Momentum Terciptanya Kesimbangan Antara Buruh-Pengusaha-Pemerintah

Pergulatan kaum buruh untuk mendapatkan hidup yang layak tidak pernah berhenti. Mulai dari zaman revolusi industri yang dipelopori oleh keprihatinan Karl Marx terhadap buruh sampai sekarang yang terjadi di Indonesia. Kehidupan yang layak bagi buruh adalah fundamental. Selain tertera pada pasal 27 UUD’45 tentang kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, tentunya sisi kemanusian untuk mencapai hidup yang lebih baik adalah hal yang lumrah bagi seluruh manusia di muka bumi.

Perhitungan upah buruh berbeda pada tiap-tiap Provinsi. Perbedaan upah ini dikarenakan adanya perbedaan dalam Upah Minumum Regional (UMR) disetiap Provinsi. UMR ditentukan berdasarkan perhitungan Komponen Hidul Layak (KHL). KHL sendiri disusun setingkat peraturan menteri (PerMen). Sejak UU no.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, terhitung sudah terdapat dua PerMen tentang komPonen hidup layak. Kedua Permen tersebut ialah PerMen no.17/2005 dan PerMen no.13/2012. Lebih lanjutnya lagi permintaan kembali kenaikan upah buruh dikabulkan oleh Pemerintah pada bulan Mei 2013 kemarin.

Hari ini, buruh di provinsi DKI Jakarta kembali menuntut adanya kenaikan upah menjadi Rp 3,7 Juta. Jikalau permintaan buruh di DKI Jakarta ini dikabulkan, memungkinkan akan terjadi efek domino kenaikan upah buruh di seluruh Indonesia. Jadi memungkinkan sekali keputusan Jokowi besok terhadap upah buruh seperti keputusan seorang Presiden yang berlaku di seluruh saentro nusantara.
Sebelum menanggapi, apakah tuntutan buruh di DKI Jakarta hari ini pantas dikabulkan atau tidak, saya pikir pelu untuk mencermati perubahan yang terjadi pada KHL dikedua PerMen dan tuntutan perubahan buruh. Agar mempermudah, silahkan liat perbedaan masing-masing PerMen dan tuntutan buruh DKI Jakarta pada tabel dibawah ini.

TABEL PERBEDAAN KOMPONEN PERMEN NO.17/2005, PERMEN NO.13/2012, DAN TUNTUTAN BURUH DKI JAKARTA 2013
Komponen
PerMen no.17/2005
PerMen no.13/2012
Tuntutan Buruh Jakarta 2013
Makanan dan Minuman
1.  Beras 10 Kg
2. Sumber Protein, seperti daging (0,75kg), ikan segar (1,2Kg), dan telur ayam (1 Kg)
2.  Kacang-kacangan: tempe-tahu (4,5Kg)
3.  Susu bubuk (0.90 Kg)
4.  Gula pasir (3 Kg)
5.  Minyak goring (2 Kg)
6.  Sayuran (7.2 Kg)
7.  Buah (7.5 Kg)
8.  Karbohidrat lainnya (3 Kg)
9.  Teh/kopi ( 4 sachet, 1 celup)
1.  11. Bumbu (15%)
Sama seperti Permen No.17/2005
Makan pagi (nasi uduk telor) Rp 5.000 x 30 hari atau Rp 150 ribu.
Makan siang (nasi soto) Rp 9.000 x 30 hari atau Rp 270 ribu.
Makan malam (nasi goreng) Rp 8.000 x 30 hari atau Rp 40 ribu. Buah-buahan Rp 100 ribu.

Minuman satu kali minum teh Rp 2.000 x 30 hari atau Rp 60.000. Satu kali minum kopi Rp 2.500 x 30 hari atau Rp 75 ribu. Aqua Rp 3.000 x 30 hari atau Rp 90 ribu. Susu Rp 2.500 x 30 hari atau Rp 75 ribu, dengan total Rp 300 ribu.
Sandang
1.  Celana pjg/rok (6/12 potong)
2.  Kemeja lengan pendek (6/12 potong)
3.  Kaos oblong/BH (6/12 potong)
4.  Celanda dalam (6/12 potong)
5.  Sarung (1/12 helai)
6.  Sepatu (2/12 pasang)
7.  Sendal (2/12 pasang)
8.  Handuk mandi (1/12 potong)
9.  Perlengkapan ibadah: sejadah dan mukena (1/12 paket)
Ditambah/berubah:
1.   Celana pendek (2/12 potong)
2.   Ikat pinggang (1/12 buah)
3.  Sarung (3/24 helai)
4.  Kaos kaki (4/12 pasang)
5.  Perlengkapan pembersih sepatu: semir(6/12 buah) dan sikat (1/12 buah)
6.  Perlengkapan ibadah: sejadah, mukena, peci (1/12 potong per barang)
Pakaian, celana, kaos, sepatu, kemeja, handuk, perlengkapan ibadan, jam tangan, jam dinding, tas kerja dan lainnya total Rp 300 ribu.
Perumahan
1.  Sewa kamar (1 bulan)
2.  Tempat tidur (1/48 buah)
3.  Kasur & bantal (1/48)
4.  Seprei & sarung bantal (2/12 set)
5.  Meja & kursi (1/48 set)
6.  Lemari pakaian (1/48 buah)
7.  Sapu (2/12 buah)
8.  Perlengkapan makan: piring (3/12 buah), gelas (3/12 buah), sendok & garpu (3/12 buah)
9.  Ceret (1/24 buah)
10.   Wajan (1/24 buah)
11.   Panci (2/12 buah)
12.   Sendok (1/12 buah)
13.   Kompor minyak tanah (1/24 buah)
14.   Minyah tanah (10 liter)
15.   Ember plastik (2/12 buah)
16.   Listrik (450 watt)
17.   Bola lampu pijar/neom (6/12 untuk 25 watt atau 3/12 untuk 15 watt)
18.   Air bersih (2 m2)
19.   Sabun Cuci (1,5 Kg)
Ditambah/berubah:
1.     Kasur busa (1/48) dan bantal busa (2/36)
2.     Rice cooker ukuran ½ linter (1/48)
3.     Kompor gas 1 tungku. Selang & regulator (1/24 set), dan tabung gas 3 Kg (1/60 buah)
4.     Gas elpiji (2 tabung)
5.     Ember plastik 20 liter (2/12 buah)
6.     Gayung plastik (1/12 buah)
7.     Listrik 900 watt
8.     Bola lampu hemat energy 14 watt (3/12 buah)
9.     Sabun cuci pakaian (500 gr)
10.  Seterika 250 watt
11.  Rak piring portable plastik
12.  Pisau dapur
13.  Cermin
Sewa rumah 3 petak/cicilan rumah tipe 36 sebesar Rp 750 ribu. Kemudian perabotan rumah 30 item di antaranya kasur, dipan, seprei, meja, lemari, dispenser, mesin cuci, kipas angin, perlengkapan makan seharga Rp 300 ribu. Biaya listrik 900 VA Rp 100 ribu dan air PAM untuk keperluan mandi dan rumah tangga Rp 100 ribu.
Pendidikan
Bacaan tabloid 4 eks/buah
Sama
Seperti langganan koran atau tabloid total Rp 15 ribu.
Kesehatan
1.       Sarana kesehatan: Pasta gigi (80 gr), sabun mandi (80 gr), sikat gigi (3/12 buah), shampoo (1 botol 100 ml), pembalut/alat cukur (1 dus/set)
2.       Obat anti nyamuk (3 dus)
3.       Potong rambut (6/12 kali ditukang cukur)
Ditambah:
1.     Deodorant ( 6/12 botol)
2.     Sisir (2/12 buah)
Seperti sabun, pasta gigi, bedak, deodoran, sampo, suplemen obat, potong rabut dan lainnya total Rp 150 ribu. Ditambah lagi biaya rekreasi dan tabungan sebesar Rp 100 ribu menjadi Rp 3.170.000.
Transportasi
Untuk angkutan umum yang digunakan 30 hari (PP)
Sama
Dua kali naik angkutan umum (pulang-pergi) dengan hitungan 2 x Rp 3.000 atau Rp 12.000. TransJakarta (pulang-pergi) yaitu 2 x Rp 3.500 atau Rp 7.000, dengan total satu bulan Rp 570 ribu.
Tambahan
Rekreasi 2/12 kali dan tabungan (2% dari keseluruhan nilai sebelumnya)
Sama
Ditambah 19 persen dari KHL Rp 602 ribu dan KHL ditambah produktivitas pertumbuhan ekonomi dan inflasi ditambah 19 persen KHL, maka total jumlahnya sebesar Rp3.772.000.
Sumber: Rekapitulasi PerMen no.17/2005, PerMen no.13/2012, dan berita kompas terkait tuntutan buruh DKI Jakarta

Perubahan yang terjadi dari PerMen no.17/2005 ke PerMen no.13 ialah penambahan 14 jenis baru KHL dan beberapa penyesuaian/penambahan jenis kualitas maupun kuantitas sesuai dengan kebutuhannya. Tapi masih harus diketahui bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam perhitungan KHL dari kedua PerMen tersebut, seperti tidak tercantumnya jumlah keluarga yang mempengaruhi pengeluaran, masih terdapatnya komponen-komponen lain yang belum seharusnya masuk namun belum tercantum dalam perhitungan KHL, dan masih rawannya perhitungan KHL apabila buruh terkena musibah ataupun penyakit yang memerlukan biaya tambahan.

Pada tahun 2012, sebenarnya sudah terjadi kenaikan upah buruh di DKI Jakarta, dari mulanya sebesar Rp 1,9 Juta naik menjadi Rp 2,2 Juta. Belum satu tahun berselang, buruh di DKI Jakarta kembali menutut kenaikan upah per September 2013 menjadi Rp 3,7 Juta. Tuntutan kenaikan upah ini dikarenakan meningkatnya harga-harga akibat inflasi.

Dari sisi penguasaha, adanya kenaikan UMR, pencabutan subsidi BBM, dan depresiasi nilai tukar rupiah yang berpengaruh pada meningkatnya nilai nominal produk impor (karena masih banyak industri yang menggunakan bahan impor sebagai input produksinya) menyebabkan naiknya biaya usaha yang harus dikeluarkan.

Pro-kontra terjadi karena kondisi perekonomian yang sedang labil sekarang. Jikalau permintaan kenaikan upah buruh dikabulkan, tentunya pengeluaran swasta akan naik ditengah ketidakstabilan makro ekonomi dan adanya deadline (jatuh tempo) pembayaran hutang swasta pada bulan September ini. Kenaikan biaya produksi memungkinkan sekali pihak swasta akan melakukan penurunan produksi dan rasionalisasi pekerja (baca: PHK). Penurunan produksi nantinya akan menghambat kemajuan badan usaha karena margin keuntungannya semakin kecil. Dan tentunya kebijakan PHKakan menciptakan kondisi yang buruk ditengah naiknya harga-harga dan memungkinkan sekali mendorong masalah ekonomi menjadi masalah politik ataupun sosial, seperti kerusuhan yang terjadi pada krisis 1998.

Permasalahan upah buruh adalah akibat sulitnya buruh, pengusaha, dan pemerintah dalam mencari keseimbangan di antara ketiganya. Masing-masing stakeholder egois dalam menuntut kepentingannya sendiri. Buruh tidak peduli terhadap kondisi badan usaha dan situasi nasional, pengusaha rakus dan tamak dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya (walaupun harus menekan upah pegawai), dan pemerintah tidak menunjukkan political will  dan cermat dalam menengahi kemelut yang terjadi.

Polemik permasalahan antara buruh-pemerintah-penguasaha bukanlah masalah baru di Indonesia. Bukan masalah yang baru terjadi sekarang akibat tuntutan buruh di DKI Jakarta dan kondisi makro ekonomi, tapi masalah lama akibat tidak pernah ditemukannya keseimbangan di antara ketiganya. Sering sekali kesepakatan hanya terjadi pada kedua belah pihak yang merugikan satu pihak lainnya. Kesepakatan yang hanya terjadi pada buruh dan pemerintah dalam menaikkan upah akhirnya memberatkan pengusaha. Kesepakatan yang terjadi antara pemerintah dan pengusaha lebih banyak mengakibatkan penderitaan buruh seperti pada kasus outsourcing dan berbagai macam cerita eksploitasi buruh.

Sekali lagi,  permasalahan antara buruh-pemerintah-pengusaha ialah mencari keseimbangan antara ketiga stakeholder tersebut. Pihak buruh menginginkan adanya upah yang layak (dalam artian upah memungkinkan mencapai taraf hidup yang lebih baik dikemudian hari). Pihak swasta menginginkan adanya keuntungan yang lebih besar untuk memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi usaha. Pihak pemerintah menginginkan adanya full employement agar daya beli masyarakat tetap terjaga (dan bahkan meningkat) juga peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat maupun badan usaha.

Sumbar gambar: http://www.feministfightback.org.uk/?cat=13

Saya pikir polemik tuntutan kenaikan upah buruh di DKI Jakarta tidak harus menjawab apakah tuntutan tersebut akan dikabulkan atau tidak. Akan sangat bijaksana apabila output dari masalah ini bukanlah keputusan naik atau tetapnya upah buruh di DKI. Tapi mencapai keseimbangan baru antara buruh-pengusaha-pemerintah, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah ketidakseimbangan lainnya seperti outsourcing, eksploitasi buruh, perluasan pasar badan usaha, penerimaan pajak dari badan usaha, dan ketidakseimbangan lain sebagainya. Bukankah mencari keseimbangan adalah bagian dari tersusunnya perekonomian secara kekeluargaan (hubungan saling mengerti dan gotong-royong membantu sesama)?

Komentar