Pajak e-Commerce

Pemerintah tampaknya sangat agresif untuk mengejar target pajak yang telah di susun sangat ambisus dalam APBNP 2015. Salah satu wacana yang di gulirkan untuk meraih target penerimaan pajak ialah melalui memajaki bisnis online atau e-Commerce yang telah mengalami kemajuan di Indonesia.

Tidak bisa di pungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi dan pertumbuhan masyarakat kelas menengah telah mendorong perkembangan bisnis e-Commerce. Kemunculan berbagai bisnis e-Commerce pun dalam berbagai ragam bentuk. Seperti yang telah diklasifikasikan dalam dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No 62/PJ/2013 (SE-62) yang telah mengadopsi klasifikasi OECD dalam transaksi e-Commerce. Baik sebagai media transaksi barang dan jasa (online marketplace), tempat menjual barang maupun jasa (online retail), ajak promosi barang dagangan (classified ads), maupun sebagai kegiatan yang  menyediakan barang dagangan usaha berupa pembelian voucher (daily deals).

Jumlah transaksi dalam bisnis e-Commerce pun berkembang cepat. Pengguna layanan e-Commerce di Indonesia tumbuh 42% dari tahun 2012 hingga 2015. Angka ini lebih tinggi jika negara lain seperti Malaysia (14%), Thailand (22%) maupun Filippina (28%).

Namun pertanyaannya kemudian ialah apakah rencana memajaki bisnis e-Commerce yang sedang tumbuh berkembang adalah cara yang tepat untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif?

Pertama, wacana penetapan pajak untuk bisnis e-Commerce harus bersifat adil. Adil disini dalam pengertian agar yang di pajaki tidak merasa lebih rugi dibanding yang tidak di pajaki.

Salah satu potensi buruk dari memajaki bisnis e-Commerce ialah pedagang online akan lari pada shadow market (pasar gelap). Pasar gelap yang di maksud ialah media transaksi penjualan barang dan jasa yang tidak di pajaki, seperti media sosial facebook, twitter, instagram, dsb.

Kedua, dalam falsafah pajak yang adil pula, Pemerintah juga tidak boleh tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Maksudnya, Pemerintah jangan cuma berani memajaki bisnis e-Commerce lokal, tapi tidak berani memajaki para pemain over the top (OTT) atau penyedia layanan online populer dan jejaring sosial.

Terlebih, para OTT ini telah lama mengeruk keuntungan lewat internet Indonesia tanpa mengeluarkan investasi untuk membangun jaringan.

Betul bahwa dengan adanya para pemain OTT, para penyedia layanan internet mendapatkan keuntungan. Karena konsumen kemudian membeli jasa atau paket internet dari penyedia layanan internet untuk kemudian di gunakan bermain media sosial. Akan tetapi, disaat yang sama sebenarnya kita kehilangan potensi pajak yang bisa di gunakan untuk pembangunan juga kehilangan opportunity cost dari semakin tersingkirnya para pelaku start-up lokal.

Ketiga, dalam pandangan kami, yang harus di kejar dari wacana memajaki bisnis e-Commerce bukanlah potensi besarnya pajak yang bisa didapat. Tetapi lebih untuk menangkap besarnya peluang para pedagang online maupun UKM. Dari mereka yang sebelumnya tidak memiliki NPWP dan ‘mungkin’ belum memiliki akun bank, menjadi memiliki NPWP dan memiliki akun bank.

Dengan demikian, selain meningkatkan jumlah tabungan masyarakat di perbankan, Pemerintah juga sekaligus menangkap objek pajak baru. Sehingga, e-Commerce dapat membantu transformasi bisnis-bisnis informal bisnis formal.

Selain itu, e-Commerce juga dapat menjadi pasar baru yang lebih megah bagi para UKM. Keberhasilan alibaba.com di Tiongkok seharusnya menjadi role model pengembangan bisnis e-Commerce di Indonesia. Dimana keberadaan alibaba.com menjadi sarana masyarakat Tiongkok untuk menjual produk UKM nya ke seluruh belahan dunia.

Keempat, wacana memajaki bisnis e-Commerce juga harus dilakukan secara komprehensif. Artinya, jangan sampai bisnisnya di pajaki, tetapi pengembangan keamanan maupun infrastruktur internet-nya mandek. Atau tidak tercipta pusat-pusat pengembangan bisnis e-Commerce atau laboratorium untuk bisnis e-Commerce seperti di Silicon Valley. Karena tanpa adanya timbal balik yang tepat, memajaki bisnis e-Commerce justru dapat mematikan iklim bisnis itu sendiri.

Kelima, dalam konteks persaingan di ASEAN, perlu diingat bahwa penetrasi internet di Indonesia masih cukup rendah. Berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2013, hanya 16 dari 100 orang Indonesia yang mengakses internet. Hanya lebih tinggi dibandingkan Kamboja dan Myanmar di lingkup ASEAN.

Begitu juga dengan jumlah pelanggan bisnis e-Commerce. Pada tahun 2013, jumlah pelanggan di toko e-Commerce di Indonesia hanya 12% dari total populasi. Angka ini paling rendah di antara negara-negara ASEAN-6. Dimana Malaysia dan Singapura (keduanya 80%), Thailand (75%), Filippina (70%), dan Vietnam (60%).

Dengan demikian, perlu di pikirkan pula agar jangan sampai pajak untuk bisnis e-Commerce membuat transaksi pembelian barang dan jasa menjadi lebih mahal hingga membuat konsumen semakin menjauhi bisnis e-Commerce.

Di sisi lain, perlu pula peranan dari Pemerintah agar membantu masuknya bisnis e-Commerce lokal menembus pasar ASEAN. Bantuan layanan bahasa, mempermudah penetrasi bisnis e-Commerce di negara-negara ASEAN, dsb, adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing e-Commerce di lingkup ASEAN.


Apalagi, kita akan memasukin era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015, yang salah satu kesepakatannya ialah memberikan peluang kepemilikan asing hingga 70% pada lima sektor strategis, termasuk juga sektor e-ASEAN.


Artikel ini pernah di muat di BISNIS INDONESIA pada 10 Agustus 2015

Komentar