September Ceria? (Analisa Ekonomi Pasca Agustus 2013)
Banyak pengamat dan pengambil kebijakan yang kiranya
berdebar-debar, setelah terjadi inflasi sebesar 3,29 pada bulan Juli 2013,
berapa inflasi yang akan terjadi pada bulan Agustus 2013? Pertanyaan ini wajar
akibat kenaikan permintaan saat iedul fitri, inflasi tinggi pada bulan Juli
sebelumnya, masuknya kalender akademik, depresiasi nilai tukar rupiah yang mengkhawatirkan
dibulan Agustus, dan pidato pemberi harapan palsu Presiden tanggal 17 Agustus
kemarin.
Dari BPS, inflasi bulan Agustus 2013 sebesar 1,12% dengan
IHK sebesar 146,25. Tiga besar komoditas
yang mengalami kenaikan IHK pada bulan Agustus ini ialah: kelompok sandang
(1,81%), kelompok bahan makanan (1,75%), dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan
olahraga (1,36%).
Untuk mempermudah mengetahui perkembangan tingkat inflasi
lihat gambar trend inflasi sepanjang tahun 2013 dibawah dan gambar perbandingan
tingkat inflasi pada tahun 2011, 2012, dan 2013 untuk melihat perbedaan tingkat
inflasi setiap bulannya.
Sumber: Olahan BPS, 2013
Sumber:
Olahan BPS, 2013
Dari gambar trend inflasi, dilihat bahwa inflasi bulan
Agustus 2013 mengalami penurunan. Namun penurunan grafik inflasi belum tentu
menandakan adanya penurunan harga. Hal ini dikarenakan, IHK merupakan
perhitungan yang mengukur rata-rata perubahan harga secara umum dari sejumlah
jenis barang dari bulan sebelumnya.
Dari gambar perbandngan inflasi bulanan, dilihat bahwa
inflasi yang terjadi di bulan Agustus 2013 masih lebih tinggi dibandingkan
bulan Agustus pada tahun 2011 (inflasi sebesar 0,93%) dan 2012 (sebesar 0,95%).
Secara tahunan, target inflasi pada APBN-P 2013 sebesar 7,2%, namun hingga
bulan Agustus 2013, inflasi dari bulan Januari 2013 sudah mencapai 7,72% dan
memungkinkan akan terus naik dan melewati target.
Kapan harga akan
turun? Atau kapan harga akan kembali stabil?
Pertanyaan ini harus dijawab dengan mengetahui sumber datangnya
inflasi. Secara teks, BPS, dengan menggunakan pengelompokkan berdasarkan
karakteristik pergerakan harga komoditas, memetakan tiga jenis inflasi, yakni:
a.
Inflasi inti (core inflation), yaitu inflasi komoditas yang perkembangan harganya
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum. Inflasi inti berdampak pada
perumabahan harga-harga umum dan lebih bersifat permanen
b.
Inflasi makanan yang bergejolak (volatile food inflation), yakni inflasi
kelompok komoditas bahan makanan yang perkembangan hargaya sangat bergejolak
karena faktor-faktor tertentu. Terdapat 61 jenis makanan yang termasuk dalam
kategori ini.
c.
Inflasi harga yang diatus (administrated price inflation), yaitu inflasi kelompok komoditas
yang perkembangan harganya diatur oleh pemerintah. Misalnya BBM, rokok kretek,
tariff parkir, tariff jalan tol, dsb.
Secara diagramatik, gambar berikut ini akan menunjukkan
inflasi yang ditinjau dari sisi penawaran, permintaan, dan ekspektasi inflasi.
Sumber: BI,
2008
Dari gambar anatomi inflasi, diketahui bahwa inflasi inti
berasal dari kesenjangan produksi akibat perbedaan penawaran dan permintaan,
faktor eksternal dari inflasi dunia dan komoditas impor, dan akibat ekspektasi
masyarakat akan kenaikan harga. Sedangkan inflasi non-inti berasal dari harga
makanan yang bergejolak dan harga yang diatur oleh kebijakan pemerintah.
Secara konteks, perkembangan komponen inflasi diketahui dari
tabel dibawah ini.
Komponen
|
Andil Inflasi per Bulan (%)
|
||
Juni
|
Juli
|
Agustus
|
|
Umum
|
1.03
|
3.29
|
1.12
|
Inti
|
0.19
|
0.59
|
0.69
|
Harga Diatur Pemerintah
|
0.57
|
1.41
|
0.12
|
Bergejolak
|
0.27
|
1.29
|
0.4
|
Sumber:
Olahan BPS, 2013
Berbeda dengan inflasi yang terjadi pada bulan Juni dan Juli
yang disebabkan administrated price
inflation, inflasi pada bulan Agustus lebih banyak disebabkan oleh core inflation. Administrated price inflation pada bulan Juni dan Juli akibat dari
kenaikan harga BBM. Sedangkan gejolak perekonomian secara umum baru berasa
dampaknya pada bulan Agustus. Gejolak perekonomian terebut ialah depresiasi
nilai tukar rupiah terhadap dollar yang menembus kisaran Rp 11.000,- ,
ketergantungan impor komoditas untuk menstabilkan harga dan input industri, dan
defisit yang terjadi pada neraca perdagangan.
Terdepresiasinya nilai tukar rupiah menyebabkan nilai
nominal yang dikeluarkan dalam pembayaran yang menggunakan dollar menjadi lebih
besar. Misalnya US$ 1 sama dengan Rp 10,- dan terdapat keharusan membeli produk
A dengan harga US$ 2, sehingga total pembayaran sebesar Rp 20,-. Namun, ketika
rupiah terdepresiasi menjadi Rp 15 (untuk US$ 1), maka besaran nominal yang
dikeluarkan menjadi Rp 30,- untuk satu produk A.
Terdepresiasinya nilai tukar rupiah menjadi masalah ketika
kebutuhan akan impor tetap tinggi. Kebutuhan akan impor bukan hanya terjadi
pada komoditas pangan, tapi juga barang-barang yang menjadi input produksi
industri. Untuk komoditas pangan, produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan
pangan domestik. Karena itu dilakukan kebijakan impor komoditas pangan untuk
menstabilkan harga di dalam negeri. Dari kebutuhan industri, barang impor
non-migas terbesar diketahui berasal dari barang mesin & peralatan mekanik
(18,5%), barang mesin & peralatan listrik (13,23%), dan barang & baja
(7,38%). Dan impor migas mengalami peningkatan dari bulan Juni ke Juli 2013
sebesar 11,4% (atau naik sebesar US$ 1.781,8). Besarnya dan pentingnya impor
bagi kecukupan permintaan domestik dan produksi untuk industri, menyebabkan
permintaan akan dollar tetap tinggi. Dan pos-pos yang menjadi sumber permintaan
dollar adalah sumber-sumber yang akan menguras cadangan devisa. Sehingga sangat
wajar jikalau akhir-akhir ini banyak pemberitaan di media massa yang
mengkhawatirkan cadangan devisa Indonesia.
Cara untuk menambah cadangan devisa ialah berasal dari
ekspor dan aliran modal yang masuk. Dari sisi ekspor, apabila dibandingkan dengan
nilai ekspor Indonesia pada Juli 2012, nilai ekspor Indonesia pada juli 2013
mengalami penurunan sebesar 6,07%. Nilai ekspor Indonesia pada bulan Juli 2012
masih lebih kecil dibandingkan nilai impornya, yakni US$ 15,11 Miliar untuk
ekspor dan US$ 17,42 Miliar untuk impor. Aliran modal yang masuk sebenarnya
mengalami peningkatan pada triwulan-II, namun depresiasi nilai tukar rupiah
pada bulan Agustus dan ketidak-adaan peraturan untuk menahan uang keluar negeri
menjadi kekhawatiran tersendiri akan banyak uang yang dibawa lari keluar
negeri.
Dari sisi eksternal, sejak krisis global yang melanda Eropa
dan Amerika Serikat, perekonomian global belum mencapai kestabilan baru. Bank
Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya sebesar 2,4%. Dari Negeri
Paman Sam, tanda-tanda perbaikan perekonomian setelah krisis subprime mortgage membuat The Fed (Bank
Sentral AS) berencana mengurangi stimulus moneter. Rencana ini direspon dengan
kepanikan di pasar uang dan saham dunia, akibatnya terjadi penarikan investasi
dari investor global dan depresiasi mata uang seperti di Thailand, Malaysia,
India, dan termasuk Indonesia.
September Ceria?
Apa yang akan terjadi hari esok? Ironi hari ini ialah, jika
mengurangi pasokan impor demi menyelamatkan cadangan devisa, sangat besar
peluang terjadinya kenaikan harga. Namun, jika terus memaksakan terus melakukan
impor, cadangan devisa akan terus terkuras. Tentunya melihat hal tersebut,
cara-cara yang dilakukan harus pula menarik mata uang dollar masuk ke Indonesia
sembari secara perlahan mengurangi impor dan meningkatkan produksi domestik.
Tapi melihat paket kebijakan pemerintah yang telah terbit, rasanya sulit
melihat adanya perbaikan produksi domestik untuk mengurangi ketergantungan
impor dalam jangka waktu dekat. Deflasi mungkin tidak akan terjadi pada bulan
September ini, tapi menahan laju inflasi tinggi adalah fokus pekerjaan saat
ini.
BI rate mungkin cukup mampu menahan dollar pergi keluar
negeri dan menurunkan jumlah uang beredar, tapi permasalahan defisit perdagangan
terus menyebabkan dollar pergi keluar negeri lebih banyak dibanding dollar yang
masuk kedalam negeri. Penyimpanan mata uang dollar oleh masyarakat Indonesia
diluar negeri menjadi pelajaran perlunya peraturan tentang jumlah uang yang
boleh dibawa keluar negeri (seperti kebijakan yang ada di Rusia). Begitu pula
tentang dollar yang dimiliki oleh beberapa pejabat tinggi. Walaupun mungkin
tidak memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan permintaan akan rupiah,
tapi pencairan mata uang dollar dalam bentuk rupiah tentunya memberikan kesan
positif kepada masyarakat bahwa adanya kesungguhan mengantisipasi krisis,
kegotong-royongan menahan beban depresiasi rupiah bersama-sama dan tentunya
bukan pikiran negatif seperti menguatnya mata uang dollar justru menjadi
kesempatan bagi para politisi untuk mengambil keuntungan dari ‘selisihnya’
untuk membiayai baligo, poster, iklan, dsb di tahun politik.
Momentum pemerintah yang ada pada bulan September besok
ialah adanya musim panen kedua di bulan September 2013 dan pembagian BLSM edisi
kedua. Musim panen pada bulan ini dapat kita harapkan memberikan oase sementara
untuk mengurangi kebutuhan impor. Cuaca yang masih baik semoga tidak menjadi
masalah pada musim panen bulan ini. Tapi BLSM yang bermaksud ‘mengganti’
pencabutan subsidi BBM saja rasanya belum cukup untuk menjaga daya beli
masyarakat yang ikut terpukul pula karena kenaikan nilai nominal produk impor
dan inflasi. Belum lagi masalah pembayaran hutang swasta yang jatuh tempo bulan
September ini sekitar US$ 25,6 Miliar. Pembayaran hutang swasta dalam bentuk
dollar ini tentunya memberatkan sektor swasta. Re-schedulling dan re-financing
(penjadwalan kembali dan penghitungan kembali hutang) harus menjadi langkah
yang cepat dilakukan sebelum dampak amat negatif terjadi di perekonomian
nasional (keluarnya dollar keluar negeri dalam jumlah banyak, bangkrutnya
perusahaan swasta karena gagal bayar dan menyebabkan pengangguran dimana-mana).
Jiwa ksatria dari pemimpin bertitel ksatria (dari inggris)
tentunya diperlukan dalam melihat kembali fundamental ekonomi yang di
agung-agungkan selama ini. Defisit perdagangan dan inflasi inti yang
mendominasi inflasi dibulan Agustus 2013 memberikan sinyal ada yang salah pada
fundamental ekonomi kita. Jika terus bersikukuh dengan kebanggaan masa lalu,
bukan tidak mungkin inflasi setelah ini lebih banyak disebabkan karena
fundamental ekonomi yang ‘katanya’ baik-baik saja.
Tentunya kita semua tidak berharap terjadi krisis, tapi
kalau keadaan kostan seperti ini tanpa adanya tindakan yang berdampak
siginifikan, rasanya malaikat mikail pun akan ragu-ragu menurunkan rejeki. Lagu
september ceria pun rasanya sulit untuk di nyanyikan di awal bulan jika kita
tidak memulai dengan bekerja. Apalagi tertidur sepanjang September dan berharap
dibangunkan pada akhir bulan September (seperti lagunya Green Day berjudul wake
me up when september ends).
Komentar