Salah Kaprah Utang

Data, informasi, dan keyakinan adalah tiga hal yang berbeda. Di Indonesia, persoalan yang sering terjadi bukan hanya persoalan data, tetapi juga informasi dan keyakinan dalam mengambil keputusan. Termasuk, data mengenai utang negara. Masalahnya, semakin buruk interpretasi terhadap data, semakin besar pula terjadinya asimetri informasi, dan memungkinkan terjadinya pengambilan keputusan akan kebijakan publik yang tidak tepat.
Setidaknya terdapat dua salah kaprah mengenai utang yang memungkinkan terjadi komunikasi yang salah diartikan.
Pertama, hasil rilis dari Bank Indonesia (BI) per tanggal 22 juli 2015. Hasil rilis tersebut menyatakan bahwa telah terjadi perlambatan pertumbuhan utang luar negeri sektor publik (gabungan dari utang pemerintah dan utang BI). Utang luar negeri sektor publik hanya tumbuh 1,0% dari bulan Mei 2014 ke Mei 2015. Melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan utang publik dari April 2014 ke April 2015 yang tumbuh sebesar 1,5%.
Data tersebut benar. Namun, interpretasinya berbeda. Karena, meskipun mengalami perlambatan pertumbuhan utang, jumlah utang masih tetap mengalami peningkatan.
Sebagai gambaran, pada bulan Mei 2014, total jumlah utang publik sebesar 132,2 milliar dolar AS. Di mana, posisi utang pemerintah ketika berada pada posisi 123,1 millar dolar AS dan utang BI berada pada posisi 9 millar dolar AS. Pada Mei 2015, total jumlah utang publik sebesar 133,5 miliar dolar AS. Di mana posisi utang pemerintah naik hingga 128,4 milliar dolar AS dan posisi utang BI turun hingga 4,9 miliar dolar AS.
Dengan kata lain, yang mengalami perlambatan pertumbuhan utang sesungguhnya, BI, bukan pemerintah, yang justru menambah utang sebesar 5,2 millar dolar AS (yoy).
Kedua, pertengahan Mei 2015, lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P), telah meningkatkan prospek rating Indonesia dari Stable menjadi Positive. Peringkat utang Indonesia pun naik peringkat dari BB menjadi BB+. Alhasil, tidak sedikit para pemangku kebijakan, analis, maupun pengamat meyakini bahwa perbaikan rating ini masih menunjukkan keyakinan dunia internasional terhadap perekonomian Indonesia yang mengalami perlambatan ekonomi hingga triwulan pertama tahun 2015.
Akan tetapi, perbaikan prospek rating Indonesia sebenarnya tidak berkaitan dengan optimisme perbaikan ekonomi Indonesia. Bahkan, seperti pernah diutarakan oleh Joseph Stiglitz, seorang peraih nobel dibidang ekonomi, bahwa lembaga pemberi peringkat adalah salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya krisis finansial tahun 2008. Pengalaman-pengalaman krisis di beberapa belahan negara, telah menunjukkan bahwa perbaikan rating utang dan penambahan utang adalah dua hal yang berbeda. Krisis ekonomi di Yunani yang terjadi akibat menggemuknya utang, menjadi salah satu contoh nyata tentang bagaimana peringkat utang tidak benar-benar memantulkan perekonomian suatu negara.
Hingga bulan Juni 2010, Yunani masih mendapatkan peringkat A-. Padahal ketika itu, rasio utang Yunani sudah sebesar 129% dari PDB. Bahkan Yunani masih berada pada kategori investment grade hingga bulan Januari 2011. Suatu kategori yang bahkan belum bisa didapatkan oleh Indonesia dari lembaga S&P hingga hari ini.
Tapi dalam tempo lima tahun, Yunani justru terjebab pada krisis ekonomi. Sekarang, peringkat Yunani berada pada kelas CCC juga negatif untuk peringkat utang. Rasio utang Pemerintah Yunani terhadap PDB-nya pun mencapai 177%. Tertinggi kedua di dunia setelah Jepang.
Bahkan kalau mau jujur, posisi Indonesia sebenarnya lebih baik dibandingkan peringkat yang telah diberikan tersebut. Dengan peringkat BB+, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 25%. Turki dan Hungaria dengan peringkat utang yang sama, memiliki rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 33% dan 76%. Islandia, yang peringkatnya satu kelas di atas Indonesia (BBB-), rasio rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 86,4%. Begitu juga dengan Afrika Selatan, Brazil, dan India yang merah peringkat BBB- tapi tumpukan utangnya terhadap PDB juga jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.
Akan tetapi, meskipun memiliki pengalaman mengelola utang yang cukup baik, pertambahan jumlah utang pemerintah justru patut diwaspadai di tengah terjadinya perlambatan membesarnya kue ekonomi nasional. Selain itu, penambahan stok utang pemerintah juga terlihat kontraproduktif dengan pihak BI yang telah aktif untuk mengajak pihak swasta untuk melakukan hedging dan mengurangi stok utangnya.
Justru yang lebih penting bagi pemerintah ialah, bukan hanya memobilisasi dana untuk pembiayaan anggaran tetapi juga menyelesaikan berbagai persoalan struktural yang selama ini menghinggapi APBN. Persoalan kebocoran anggaran di tubuh pemerintah, misalnya. Di mana, selama kurun waktu 2009 hingga 2014, hampir 35% biaya di habiskan untuk belanja pegawai. Sedangkan belanja modal hanya sebesar 15% dari total anggaran belanja. Apalagi, Peraturan Menteri Keuangan mengenai Standar Biaya Masukan sering kali menjadi insentif pemborosan anggaran dengan memperbanyak rapat dan perjalanan dinas.
Tetapi di saat yang sama, minim insentif bagi pegawai pemerintahan untuk mengambil inisiaitif maupun mempercepat dan memsukseskan suatu program. Tanpa data dan informasi yang rigid, pengambil keputusan justru lebih memilih untuk melarang rapat di hotel daripada merubah peraturan terkait.
Dan, masih banyak persoalan struktural yang menyelimuti APBN. Untuk mengubahnya butuh keyakinan dari penentu kebijakan. Sayangnya, hal tersebut hanya dapat dilihat melalui data yang akurat dan interpretasi yang akurat. Ingat, tidak ada reformasi struktural tanpa perubahan yang detail. ***


Artikel ini pernah di muat di Suara Karya pada 4 Agustus 2015
Bisa juga dibaca dari link berikut http://www.suarakarya.id/2015/08/04/salah-kaprah-utang-oleh-adamaski-pangeran.html 

Komentar