Memperbaharui Iklim Ketenagakerjaan

Prediksi optimis biasanya selalu memberikan angin segar yang baik bagi perekonomian. Dari perkembangan beberapa tahun terakhir, Mckinsey Global Institute memprediksikan bahwa pada tahun 2030, perekonomian Indonesia akan menikmati bonus demografi yang kemudian mendorong Indonesia memiliki 113 juta pekerja berketerampilan tinggi dan menjadi perekonomian terbesar ketujuh di dunia. 

Namun saat ini awan gelap masih menyelimuti perekonomian nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, iklim ketenagakerjaan nasional dihantui oleh persoalan rendahnya pendidikan dan keterampilan tenaga kerja. Sampai bulan februari 2014, 68 persen tenaga kerja nasional masih didominasi oleh tamatan SMP ke bawah.

Rendahnya pendidikan dan keterampilan tenaga kerja nasional berdampak pada rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia. Laporan Asian Productivity Organization (APO) pada tahun 2013 dengan tegas menunjukkan bahwa, dengan asumsi Rp 11.000,-/US Dollar, produktivitas tenaga kerja Indonesia (sebesar US$ 9.500) berada di bawah produktivitas rata-rata negara ASEAN (US$ 10.700).

Kalau tidak dilakukan langkah-langkah untuk memitigasi persoalan pada struktur ketenagakerjaan nasional, bukan tidak mungkin bonus demografi dapat berubah menjadi bencana demografi. Tentu hal ini bukan omong kosong bila mengingat rendahnya pendidikan dan ketrampilan tenaga kerja sangat erat kaitannya dengan kemiskinan.  Faktanya, dari 28 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2013, 93 persen (setara 26 juta jiwa) di antaranya maksimal hanya berpendidikan SMP/setara.

Guna menyelamatkan tenaga kerja nasional dari bayang-bayang rendahnya produktivitas dan kemiskinan, perlu digalakkan upaya-upaya peningkatan keterampilan tenaga kerja. Salah satu caranya ialah melalui pelatihan/kursus bersertifikat agar tenaga kerja nasional memiliki keterampilan yang memadai dan memiliki daya saing yang lebih tinggi. 

Berdasarkan data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dari tahun 2009 hingga 2014, prosentase tenaga kerja yang pernah mengikuti pelatihan/kursus bersertifikat sangat kecil, yakni hanya 3,3% (2009), 3,5% (2010), 5,7% (2011), 4,6% (2012), 3,9% (2013), dan 4,4% (Februari 2014). Yang lebih ironis, tenaga kerja berpendidikan rendah yang mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia justru jauh lebih sedikit yang mendapatkan pelatihan dibanding tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Hanya terdapat 14% tenaga kerja lulusan SMP ke bawah yang pernah mengikuti kursus/pelatihan bersertifikat, padahal jumlah golongan ini mencapai 68 persen dari total jumlah tenaga kerja nasional. 

Fokus ke Pedesaan
Salah satu permasalahannya ialah masih terkonsentrasinya kursus/pelatihan yang bersertifikat di daerah perkotaan. Hampir 70 persen rata-rata tenaga kerja dalam 6 tahun terakhir mendapatkan pelatihan/kursus bersertifikat di daerah perkotaan. Padahal, 59 persen dari tenaga kerja yang lebih membutuhkan pelatihan/kursus, yakni yang berpendidikan SMP ke bawah, berada di daerah pedesaan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, memberikan insentif baru bagi perusahaan-perusahaan yang telah dan akan terus rutin menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pelatihan bersertifikat bagi pekerjanya. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan di Indonesia terdorong untuk lebih giat lagi menyelenggarakan pelatihan/kursus bagi pekerjanya.

Kedua, meningkatkan peran perguruan tinggi di Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat dengan memberikan program pelatihan/kursus bersertifikat yang fokus menargetkan tenaga kerja berpendidikan SMP ke bawah di daerah pedesaan.  Program-program pengabdian masyarakat pada perguruan tinggi, seperti kuliah kerja nyata (KKN) maupun program-program pendidikan dan pelatihan lainnya, akan semakin bermanfaat bila berorientasi pada peningkatan keterampilan tenaga kerja perdesaan dan dilakukan secara berkelanjutan.

Ketiga, memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk program pelatihan (vocational training) dari 20% anggaran pendidikan. Hal ini perlu dilakukan mengingat rendahnya keterampilan mayoritas tenaga kerja Indonesia dan sebagai upaya untuk memenangkan persaingan ketenagakerjaan ketika di mulai pasar bebas ASEAN 2015. Dengan demikian, anggaran pendidikan tersebut bukan hanya dimanfaatkan untuk meningkatkkan program pencapaian tahun wajib belajar mapun pemberian beasiswa bagi yang berprestasi, tapi juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja nasional yang kurang memadai dan memperbaiki pusat-pusat pelatihan tenaga kerja di daerah perdesaan. Harapannya, pendidikan nasional ke depan mampu menjadi tumpuan bagi setiap orang Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilannya, serta meningkatkan taraf hidupnya ke jenjang yang lebih baik.




*Artikel ini pernah dimuat di Harian Cetak KONTAN pada 9 Oktober 2014

Komentar