Masih Banyak Peluang Rupiah Menguat



Menguatnya kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pada awal bulan Maret 2014 tentunya menjadi berita bahagia bagi beberapa sektor swasta dan pemerintah. Menyadur dari pernyataan Wakil Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, penguatan nilai tukar rupiah didorong oleh tiga faktor, yakni perbaikan perekonomian Negara maju (khususnya AS), fundamental dalam negeri yang semakin stabil, dan keluarnya Indonesia secara perlahan dari Negara fragile five (9/4).

Tahun lalu, ekonomi Indonesia masuk kategori fragile five bersama Brazil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Istilah fragile five mengacu pada lima Negara yang paling bergantung pada investasi asing sehingga rentan ambruk akibat gejolak ekonomi global.

Sekarang, membaiknya nilai tukar rupiah tetap tidak boleh membuat Bank Indonesia dan Pemerintah berleha-leha. Perlu diingat bahwa neraca pembayaran masih mengalami defisit. Walaupun telah terjadi kenaikan ekspor sepanjang tahun 2013 dan memperkecil jarak defisit pembayaran, kenaikan ekspor pada tahun lalu lebih didorong oleh penjualan komoditas mineral dan batubara. Peningkatan ekspor komoditas mineral dan batubara ini terjadi akibat diberlakukannya UU Minerba per 12 Januari 2014 yang dengan tegas melarang ekspor mineral mentah. Salah satu contohnya ialah komoditas bijih, kerak dan abu logam yang sebelumnya mengalami kenaikan ekspor sebesar 114% sepanjang tahun 2013, kemudian jatuh hingga -70% pada januari 2014.

Bayang-bayang defisit neraca pembayaran yang telah berlangsung sejak tahun 2011 masih menjadi momok bagi gejolak nilai tukar rupiah. Dalam rangka mengurai benang kusut neraca pembayaran dan semakin pendeknya sisa waktu kepemimpinan pemerintahan sekarang, sejatinya terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam jangka pendek ini untuk terus memperbaiki dan memperkuat nilai tukar rupiah:

Pertama, dari target investasi pada tahun 2013 sebesar Rp 390 triliun, realisasi investasi tahun 2013 ternyata melebihi targetnya (Rp 398,6 triliun) dengan penanaman modal asing (PMA) memiliki porsi 68%. Raihan prestasi ini tentunya menggembirakan bagi ekonomi nasional. Sayangnya,laju realisasi investasi juga diikuti oleh laju repatriasi PMA. Tercatat terdapat US$ 17,8 miliar dan US$ 16,95 miliar miliar uang yang keluar pada tahun 2012 dan 2013. Lebih sedihnya lagi, laju reinvestasi PMA selalu berada dibawah laju repatriasi PMA sejak tahun 2008. Potensi meningkatnya laju repatriasi ini harus segera di antisipasi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan memperkuat nilai tukar rupiah. Harapannya, negeri ini tidak hanya jadi terminal bagi lalu lintas modal, tapi dapat menjadi stasiun terakhir yang membawa kesejahteraan bagi khalayak ramai.

Kedua, sejak tahun tahun 2012, hutang swasta telah melebihi hutang pemerintah. Kebutuhan akan pembiayaan untuk menjalankan bisnisnya telah memaksa pelaku swasta untuk berhutang. Tercatat pada  kuartal IV tahun 2013, hutang swasta telah mencapai US$ 140 triliun, melebihi hutang pemerintah sebesar US$ 123 triliun. Jumlah dan waktu pembayaran hutang swasta akan sangat mempengaruhi perubahan nilai tukar rupiah. Seyogyanya harus ada langkah-langkah antisipatif untuk meringankan beban hutang sektor swasta, seperti merevaluasi hutang, pengawasan terhadap hutang-hutang swasta, penjadwalan waktu pembayaran hutang agar tidak terjadi secara bersamaan, dan penurunan yield obligasi pemerintah sehingga obligasi swasta dapat bersaing dan menjadi sumber dana potensial kembali. Ingat, dampak paling buruknya bukan hanya sebatas melemahnya nilai tukar rupiah, tapi pula kebangkrutan sektor swasta yang akan menimbulkan bertambahnya jumlah pengangguran dalam sekejap.

Ketiga, dana hasil ekspor dan uang masyarakat yang masih ada berada di luar negeri nilainya cukup besar. diperkirakan jumlahnya sekitar US$ 200 miliar. Diperlukan insentif dan kebijaksanaan yang inovatif mendorong pelaku usaha ekspor dan masyarakat untuk membawa kembali uangnya ke Indonesia dan memutarkan siklus ekonomi. Seperti misalnya insentif tambahan bagi para penanam modal dalam negeri, pemotongan pajak dan bantuan promosi bagi para pelaku ekspor. Harapannya dapat memobilisasi sumber daya domestik untuk berperan dan berpartisipasi dalam menanggulangi masalah defisit perdagangan dan menambah cadangan devisa.

Keempat, peningkatan kebijakan restriktif dalam perdagangan global seharusnya memberikan kita sedikit hikmah. Harus ada perubahan perspektif dalam kebijaksanaan perdagangan luar negeri Indonesia. Sejatinya instrumen impor memang halal untuk diberlakukan ditengah ketidaktercukupan pasokan domestik. Namun kekurangan kebutuhan domestik, kualitas dan harga komoditas impor tidak boleh terus menjadi alasan ketergantungan impor. Di era globalisasi, setiap Negara bersaing menginvansi komoditasnya, sehingga semangat nasionalisme dalam perdagangan global harus ditunjukkan dengan mendorong produksi domestik dan mengurangi komoditas impor yang sebenarnya berpotensi untuk di produksi di dalam negeri.

Kemenangan-kemenangan besar selalu dimulai dari pertarungan-pertarungan kecil. Kita sangat berharap segala capaian prestasi pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai sebelumnya tidak ditutup dengan membengkaknya neraca pembayaran dan melemahnya nilai tukar rupiah. Kalaupun sulit untuk mendorong produksi domestik, menambah infrastruktur dan memperbaiki fundamental ekonomi lainnya dalam waktu sekejap mata, pasti selalu ada langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi defisit akut dan bersaing ditengah globalisasi. Masih ada waktu!



*Artikel ini pernah dimuat di koran KONTAN cetak pada hari Rabu, 12 Maret 2014

Komentar