emak gw bukan orang yang pinter2 amat, tapi pintar bergaul dan selalu pedulikan pendidikan anak2nya. Jadi gw lahir dilingkungan yang menunut belajar, menuntut ilmu jadi hal nomor satu. Keluarga besar gw dulu orang desa, tapi karena pinter sekarang kehidupannya jadi lebih baik, makanya semua anak, keponakan, cucu, cicit, cucut, sampai ciut disuruhnya menuntut ilmu terus.

Dilingkungan yang kayak beginilah, akhirnya gw tumbuh dewasa jadi orang yang mikir mulu besok mau jadi apa, gimana caranya, bisa atau enggak, dsb. Hingga sampailah akhirnya gw kuliah dan masuk di lingkungan ITB. Hal pertama yang bikin gw terpesona sama ITB, bukan kepinteran anak2nya, tapi saat masuk ITB gw baru sadar, ini kumpulan orang2 yang berpikirnya visioner, semuanya punya cita2 tinggi, keren deh pokoknya. Lingkungan ini jadi lingkungan akademik yang baru bagi gw. Berbeda dengan lingkungan gw pas di SMA, enggak banyak yang berani bercita-cita tinggi dan lebih banyak yang menerima apa adanya.

Enggak di desa, enggak di kota, sebenarnya enggak banyak juga orang yang punya pikiran visioner. Di kota juga banyak orang2 yang enggak berani bermimpi jauh kok. Tapi desa, yang kehidupannya relatif lebih terbatas dibanding desa, jumlah orang yang mau bepikir visioner jauh lebih sedikit lagi dan sisanya banyak yang secara pikiran menyerah sama kehidupan, terima hidup apa adanya.

Gw buka tulisan ini dengan cerita tentang Andrea Hinata yang mengubah pariwisata pulau Belitong, Ko Ahok orang desa yang berpikir maju, buruh dan lingkungan gw sekarang di deso yang lebih pragmatis. Enggak banyak orang2 yang bisa jadi kayak Andrea Hinata atau jadi kayak Ko Ahok. Orang kota juga enggak semuanya berpikir maju kok. Tapi kalau bisa pakai metode kuantitatif ya, kota relatif lebih unggul dibanding desa.

Sejarah itu bicara, bahwa lebih banyak orang2 kampung, orang2 pelosok, yang bisa jadi lebih sukses dibanding orang desa. Pak Harto, Che Guevara, siapa lagi tuh sampai ada orang rajin yg bikin buku orang2 desa yang sukses. Bahkan enggak usah jauh2, tuh keluarga besar babeh gw akhirnya bisa keluar dari kemiskinan. Orang besar, orang sukses, mereka bukan supermie atau popmie yang lima menit jadi; Mereka punya lebih banyak pengalaman dan bekerja lebih keras dibanding orang kebanyakan. Orang2 seperti Ahok, Yusril Ihza Mahendra (Profesor bidang Hukum), atau Aidit (Ketua PKI jaman dulu) dari pulau Belitong sampai bisa jadi terkenal dan besar namanya pasti lebih sulit dibanding orang2 yg punya hidup relatif lebih enak dibanding di kota. Berpikir besar dilingkungan yang pragmatis seperti di desa itu lebih sulit dibanding berpikir besar dikumpulan orang2 pintar seperti di kota. Jalan kehidupan di desa lebih banyak kerikil dan tanah dibanding jalan kehidupan di kota yang beraspal dan banyak bolongnya. Tampil jadi orang yang berbeda dari kebanyakan orang itu satu langkah yang sulit ditempuh, walau entah itu langkah maju atau mundur.
Yaa terakhir, pesan buat orang2 dari kota, ingat persaingan lebih ketat lebih ketat tapi jangan lupa bersyukur banyak nikmat kemudahan yang diberikan Tuhan, hati2 ditikung sama orang desa. Buat yang di desa, jangan takut berpikir dan bertindak beda. Mereka2 yang sekarang namanya jadi besar buktikan kalau mereka bisa walau dari lingkungan yang relatif lebih kurang.

Orang desa bergaya kota
Udah ya cape nulisnya, ini penutupnya pertanyaan lelucon aja

Berteman sama orang bodoh, kadang bisa kebawa bodoh
Berteman sama orang pintar, kadang ditipu terus
Jadi berteman sama siapa dong?

Komentar