Indonesia dan Liberalisasi Investasi

Ditengah arus globalisasi, peranan investasi asing semakin krusial bagi pembangunan suatu negara. Termasuk juga bagi negara-negara di kawasan ASEAN. Berdasarkan rasio penanaman modal asing (PMA) ke pembentukan modal tetap bruto (PMTB) selama beberapa tahun terakhir, hampir hampir seluruh negara ASEAN (kecuali Filippina dan Indonesia), memiliki rasio PMA ke PMTB yang lebih besar dibandingkan dengan Tiongkok dan India. Artinya, Negara-negara ASEAN semakin bergantung pada masuknya aliran investasi asing.

Untuk mampu menarik investasi asing lebih baik, negara-negara ASEAN menyepakati kesepakatan liberalisasi arus investasi yang tertuang dalam kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dilaksanakan per 1 Januari 2016 nanti. Adapun kesepakatan liberalisasi ASEAN yang tertuang dalam the ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) ialah, pertama, memperkuat proteksi investasi bagi para investor dan investasinya. Kedua, menciptakan fasilitasi dan kerjasama investasi. Ketiga, mempromosikan ASEAN sebagai kawasan investasi yang terintegrasi dan jaringan produksi. Keempat, sebagai rezim liberalisasi investasi yang progresif dari negara-negara ASEAN untuk menggapai target investasi yang terbuka dan bebas pada tahun 2015.

Akan tetapi, meskipun MEA mempromosikan ASEAN sebagai kawasan investasi yang terintegrasi dan juga sebagai jaringan produksi, masing-masing negara anggota ASEAN tetap saja harus mencari dan menarik sumber investasinya sendiri. Keberadaan MEA dalam liberalisasi arus investasi harus di pandang sebagai nilai tambah (komplementer) dari negara tersebut. Disebut komplementer karena kesepakatan MEA setidaknya hanya akan memberikan akses yang lebih luas ke pasar ASEAN, dorongan bagi negara-negara ASEAN untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi negara tersebut, dan adanya peluang peningkatan volume perdagangan intra-regional.

Dengan demikian, karena sifatnya yang komplementer, negara-negara ASEAN masih tetap harus untuk mendorong keunggulan kompetitifnya untuk merebut investasi. Sehingga investasi yang masuk akan sesuai dengan struktur dan kebutuhan dari negara tersebut.

Vietnam misalnya, yang menjadi lokasi dari produksi produk-produk berharga murah (low-cost) oleh perusahaan-perusahaan asing. Salah satu keunggulan Vietnam ialah upah buruhnya yang tergolong murah di kawasan ASEAN. 

Begitu juga dengan Thailand yang menawarkan berbagai insentif investasi yang dimaksudkan agar Thailand dapat beranjak dari negara yang mengandalkan buruh murah menjadi negara yang mampu menguasai teknologi tinggi. Sebagai gambarannya, berbagai macam bentuk investasi yang akan menggunakan teknologi tinggi (investasi khusus), akan mendapatkan banyak kemudahan. Sebagai contoh ialah investasi solar cell di Thailand yang mendapatkan pembebasan pajak hingga delapan tahun dan listrik yang dihasilkan pun akan dibeli oleh EGA (BUMN Listrik di Thailand seperti PLN).
Posisi Indonesia

Potensi Belum Tergarap
Laporan World Investment Report 2015 yang dikeluarkan oleh Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB mencatat hal yang positif bagi Indonesia. Pertumbuhan penanaman modal/investasi asing (PMA) ke Indonesia pada 2014 merupakan yang tertinggi se-ASEAN. Arus PMA yang masuk ke Indonesia meningkat 20% dibandingkan tahun 2013. Lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PMA ke negara-negara ASEAN yang hanya tumbuh sebesar 5%. 

Tapi rapor baik tersebut ternyata juga menyimpan sejumlah catatan penting.
Pertama, bila dilihat dari struktur investasinya, investasi lebih banyak masuk pada sektor tersier (jasa). Padahal, dengan masih banyaknya jumlah tenaga kerja yang berpendidikan rendah dan bersaingnya upah buruh di Indonesia dengan Vietnam, Indonesia harusnya mampu menarik investasi pada sektor industri lebih banyak lagi. 

Sebagai gambaran daya saing upah, pada tahun 2015, upah buruh terendah di Vietnam sebesar US$ 98 dan yang tertinggi sebesar US$ 141. Sedangkan, di tahun yang sama upah buruh terendah di Indonesia pada tahun 2015 sebesar US$ 83 dan yang tertinggi sebesar US$ 205.

Masalahnya bagi Indonesia, meskipun memiliki upah buruh yang lebih murah, namun pusat destinasi investasi untuk investasi masih teraglomerasi di sekitar DKI Jakarta (Bekasi, Cikarang, dsb) yang sudah memiliki upah buruh regional yang relatif lebih mahal dibanding daerah maupun negara lainnya.

Kedua, investasi yang masuk ke Indonesia lebih banyak yang berasal dari investasi intra-ASEAN. Artinya, Indonesia lebih jago menarik investasi yang berasal dari negara-negara ASEAN dibandingkan Investasi yang berasal dari negara-negara di luar ASEAN.

Ketiga, keterbatasan tenaga listrik juga masih menjadi persoalan Indonesia. Padahal, berdasarkan Survey Perusahaan yang dilakukan oleh World Bank (2013), persepsi para investor menunjukkan bahwa hal positif yang menjadi kelebihan dari negara-negara ASEAN ialah peformanya yang baik untuk akses ke tenaga listrik. Sayangnya, Meskipun memiliki memiliki potensi sumber tenaga listrik yang lebih banyak dan bervariasi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, justru akses pada tenaga listrik adalah persoalan utama di Indonesia.

Kalau nanti program pembangkit listrik 35 GW berhasil, bukan tidak mungkin berbagai persoalan yang telah disebutkan sebelumnya akan teruraikan pula. Masalahnya hanya apakah sekarang Pemerintah akan terus menfokuskan pembangunan pembangkit listrik di Pulau Jawa saja yang sudah memiliki UMR relatif lebih tinggi, atau akan menyebarkan pembangunan di luar Jawa yang UMR dan penyediaan lapangan kerja formalnya masih rendah.

Keempat, adanya MEA juga harus di manfaatkan oleh Indonesia untuk segera  masuk dalam skema GVC (Global Value Chain). Hingga saat ini, perusahaan multinasional telah banyak yang berinvestasi di negara-negara ASEAN dalam skema GVC. Baik di sektor otomotif, elektronik, business process outsourcing, tekstil, dan garmen.

Bahkan, skema GVC pun mendominasi sebagian besar dari perdagangan internal di kawasan ASEAN. Perbaikan pada fasilitas perdagangan, sistem logistik, dan insentif investasi menjadi poin vital dalam mendorong Indonesia masuk dalam skema GVC.

Untuk mendapatkan keuntungan berganda dari skema GVC, Indonesia juga harus terus menggiatkan penggunaan komponen dalam negeri. Tetapi bukan hanya komponennya yang di hargai, tetapi juga kemampuan intelektual masyarakat Indonesia yang berpartisipasi dalam industri. Selama minim insentif untuk kekayaan intelektual, selamanya proses rekayasa (engineering) sulit untuk bangkit dari persoalan deindustrialisasi.

Terakhir, masalah kepastian hukum dan administrasi investasi pun tak kalah penting untuk segera di tuntaskan. Investor, terutama yang membawa teknologi tinggi (bisnis modern), sebelum menanamkan modalnya di Indonesia pasti akan bertanya apakah ada payung hukum untuk implementasi teknologi tingginya di Indonesia. Bila tidak ada payung hukumnya, investor tersebut akan ragu-ragu dan mengambil posisi wait and see untuk berinvestasi di Indonesia.

Artikel ini pernah di muat di harian Kontan pada 7 Agustus 2015

Komentar