Menggenjot Kinerja Ekonomi Darah
Kisruh antara Gubernur Basuki
‘Ahok’ Tjahja Purnama dengan DPRD semakin memanas. DPRD yang ditunding
melakukan manipulasi anggaran oleh Ahok akhirnya memukul balik dalam Laporan
Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ). Dalam keterangannya, terdapat dua hal
yang perlu dikritisi terhadap kinerja Provinsi DKI Jakarta selama tahun 2014,
yakni penyerapan anggaran yang rendah dan tidak tercapainya target pendapatan
asli daerah (PAD) yang berdampak terhadap defisitnya anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD).
Perdebatan antara kedua pihak
kemudian menjadi lebih segar karena kisruh politik mulai masuk pada pengukuran
kinerja yang lebih terukur. Tidak sekedar persaingan politik: siapa yang
untung, siapa yang rugi, dan siapa yang mendapatkan dukungan lebih banyak. Tapi
dapat segera masuk pada kerangka pembangunan kebijakan berdasarkan fakta dan
data (Evidence-based policy). Sebuah
kemajuan berarti dalam pembangunan nasional.
Fakta lemahnya kinerja penyerapan
anggaran sejati bukan hanya terjadi di DKI Jakarta, tapi hampir terjadi di
seluruh daerah di Indonesia. Isu lemahnya penyerapan anggaran juga sering
diikuti dengan persoalan kurang efektifnya pengeluaran daerah dan lemahnya
kreatifitas Pemerintah Daerah dalam menggali sumber-sumber pembiayaan. Alhasil,
yang terjadi bukan hanya penyerapan anggaran yang rendah, tetapi juga
penggunaan anggaran yang terkadang kurang bijaksana dan masih bergantungnya
pembiayaan daerah dari dana alokasi pusat. Faktanya, tidak sedikit
kabupaten/kota yang rasio belanja pegawai terhadap total belanja lebih dari 60%
dan hampir seluruh provinsi hanya menyerap rerata 52% pada tahun 2014.
Bertolak dari titik inilah
kemudian perlu di sadari bahwa penokohan politik dari pemimpin daerah terkadang
tidak sejalan dengan kinerja dari pemimpin daerah tersebut. Demokrasi dewasa
ini menunjukkan bahwa penokohan politik dari pemimpin daerah memang efektif
untuk merebut suara masyarakat dalam pemilu. Tapi tidak sedikit dari mereka
yang akhirnya mendapatkan cacian dari publik karena hasilnya jauh dari
ekspektasi masyarakat. Justru determinasi dan kinerja para pemimpin daerah-lah
yang lebih efektif untuk terus menerus mendapatkan hati masyarakat.
Akan tetapi kembali
menggantungkan harapan desentralisasi pada pemimpin daerah yang cemerlang pun
tidak bisa menjadi jawaban atas carut-marutnya pembangunan di daerah.
Persoalannya, walaupun terdapat beberapa barisan pemimpin yang cemerlang di
daerah, tetapi pertumbuhan virus pemimpin yang kurang pro-aktif juga tidak
kalah menyebar lebih cepat dibandingkan mereka yang di anggap publik telah
berhasil memimpin daerah.
Akibatnya, optimisme
desentralisasi semakin surut setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Semakin
panjang umur desentralisasi daerah, semakin menumpuk persoalan klasik yang tak
pernah kunjung terselesaikan dan berulang kembali selama bertahun-tahun.
Yang dirugikan tentulah
masyarakat. Persoalannya, tidak bijaknya pengalokasian anggaran, buruknya infrastruktur
dan iklim investasi daerah yang tidak kondusif menyebabkan lapangan kerja sulit
tercipta di daerah. Energi masyarakat pun harus habis untuk berdebat mengenai
kisruh politik daerah.
Persoalan yang berulang setiap
tahun tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara lama. Perpolitikan di tingkat
daerah harus dikelola agar sejalan dengan kinerja pembangunan. Butuh adanya
pemikiran baru untuk mampu mengejar ketertinggalan pembangunan di daerah. Harus
ada instrumen/perangkat yang melembaga di Daerah untuk menjadi pemikir (think-tank) dalam pembangunan daerah.
Setidaknya terdapat dua pemikiran
penting mengenai upaya mempercepat pembangunan daerah yang pernah di wacanakan
di masa lampau. Pertama, wacana menjadikan Bank Pembangunan Daerah (BPD)
sebagai motor pembangunan daerah. Wacana ini berkembang puluhan tahun lalu
dengan harapan BPD bukan hanya menyediakan dukungan pembiayaan bagi pelaksanaan
usaha-usaha pembangunan daerah, tapi juga menjadi motor utama pembangunan
daerah: melakukan kajian-kajian terkait pembangunan daerah, memberikan advice bagi pembangunan daerah, dsb.
Bahkan dulu diharapkan BPD tidak kalah perannya seperti Asian Development Bank (ADB) yang sering kali memberikan usulan-usulan
pembangunan di lingkup Asia. Sayangnya ide brilian tersebut kandas ditengah
jalan dan sekarang entah kemana.
Kedua, keberhasilan Tim
Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang tenar namanya dalam salah satu sesi debat
Calon Presiden lalu juga dapat menjadi salah satu wacana yang perlu di pikirkan
kembali. Berawal dari kenyataan bahwa inflasi lebih banyak bersumber di daerah,
TPID kemudian dibentuk sejak tahun 2008. Sekarang, enam tahun sejak
keberjalanannya, TPID mulai menemukan kesuksesannya. Setidaknya tahun ini TPID
mulai berhasil mengantisipasi gejolak pangan di beberapa daerah, menyesuaikan
tarif angkutan umum setelah terjadi naik-turunnya harga BBM, maupun memperkuat
koordinasi pengamanan distribsi LPG 3 Kg dengan Kepolisian Daerah.
Kerjasama yang apik dari Bank Indonesia, Kemenko
Perekonomian, dan Kemendagri dalam TPID, dapat menjadi modal dasar koordinasi
yang baik lintas institusi. Koordinasi ini baiknya dilanjutkan sebagai embrio dari insiasi tim reformasi
pembangunan daerah. Tim ini juga perlu melibatkan pemangku kepentingan lain
yang memahami persoalan daerah seperti Bappenas, Bappeda, organisasi pengusaha
daerah (Kadin, Apindo, dsb), BPD, maupun akademisi ataupun organisasi lokal.
Harapannya, tim ini kemudian
dapat memberikan suntikan pemikiran dan kerangka kerja pembangunan yang terukur
untuk dapat menjadi arah dan strategi pengembangan ekonomi daerah. Disisi lain,
keberadaan tim ini juga harus perlu didukung oleh kedudukan dan wewenang yang
sesuai. Terlebih, belajar dari pengalaman sebelumnya, tim serupa seperti Tim
Koordinasi Pengembangan Ekonomi Darah (TKPED), Forum Pengembangan Ekonomi
Daerah (FPED), dsb tidak berjalan seperti tujuan mulianya akibat kurang
jelasnya kedudukan dan wewenangnya.
Melalui tim tersebut, Pemerintah
Pusat juga menjadi memiliki instrumen di daerah. Sehingga Pemerintah Pusat dapat
mendorong kinerja pembangunan daerah agar terus selaras dengan pembangunan
pusat. Apalagi, belajar dari masa lalu, sering kali Pemda-lah yang menjadi
kambing hitam dari kegagalan rencana pembangunan nasional akibat lemahnya
koordinasi dengan Pusat dan lemahnya kapasitas institusi daerah. Memang
terkadang perlu berpikir ke belakang, tapi melangkah maju ke depan. Dibanding terus
berpikir maju ke depan, tapi malah melangkah mundur ke belakang.
*Artikel ini pernah dimuat di harian cetak KONTAN pada 23 April 2015
Komentar