Menyoal Kekuatan Fiskal
Melalui harian ini pada tanggal
16 Juni 2016, artikel saya berjudul “Mewaspadai Defisit Anggaran” memprediksi
bahwa ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pada APBNP 2015, akan
mendorong terjadi pembengkakan defisit anggaran.
Sayangnya, ramalan itu menjadi
nyata. Defisit anggaran melebar menjadi Rp 318,5 triliun (2,80 persen terhadap
PDB), sedangkan target di APBN-P 2015 hanya sebesar Rp 222,5 triliun (1,9
persen).
Tahun ini, masalah yang sama
kurang lebih akan terjadi. Apalagi, bila UU Pengampunan Pajak yang di ajukan
oleh Pemerintah, tidak kunjung di sah-kan. Minimnya inovasi dalam melebarkan
basis pajak, juga peningkatan target pajak di atas rata-rata kemampuan
pengumpulan pajak, membuka ruang defisit semakin melebar.
Selain itu, ancaman kekuatan
fiskal juga terjadi karena asumsi harga minyak yang sudah menjadi tidak
relevan. Asumsi harga minyak pada APBN 2016 ialah sebesar 50 dollar AS per
barrel. Padahal, sekarang harga minyak dunia sudah berada di kisaran 30-40
dollar AS per barrel. Penurunan harga komoditas merupakan indikator awal bagi
prospek perekonomian di masa depan.
Maka dari itu, apabila Pemerintah
ingin mengajukan APBN-Perubahan 2016, yang harus menjadi fokus pembahasan
dengan DPR ialah masalah kekuatan fiskal.
Biasanya, kekuatan fiskal sebuah
negara memang banyak diukur dari dua variabel, yaitu rasio utang terhadap
produk domestik bruto (PDB) dan rasio defisit APBN terhadap PDB. Kedua ini
mengacu pada Maastricht Treaty, yang
merupakan Undang-Undang Dasar (UUD) Uni Eropa. Dimana dalam Maastricht Treaty secara
tegas dinyatakan bahwa negara yang layak masuk Uni Eropa harus memenuhi dua
persyaratan, yaitu rasio utang terhadap PDB tidak boleh melebihi 60 persen, sedangkan
rasio defisit terhadap PDB tidak boleh melebihi 3 persen. Maastricht Treaty tersebut akhirnya menjadi semacam standar
internasional bagi kekuatan fiskal setiap negara. Ini pun tertuang dalam UU
Keuangan Negara yang berlaku di Indonesia.
Sayangnya, kedua variabel ini
rasanya sudah tidak relevan lagi.
Maastricht Treaty terinspirasi dari kepercaayaan bahwa sektor
swasta akan mampu mengoreksi dirinya sendiri untuk mencapai potensi penuh (full-potential). Disisi lain, kesalahan
kebijakan dari Pemerintah akan menghalangi pencapaian dari sekto swasta. Maka
dari itu, untuk memitigasi distorsi dari Pemerintah, Maastricht Treaty menetapkan target keseimbangan fiskal.
Masalahnya, Maastricht Treaty dapat juga dikatakan sebagai asymmetrical rule (peraturan yang asimetris). Tidak terdapat batas
atas dalam peraturan tersebut, dengan implikasi yang jelas-jelas menunjukkan
bahwa surplus tidak dapat begitu besar. Sehingga secara tidak langsung, Maastricht Rules mengingkari kebutuhan
intervensi kebijakan yang bersifat counter-cyclical.
Dengan kata lain, mengikuti Maastricht Rules, seperti yang di acu
pada UU Keuangan Negara, maka rasanya akan sulit untuk menjadikan APBN sebagai
tumpuan pembangunan dan menjadi instrumen negara untuk melakukan kebijakan counter-cyclical.
Selain itu, juga terjadi salah
kaprah dalam pengertian defisit anggaran yang ada di Maastricht Rules, maupun yang sudah diterjemahkan dalam UU Keuangan
Negara. Dalam kedua dokumen tersebut, defisit anggaran adalah total pendapatan
dikurangi dengan penerimaan. Pengertian ini bisa menjadi menyesatkan.
Bila tingkat bunga nomimal pada
utang Pemerintah tidak lebih besar dibanding pertumbuhan nominal PDB, maka
surplus primer akan menyatakan secara tidak langsung bahwa share utang Pemerintah terhadap PDB akan turun. Padahal belum tentu
beban utang Pemerintah turun. Alhasil, pengertian tradisional macam ini tidak
akan mampu melihat usaha fiskal untuk mengurangi beban utang negara yang
dilakukan setiap tahun.
Indikator yang lebih tepat
digunakan ialah indikator keseimbangan primer, yang didapat dari nilai
keseluruhan defisit dikurangi bunga pada utang publik (IMF, 1995; Weeks 2016). Dengan
menggunakan indikator keseimbangan primer, dapat tersedia indikator untuk melihat
usaha fiskal saat ini (current fiscal
effort). Negara yang memiliki utang yang besar (dalam pengertian utang
terhadap PDB), mencapai surplus primer akan menjadi penting untuk mengurangi
rasio utang per PDB.
Ketidaktepatan lain yang ada pada
Maastricht Rules ialah ketentuan
bahwa utang publik tidak boleh lebih dari 60% PDB. Rasio ini tidak rasional.
Karena yang seharusnya menjadi fokus ialah ketahanan (sustainability) dari utang tersebut, bukan besaran absolut dari
utang.
Suatu negara seperti Jepang maupun
China memiliki rasio utang yang melebihi PDB nya. Tapi mereka memiliki
ketahanan yang cukup kuat. Karena
meskipun rasio utangnya besar, tetapi negara berutang kepada masyarakatnya
sendiri. Sehingga bisa saja kedua negara tersebut membayar utang, bukan dengan
uang, tetapi dengan penurunan pajak, misalnya.
Oleh karena itu, mengingat
pentingnya pembahasan isu kekuatan fiskal, ditengah komitmen Pemerintah untuk
mendorong pembangunan lewat APBN, pembahasan APBNP 2016 harus memperhatikan
indikator-indikator lain, jangan terlalu kaku, hingga dapat terkecoh oleh
pemahaman yang tidak tepat untuk kondisi saat ini.
Artikel ini pernah di publikasikan di Suara Karya pada 17 Maret 2016 atau bisa dilihat di http://www.suarakarya.id/2016/03/17/menyoal-kekuatan-fiskal.html
Komentar