Harga Pangan & Ekspektasi Ramadan

Dalam rapat kabinet beberapa pekan lalu, kita mendengar keinginan dan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan pangan selama bulan puasa dan Idul Fitri. Dan seperti juga semangatnya pada bulan ramadhan pertama di era kepemimpinannya, tahun ini Pemerintah kembali bertekad menjungkirbalikkan alias menurunkan harga pangan.

Pertanyaannya kemudian, kalau rencana dan tekad Pemerintah ini betul-betul terwujud, akankah itu baik untuk masyarakat Indonesia?

Sebelum menjawab lebih jauh, kita perlu ingat bahwa inflasi pada bulan ramadhan dalam beberapa tahun terakhir memang mengalami perubahan waktu. Pada 2008, bulan ramadhan jatuh pada September, kemudian pada tahun 2011 bulan ramadhan berada pada bulan Agustus, dan sejak tahun 2012 ada pada bulan Juli. Namun, meskipun waktu ramadhan dan lebaran silih berganti, tapi yang pasti sejak tahun 2008, inflasi pada bulan puasa tak pernah berada di bawah 0,7%.

Bahkan kalau mau dilihat lebih detail lagi, kita akan mengetahui bahwa kenaikan harga (terutama pangan) akan mengalami kenaikan pada minggu ke dua sebelum masuk bulan Ramadhan dan minggu ke dua di bulan ramadhan. Penjelasan sederhananya, masyarakat terbiasa untuk membeli dan menyimpan stok pangan lebih dulu, sebelum bulan ramadhan dimulai dan hari lebaran tiba. Sehingga, kalau harga pangan baru dijaga sejak bulan ramadhan tiba, bisa dikatakan kemungkinan besar hasilnya akan mengecewakan. Faktanya ada pada bulan ini. Per tanggal 17 Mei 2016, atau dua minggu sebelum bulan ramadhan, beberapa harga komoditas pangan sudah beranjak naik, bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Sebut saja gula pasir (15,65%), daging ayam ras (5,63%), daging sapi (0,69%), dsb.

Ekspektasi Harga

Kembali pada pertanyaannya, kenaikan inflasi pada bulan ramadhan berdasarkan asal muasalnya sudah banyak dibicarakan dan diketahui secara umum. Kurang lebih ada dua penyebab utamanya. Pertama, permintaan agregat yang tumbuh selama bulan ramadhan tidak diikuti dengan ketersediaan stok. Logika ekonomi sederhana tentu akan membuat rasionalitas harga menjadi naik.  Kedua, adanya faktor ekspektasi dari masyarakat. Nah, faktor kedua ini yang perlu diwaspadai sebelum tekad Pemerintah untuk menurunkan harga pangan di bulan ramadhan benar-benar terwujud.

Ekspektasi harga pada bulan ramadhan ini punya dua sisi mata koin. Kalau harga pangan turun karena Pemerintah berhasil memperbaiki jalur distribusi dan tata niaga komoditas pangan, itu tentu akan bagus. Apalagi kebijakan tataniaga di beberapa komoditas pangan selama ini, dimanfaatkan oleh para kartel untuk menjadi pelaku usaha di jejaring distribusi. Para penguasa pada jalur distribusi dan tata niaga pangan menjadi satu-satunya pemasok kebutuhan di wilayah tertentu dan menciptakan posisi monopoli atau oligopoli. Singkatnya, dengan cara memperbaiki jalur distribusi dan tata niaga komoditas pangan, Pemerintah akan berhasil melawan ekspektasi para kartel sepanjang bulan ramadhan.

Perlawanan terhadap kartel tentu akan menjadi sesuatu yang berharga, bukan hanya pada bulan ramadhan, tetapi juga bagi masa depan pangan dan persaingan usaha di Indonesia. Apalagi, dalam kurun 1-2 tahun terakhir, ada semangat perbaikan dan penegakkan prinsip persaingan usaha yang sehat. Terutama sejak masuknya revisi UU tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada prolegnas tahun 2016.

Tapi bagaimana kalau yang dilawan adalah ekspektasi para pedagang kaki lima?

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, naiknya harga komoditas sepanjang bulan ramadhan tercipta karena tumbuhnya permintaan agregat. Naiknya permintaan agregat tercipta karena adanya tambahan pemasukan, seperti gaji ke-13, di bulan ramadhan.

Akan tetapi, perlu di catat bahwa masyarakat yang bisa mendapatkan gaji-13, masih sangat terbatas. Hanya mereka yang bekerja di sektor formal. Padahal di Indonesia, pekerja informal masih 52% dari total lapangan kerja. Sehingga, salah satu cara para pekerja informal untuk mendapatkan berkah di bulan ramadhan, ialah menaikkan harga produk yang mereka jual. Apalagi mereka mengetahui adanya kelebihan uang yang bisa dibelanjakan oleh masyarakat sepanjang ramadhan.

Yang perlu diperhatikan di sini ialah, masyarakat kita bukan hanya sebagai konsumen. Tetapi mereka juga bertindak sebagai produsen dan pedagang. Dari perspektif ini, harga komoditas pangan yang rendah, belum tentu akan menguntungkan masyarakat secara umum.

Disinilah tolak persoalannya, kalau yang dilawan oleh Pemerintah adalah ekspektasi para pedagang kaki lima dan pekerja sektor informal, kekecewaan terhadap Pemerintah ditakutkan semakin meluas. Kepercayaan dan ekspektasi publik adalah salah satu obat mujarab untuk membalikkan kondisi ekonomi yang sedang melemah. Keduanya memiliki peranan yang sama pentingnya dengan faktor fundamental ekonomi. Faktor fundamental ekonomi yang baik dan kuat, tanpa kepercayaan dan ekspektasi publik yang kuat, tidak bisa diharapkan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik. Semuanya sama-sama penting untuk dijaga dan terus dikelola.


Oleh karena itu, tentu kita berharap, kalau pun rencana Pemerintah sukses dan harga akan turun pada bulan ramadhan, masyarakat wong cilik tak harus menambah latihan kesabarannya di bulan ramadhan.




Artikel ini pernah di publikasikan di  Bisnis Indonesia pada 20 Mei 2016

Komentar