Mempertimbangkan Penyangga Fiskal
Menggantungnya beleid pengampunan
pajak di DPR, juga realisasi penerimaan pajak per Februari 2016 yang baru
sekitar 9% dari target, nampaknya membuat ancaman defisit anggaran semakin
terang benderang. Dalam APBN 2016, Pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp
1.822,5 triliun. Sementara belanja
negara di anggarkan sebesar Rp 2.095,7 triliun. Sehingga defisit diperkirakan
sebesar Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen dari PDB.
Tanpa memperhitungkan potensi
penerimaan dari tax amnesty sekitar
Rp 60 triliun-Rp 100 triliun, defisit APBN 2016 pasti akan melebar karena
penerimaan pajak nonmigas tahun ini akan meleset dari target.
Melihat ini semua, menjadi wajar
apabila beberapa pihak yang menyadari akan besarnya potensi pelebaran defisit APBN,
banyak dari mereka yang telah menyarankan Pemerintah untuk mengurangi belanja.
Namun demikian, dalam kondisi
makro ekonomi yang belum pulih sebelumnya, mengurangi anggaran belanja rasanya
bukan jalan yang terbaik. Apalagi dengan performa sektor swasta yang belum
pulih (dilihat dari sisi pengeluaran dan output dari sektor swasta).
Melakukan effisiensi dalam
anggaran belanja negara juga tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu pendek.
Selain itu, pemotongan belanja pada APBN pasti akan berdampak pada proyek yang
baru akan di mulai maupun yang sedang berjalan. Yang pada gilirannya, akan
berdampak juga pada keterlambatan penyelesaian program Pemerintah.
Penurunan suka bunga acuan (BI
Rate) yang dilakukan oleh Bank Indonesia selama dua bulan berturut-turut, juga
rasanya tidak akan cukup bila menjadi tumupuan untuk mendorong perekonomian.
Apalagi bila diharapkan akan membuat sektor swasta dan rumah tangga untuk segera
berbelanja dan berinvestasi, yang kemudian memutar kembali roda ekonomi.
Kita juga sebaiknya cukup bijak
melihat yang terjadi pada negara-negara maju. Setelah krisis finansial tahun
2008, negara-negara maju berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter-cyclical. Tapi pada pertengahan
tahun 2010, dengan cepat mereka mengubah haluan menjadi pengetatan kebijakan
fiskal (austerity). Alhasil, karena
ekonomi belum sepenuhnya membaik, sekarang pengetatan fiskal justru membuat
permintaan swasta menjadi jauh lebih rendah dari masa sebelum krisis terjadi.
Maastricht Treaty
Ketergantungan untuk mendorong kembali
ekonomi berada pada penyangga fiskal (fiscal
buffer) atau kemampuan untuk
membiarkan defisit anggaran membesar sebagai respon dari menurunnya performa
sektor swasta. Oleh karena itu, apabila Pemerintah berkehendak untuk mengajukan
APBN Perubahan 2016, maka salah satu yang perlu menjadi topik utama dengan para
anggota dewan, ialah masalah penyangga fiskal.
Selama ini, berdasarkan UU
Keuangan Negara mengacu pada Maastricht
Treaty atau Undang-Undang Dasar
(UUD) Uni Eropa, yang mensyaratkan bahwa rasio defisit terhadap PDB tidak boleh
melebihi 3 persen.
Masalahnya, Maastricht Treaty berasal dari kepercayaan bahwa sektor swasta akan
mampu mengoreksi dirinya sendiri untuk mencapai potensi penuh (full-potential). Selain itu Maastricht Treaty juga dapat dikatakan
sebagai asymmetrical rule (peraturan
yang asimetris). Karena tidak terdapat batas atas dalam peraturan tersebut.
Dengan kata lain, secara tidak langsung, Maastricht
Treaty mengingkari kebutuhan
intervensi kebijakan yang bersifat counter-cyclical.
Pengingkaran terhadap kebijakan counter-cyclical ini menjadi tidak
relevan dalam kondisi Indonesia saat ini. Karena, seperti yang diutarakan
sebelumnya, kondisi ekonomi yang sedah melemah dan belum membaiknya performa
sektor swasta, sangat membutuhkan intervensi kebijakan dari APBN.
Apalagi, terjadi juga salah
kaprah dalam pengertian defisit anggaran yang ada di Maastricht Treaty, maupun yang sudah diterjemahkan dalam UU
Keuangan Negara. Dalam kedua dokumen tersebut, defisit anggaran didefinisikan
sebagai total pendapatan dikurangi dengan penerimaan.
Pengertian defisit macam ini bisa
menjadi menyesatkan bila salah diterjemahkan. Karena dengan terminologi
tersebut membuat kita tidak bisa melihat usaha kebijakan fiskal untuk
mengurangi beban utang negara yang dilakukan setiap tahun. Sebagai gambaran, bila tingkat bunga nomimal
pada utang Pemerintah tidak lebih besar dibanding pertumbuhan nominal PDB, maka
surplus primer akan menyatakan secara tidak langsung bahwa share utang Pemerintah terhadap PDB akan turun. Padahal yang terjadi
bisa saja sebaliknya: utang Pemerintah justru bertambah.
Indikator yang lebih tepat
digunakan ialah indikator keseimbangan primer, yang didapat dari nilai
keseluruhan defisit dikurangi bunga pada utang publik (IMF, 1995; Weeks 2016).
Dengan menggunakan indikator keseimbangan primer, dapat tersedia indikator
untuk melihat usaha fiskal saat ini (current
fiscal effort). Negara yang memiliki utang yang besar (dalam pengertian
utang terhadap PDB), mencapai surplus primer akan menjadi penting untuk
mengurangi rasio utang per PDB.
Oleh karena itu, sekali lagi kami
tekankan, kuncinya sekarang berada pada topik yang akan dibahas oleh Pemerintah
dan DPR dalam pembahasan APBN Perubahan 2016. Apabila Pemerintah dan DPR
bersikukuh dan tidak memberikan ruang kelonggaran akan defisit fiskal,
kebijakan counter-cyclical untuk
mendorong perbaikan ekonomi lewat APBN nampaknya terlihat fana.
Artikel ini pernah di publikasikan di Media Indonesia pada 11 Maret 2016
Komentar