Hari Raya dan Ketimpangan

Usai hari raya Idul Fitri, ibu kota DKI Jakarta kembali menjadi sasaran ribuan pendatang baru yang mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Megahnya pembangunan ibu kota dan harapan kehidupan yang lebih baik mendorong masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi usai lebaran. Terlebih bila masyarakat desa yang melihat sanak saudara atau kerabatnya yang mencari nafkah di Kota sekarang terlihat lebih sukses dengan memiliki kelebihan finansial. Sayang mereka tidak tahu, bahwa kelebihan finansial masyarakat kota (yang dipandang sukses) saat hari raya Idul Fitri juga disebabkan oleh adanya tunjangan hari raya dan perbedaan harga di kota dan desa.

Faktor pendorong laju urbanisasi pasca-lebaran ialah keterbatasan lapangan kerja di perdesaan dan pengharapan masyarakat desa akan lapangan pekerjaan di kota-kota besar seperti Jakarta demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Akibatnya kota-kota besar menjadi semakin sesak dan banyak menimbulkan eksternalitas negatif seperti kemacetan, kerusakan lingkungan, kecemburuan sosial, dsb. Terlebih pada situasi nasional sekarang dimana pertumbuhan ekonomi tinggi namun pembukaan lapangan kerja per tahunnya semakin rendah. Hasilnya indeks ketimpangan (indeks gini) mencapai puncaknya pada tahun 2013 dari tahun-tahun sebelumnya.

Ketimpangan konsumsi yang di ukur oleh indeks gini selaras dengan ketimpangan pada lapangan kerja. Adanya ketimpangan ketersediaan lapangan kerja di kota dan daerah ini disebabkan oleh ketimpangan investasi dan minimnya pembangunan infrastruktur dan energi yang menjadi faktor pendorong perekonomian.
Tercatat hingga triwulan II 2014, realisasi investasi masih berkutat di pulau Jawa yang mencapai hingga Rp 131,1 Trilliun. Sedangkan realisasi di luar pulau jawa hanya menyerap 41,3%  dari total investasi keseluruhan dengan nilai investasi sebesar Rp 91,7 Trilliun.

Ketimpangan investasi yang berkutat  pulau Jawa ini mematahkan adagium bahwa investasi (pembukaan lapangan kerja) akan mengalir ke daerah yang memiliki UMR rendah. Walau pun secara kasat mata UMR di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding di luar Pulau Jawa, namun Pulau Jawa masih menjadi daerah utama investasi di Indonesia.

Salah satu penyebab patahnya adagium tersebut ialah pembangunan infrastruktur dan energi. yang terbatas. Buruknya infrastruktur dan ketersediaan energi di luar Pulau Jawa menjadi pertimbangan dan kendala bagi para investor untuk tidak berinvestasi di luar Pulau Jawa. Bagaimana mungkin membangun pabrik bila pasokan energi tidak memadai? Atau bagaimana membangun areal pertanian bila tidak ada irigasi? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang kemudian membuktikan bahwa walaupun beberapa daerah menawarkan UMR yang lebih kompetitif, investasi akan sulit datang ke daerah tersebut bila tidak ada dukungan pembangunan infrastruktur dan ketersediaan energi.

Belajar dari Temuan Piketty
Thomas Piketty, ekonom asal Prancis, baru-baru ini menjadi buah bibir di kalangan akademisi, aktivis, maupun pengambil kebijakan di seluruh dunia. Bukunya berjudul “Capital in the 21st Century” mendadak booming, salah satunya karena ia membantah temuan ekonom Simon Kuznets (1901-1985) yang mengutarakan bahwa kesenjangan adalah wajar untuk negara yang sedang berkembang. Kesenjangan, menurut Kuznets, akan turun dengan sendirinya seperti pola huruf U terbalik (kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets).

Dalam bukunya, Piketty menyanggah pendapat Kuznest dan menunjukkan bahwa pada tahun 2012, tingkat kesenjangan di negara maju telah melebihi tingkat sebelum perang dunia pertama di mulai. Dalam arti lain bahwa penurunan tingkat kesenjangan tidak selaras dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju.

Hal ini yang kemudian menarik untuk dipetik pelajarannya oleh kepimpinan nasional ke depan. Orientasi pembangunan tidak bisa lagi hanya sebatas mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi pula harus berorientasi pada pembangunan faktor-faktor pendorong perekonomian (seperti infrastruktur dan ketersediaan energi) dan beroritentasi untuk mengubah struktur pembangunan nasional sehingga mampu menyerap tenaga kerja di perdesaan dan di luar pulau Jawa.

Tidak bisa lagi pertumbuhan ekonomi nasional tinggi tapi pembangunan teraglomerasikan di Pulau Jawa, sehingga menggiurkan penduduk diluar Pulau Jawa untuk bermigrasi ke Jawa yang kemudian justru menumpuk kemiskinan di Pulau Jawa. Pola ini tidak bisa lagi diteruskan, karena ketika kemiskinan bertumpuk di Pulau Jawa, maka kebijakan pengentasan kemiskinan pun berpotensi akan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sehingga siklus pembangunan nasional semakin deras di Pulau Jawa dan kering di luar Pulau Jawa.

Perlu terobosan baru bagi kepemimpinan nasional ke depan, yang bukan hanya untuk mengatasi bottleneck pembangunan ekonomi, tapi pula untuk mengubah orientasi dan paradigma pembangunan. Niscaya, dengan kepemimpinan nasional yang memiliki perspektif baru, bukan tidak mungkin bila hal remeh temeh seperti pengeluaran saat mudik lebaran saja dapat beralih menjadi investasi bagi daerah untuk jangka panjang.

Komentar