Nasionalisme, Globalisasi, dan dilema Proteksi Industri
Kemajuan telekomunikasi, transportasi dan teknologi
mempermudah barang dan jasa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam
waktu yang lebih singkat. Keterbatasan sumber daya, tingkat efisiensi, kemajuan
teknologi dan harga menjadi salah satu pertimbangan suatu Negara dalam
melakukan perdagangan luar negeri. Bahkan rasanya dewasa ini tidak ada satu
Negara yang tidak bisa mengabaikan interaksinya dengan luar negeri.
Negara seperti Singapura misalnya, dengan lahan yang
terbatas, jumlah penduduk yang tidak banyak, tapi dengan perannya sebagai salah
satu sentral perdagangan dunia dan interaksinya dengan dunia internasional
(dilihat dari degree of openness,
perbandingan kontribusi ekspor dan impor dalam GDP), menjadikannya sebagai
salah satu contoh Negara yang memiliki ketergantungan terhadap dunia
internasional. Dicontoh lainnya, krisis akibat gagal bayar kredit perumahan di
Amerika Serikat juga mengakibatkan Negara-negara di Eropa dan belahan dunia
lainnya turut merasakan dampaknya. Borderless
world tidak hanya menciptakan keuntungan bagi satu Negara, tapi juga dapat
memberikan tambahan tanggungan beban. Ibarat kata, kalau hari ini ada kepakan
sayap di ujung dunia di ujung dunia, mungkin besok bisa tercipta angin taufan
dibelahan dunia lainnya.
Globalisasi kerap kali dicekoki paham liberalisasi oleh para
penganut kapitalisme. Kaum pemilik modal (kaum kapitalis) yang sudah terlebih
dahulu memiliki keuntungan modal, pengalaman, dan tingkat keefisienan produksi
yang lebih tinggi, tentunya akan sangat senang jikalau harus bertanding melawan
‘pemain baru’ yang memiliki keterbatasan modal ,pengalaman, dan tingkat
efisiensi yang rendah. Inilah yang kemudian mengecap liberalisasi sebagai free fight liberalism.
Free fight liberalism
kemudian menjadi prakara bagi kaum nasionalis dalam menanggapi globalisasi. Borderless world lebih banyak di warnai
dengan aksi pencabutan subsidi, privatisasi, penjualan perusahaan Negara, dan
lain sebagainya. Bahkan dalam kasus kekinian, kita lebih banyak menggunakan
rumus ‘impor’ dalam stabilisasi penyediaan komoditas dibanding meningkatkan
produksi domestik. Tentunya kita tidak bisa menolak globalisasi, tapi globalisasi
tanpa nasionalisme seperti memandang pelangi ditengah hujan. Hanya bisa
memandang indahnya pelangi dari kejauhan, jangankan memilikinya, yang ada
hanyalah badan yang basah diguyur hujan. Ya, seperti itulah globalisasi tanpa
nasionalisme, manfaatnya menguntungkan Negara lain, tapi mudarotnya memberatkan
diri sendiri.
Sekali lagi, bagi saya pribadi, globalisasi tidak salah, yang
salah ialah ketika kita terus ikut ‘free
trade’ tanpa menegakkan ‘fair trade’,ketika
tergila-gila pada ‘efisiensi’ dan melupakan ‘distribusi’,ketika keasikan
menikmati pajak perusahaan asing dibanding mengelarkan uang untuk pengembangan
BUMN, ketika lebih banyak menyembah pada ‘daulat pasar’ dibanding ‘daulat
rakyat’, ketika terus mendahulukan ‘Asing’ dibanding ‘Asrul’, ketika lebih percaya dengan ‘orang kulit
putih’ dibandingkan mereka yang ‘kulitnya sawo matang’, dan ketika mementingkan
‘pembangunan di Indonesia’ ketimbang ‘pembangunan Indonesia’.
Proteksi Industri
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam bertanding di
arena globalisasi ialah proteksi industri dalam negeri. Pernah saya baca
tentang usulan Tan Malaka dalam membangun industri dalam negeri (judul bukunya
“Merdeka 100%”). Kurang lebih tahapannya seperti ini: (1) impor alat/teknologi
yang dibiayai dari ekspor sumber daya alam, (2) bangun baby industry/infant industry
argument,(3) proteksi baby industry/infant industry argument sampai pada tingkat tertentu (kalau enggak
salah sampai menguasai pasar domestik, tingkat efisiensi tertentu, dan memiliki tingkat kecakapan yang sama dengan
perusahaan asing) barulah (4) kemudian baby
industry/infant industry argument
ini dilepas dan bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing. Jenis proteksi
bermacam-macam, mulai dari pemberian subsidi, penutupan/pembatasan keran impor
melalui instrumen tarif ataupun kuota untuk komoditas yang sama,dsb.
Pertanyaannya kemudian, kenapa kita tidak lakukan saja proteksi
untuk industri dalam negeri? Kita coba telaah dulu baik atau buruknya proteksi
bagi usaha dalam negeri.
Misalnya komoditas sarung. Kalau suatu Negara ikut serta
dalam perdagangan bebas untuk komoditas sarung dan melepas harga sarung seperti
harga yang berlaku secara internasional, maka harga sarung domestik akan sama
dengan harga sarung internasional. Kita andaikan sarung adalah komoditas yang
diperlukan oleh orang banyak dan diproduksi terus menerus. Kalau kebutuhan
domestik akan sarung sebanyak 10 dan produsen lokal hanya sanggup memproduksi
sebanyak 4 sarung, maka sisa 6 sarung didapatkan dari luar negeri (impor
sarung).
Kemudian dilakukan proteksi terhadap komoditas sarung.
Misalnya menggunakan kebijakan tarif. Sehingga harga sarung yang masuk ke
Indonesia akan bertambah dengan adanya tambahan biaya tarif. Berarti harga
sarung lokal akan lebih murah dibandingkan harga sarung impor. Disaat seperti
ini, produsen sarung domestik akan meningkatkan produksinya (dari awalnya 4
sarung menjadi 7 sarung). Berarti dari sini dapat diketahui bahwa kebijakan
tarif dapat memberikan keutungan peningkatan surplus produsen dan penerimaan
tambahan untuk pemerintah dari bea masuk sarung.
Namun disisi lain, terdapat kerugian, yakni production loss dan consumption loss. Production
loss adalah kerugian karena terjadi disalokasi sumber daya. Input sarung
seperti benang harusnya dapat digunakan untuk memproduksi barang lain (misalnya
baju), namun karena adanya ‘tuntutan’ mencukupi kebutuhan dalam negeri,
akhirnya benang lebih banyak digunakan untuk membuat sarung dibandingkan dengan
baju.Sedangkan consumption loss
adalah cerminan menurunnya kepuasan konsumen akibat penurunan konsumsi. Gambarannya seperti ini, konsumen memiliki
keterbatasan dalam memilih merk/brand sarung dan secara terpaksa membeli sarung
lokal. Hal ini dikarenakan sarung impor (yang memiliki
merk/brand/kualitas/pertimbangan lainnya) secara harga lebih mahal dibandingkan
sarung lokal.
Kebijakan proteksi sebenarnya pernah dilakukan di Indonesia.
Contoh berhasilnya ada, tapi contoh gagalnya juga ada. Salah satu contoh
berhasilnya adalah ketika diberlakukan proteksi terhadap sektor pertanian untuk
mega-proyek swasembada pangan. Kalau tidak salah ingat dari bukunya
Prof.Mubyarto, saat itu kontribusi sektor pertanian meningkat selama ada
kebijakan proteksi. Hasilnya swasembada tercapai melalui proteksi sebagai salah
satu instrumennya. Sedangkan contoh buruknya, adalah kegagalan Pertamina
mencapai tingkat efisiensi seperti yang diuraikan dibukunya Pak Andrinof
Chaniago. Kurang lebih ceritanya seperti ini, ketika pemerintah orde baru
memproteksi Pertamina. Saat itu Pertamina kelimpahan untung karena ada
peristiwa oil-boom sekitaran tahun
‘80an. Tapi kelimpahan untung ini justru malah digunakan untuk investasi pada
bidang-bidang yang tidak berhubungan migas, seperti properti. Hasilnya
pemerintah harus terus menyuntikkan dana ke Pertamina karena Pertamina tak
kunjung mencapai tingkat efisiensi tertentu.
Kebijakan proteksi tentunya bukan kebijakan simsalabim, asal
ada proteksi pasti industrinya maju dan berkembang. Ada tahap-tahap dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Pertama dari sisi penetapan usaha
yang akan diproteksi. Ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu peluang di
masa depan dan tingkat feasibiltynya.
Usaha yang akan di proteksi harus sangat diperlukan atau memiliki peluang emas
di masa yang akan datang tentunya akan lebih berguna dibanding komoditas/usaha
yang tidak diperlukan/tidak memiliki peluang emas di masa depan. Sedangkan dari
tingkat feasibility-nya, proyek yang feasible adalah proyek yang net present value-nya bernilai positif.
Kedua, dari perspektif effisiensi, pertanyaan yang
diutarakan ialah seberapa industri yang diproteksi akan menimbulkan biaya
tambahan bagi perekonomian (?). Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu
dilihat seberapa jauh industri-industri tersebut menimbulkan inefisiensi dalam
perekonomian. Ada dua cara, yakni dengan menggunakan effective protection rate (ERC) dan domestic resource cost (DRC). ERC ialah rumusan untuk mengukur
seberapa besar nilai tambah domestik terhadap suatu industri domestik melebihi
nilai tambahnya apabila tanpa proteksi atau nilai tambah internasional.
Sedangkan DRC, digunakan karena industri yang akan diproteksi akan bersaing
dengan produk internasional dan pastinya memerlukan teknologi atau mungkin
impor yang didapatkan dari luar negeri. Maka DRC dapat mengukur berapa rupiah
yang harus dikorbankan untuk menghemat satu unit valuta asing akibat
diproduksinya barang substitusi impor.
Syarat pertama dan syarat kedua sebenarnya relatif lebih
mudah dilakukan untuk menentukan industri apa yang harus diproteksi. Yang sulit
adalah syarat ketiga untuk memonitor industri yang diproteksi, yakni prilaku
aktor dalam industri yang diproteksi. Sering kali proteksi dilakukan hanya
karena faktor pengusaha yang dekat dengan penguasa (prilaku KKN), dan bukan
karena nilai industri tersebut di masa mendatang. Ataupun sering kali industri
yang diproteksi tidak memiliki pemimpin yang dapat melakukan inovasi dan
mendorong perusahaan dengan penuh visi. Hasilnya bukan efisiensi dan pemasukan
bagi Negara, tapi justru inefisiensi dan ketergantungan dana dari Negara.
**
Tentu sebagai anak bangsa, kita sangat mengharapkan aka nada
perusahaan Negara yang berkuasa lintas Negara. Akan betapa bangganya bangsa ini
jikalau melihat perusahaan-perusahaan Negara bercokol diluar negeri seperti
layaknya McD, Ford, Nike, Adidas,dan Multi
National Company lainnya yang menjamur diseluruh dunia. Tapi perjalanan
untuk memenangkan globalisasi tidak mudah. Cara proteksi bukanlah cara sulap
yang dapat mengubah seketika kertas menjadi burung. Butuh usaha, salah satunya
menjaga ego pribadi demi kepentingan bangsa. Terkadang lebih menyeramkan
saudara sendiri yang mencuri dirumah sendiri, dibanding orang asing yang
mencuri keuntungan dirumah kita. Selama tidak bisa menjaga diri sendiri dari
kepentingan bangsa, selama itulah bangsa lain yang menikmati keuntungan
globalisasi.
(*) Mohon
maaf kalau ada data/sumber yang enggak jelas, karena semua buku/tulisan
orang-orang yang tertera ditulisan ini semuanya tertinggal di Jakarta
Komentar