Ketakutan akan MEA

Beberapa hari terakhir saya mendapati tiga sampai empat tulisan yang sama dari berbagai grup Whatsapp. Tulisan yang tidak diketahui siapa penulis dan apa yang menjadi referensinya itu, kurang lebih menceritakan tentang adanya ratusan pebisnis asal Thailand yang mengikuti kursus bahasa Jawa, ribuan warga Filipina dan Vietnam yang mengikuti kursus bahasa Indonesia, ratusan konsultan keuangan asal Singapura yang sedang belajar budaya Bali, NTB, dsb.

Entah tulisan itu hoax atau tidak, tetapi intinya, tulisan itu secara eksplisit mengatakan bahwa semua persiapan itu dilakukan oleh negara-negara ASEAN itu dilakukan untuk menguasai pasar Indonesia, pasar terbesar di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Studi dan survey yang kami lakukan untuk mengetahui persiapan negara-negara ASEAN menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) justru menunjukkan hasil yang berbeda. Memang ada negara yang secara sungguh-sungguh menunjukkan persiapan menghadapi MEA, seperti Thailand.

Sebagai gambarannya, ketika tiba di Bandara Don Mueang, Thailand, kami melihat sendiri bagaimana perlakuan kepada turis asal ASEAN sama seperti perlakuan kepada turis domestik asal Thailand. Bahkan beberapa petugas Bandara telah mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Keimigrasian di bandara menyediakan jalur khusus untuk pengunjung yang memiliki paspor negara-negara ASEAN, yang dibedakan dengan jalur untuk pengunjung dari negara-negara lain di luar ASEAN.

Di setiap kantor Pemerintahan Thailand maupun di kantor-kantor besar juga terdapat bendera negara-negara ASEAN untuk memberikan kesadaran akan keberadaan MEA. Bahkan banyak kantor-kantor pemerintahan yang juga menyediakan ASEAN Corner, yaitu sebuah tempat untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat Thailand mengenai keberadaan ASEAN. Selain itu, Pemerintah Thailand mengalokasikan anggaran khusus untuk hal-hal yang menyangkut ASEAN. Misalnya, ketika suatu sektor swasta hendak menyelenggarakan event dengan memasang nama ASEAN, dia akan mendapatkan dana dari Pemerintah.

Thailand juga menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu kelemahan mereka. Untuk itu beberapa media seperti koran The Nations dan beberapa radio punya segmen khusus untuk mengajar bahasa Inggris. Radio khusus ini menyasar supir taxi dan disiarkan pada sore hari. Di beberapa universitas juga sudah menyediakan pusat Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Bahasa Vietnam.

Akan tetapi ada juga negara-negara yang terlihat ‘santai’ menghadapi MEA. Diskusi yang kami lakukan bersama dengan Khazanah Research Institute, beberapa tokoh di Ministry of International Trade and Industry (MITI), University of Malaya, Majilis Tindakan Ekonomi Melayu (MTEM), dan ISEAS di Singapura, justru menunjukkan bahwa Malaysia justru lebih serius mempersiapkan partisipasi mereka dalam Trans Pasific Partnership (TPP), dibandingkan mempersiapkan MEA. Bahkan bagi mereka, adanya Kerjasama ASEAN justru dipandang sebagai peluang untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja terampil di negara itu seperti: insinyur, teknisi, analis keuangan, akuntan dan keterampilan khusus lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Perlu di akui bahwa sosialisasi dan persiapan Indonesia menghadapi MEA masih sangat minim. Keberadaan MEA belum dijadikan sebagai alat konsolidasi dan reformasi domestik. Malah justru terkesan dijadikan sebagai ‘musuh bersama’.

Faktanya, ketika tarif perdagangan antar negara ASEAN sudah menjadi tereliminasi sejak tahun 2010, Indonesia justru meningkatkan hambatan bukan tarif (non-tariff barier). Pada tahun 2012, hanya ada 30 ketentuan hambatan bukan tarif yang tidak transparan, mendiskriminasi dalam aplikasinya, dan disusun tidak berdasarkan penelitian. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 158 ketentuan pada tahun 2015!

Sedangkan dalam kurun waktu yang sama, penetrasi ekspor Indonesia ke pasar ASEAN tumbuh stagnan. Bila pada tahun 2012, Indonesia mengekspor 20,9% dari total produknya ke pasar ASEAN, pada tahun 2015 hanya sebesar 22,4%. Itupun hanya sekitar 3,2% dari total kebutuhan impor negara-negara ASEAN.

Artinya, secara sadar (atau pun tidak sadar) kebijakan menambah ketentuan hambatan bukan tarif yang diskriminatif itu kemudian mendukung bahwa adanya MEA akan membanjiri pasar Indonesia. Tetapi sayangnya, kita tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat produk-produk Indonesia bisa semakin laku di pasar ASEAN.

Begitu juga misalnya, dengan liberalisasi arus tenaga kerja terampil yang di sepakati dalam MEA. Kita lebih takut pasar tenaga kerja Indonesia direbut oleh tenaga kerja asal ASEAN. Padahal, kalau melihat upah minumum yang paling rendah di Filipina, Thailand, Singapura maupun di Malaysia, nilainya masih lebih tinggi dibandingkan dengan upah minimpun yang paling tinggi di Indonesia.

Artinya, yang lebih besar adalah kemungkinan tenaga kerja asal Indonesia yang memanfaatkan fasilitas liberalisasi tenaga kerja ASEAN untuk bekerja di luar negeri. Sehingga yang seharusnya di takutkan bukan pasar tenaga kerja Indonesia yang direbut oleh tenaga asing, tetapi tenaga kerja terbaik Indonesia yang 'lari' ke luar negeri.

Kalau dalam analogi sepakbola, ketika berhadapan dengan MEA, Indonesia lebih memilih strategi yang defensif dengan cara apapun agar tidak kejebolan, tapi tidak punya cara ofensif untuk mencetak gol ke gawang lawan.

Kita takut adanya MEA akan membanjir pasar kita, tetapi disaat yang sama kita tidak takut melewatkan kesempatan emas menjadikan MEA sebagai ajang keluarnya segenap potensi yang kita miliki. Indonesia takut pasarnya di rebut negara ASEAN, tetapi tidak takut kalau kita melewatkan kesempatan untuk tidak mampu menguasai pasar ASEAN.


Artikel ini pernah di publikasikan di Bisnis Indonesia pada 11 Februari 2016

Komentar