Masa Adaptasi Pengampunan Pajak

Melalui harian ini pada tanggal 20 Mei 2016, atau satu bulan sebelum UU Pengampunan Pajak diterbitkan oleh DPR dan Pemerintah, artikel saya berjudul "Mitigasi Resiko Pengampunan Pajak" memberikan gambaran tentang persoalan-persoalan ekonomi yang akan muncul ketika UU Pengampunan Pajak diresmikan. Durasi pengampunan pajak yang relatif singkat, akan dapat menyebabkan terjadinya gejolak (shock) bagi perekonomian domestik.  Baik persoalan yang akan mungkin terjadi pada arus uang yang masuk, obligasi, kurs rupiah, struktur perbankan, dan lain sebagainya.

Entah harus senang atau pun bersedih, ternyata satu per satu prediksi itu mulai nampak menjadi kenyataan. Penerbitan UU Pengampunan Pajak tanpa adanya persiapan yang matang pada implementasinya, menyebabkan beberapa persoalan baru muncul setelah UU tersebut diberlakukan.
Salah satu contoh persoalan yang muncul setelah UU Pengampunan Pajak diterbitkan ialah persoalan bank penampung dana pengampunan pajak, yang sempat heboh beberapa hari lalu. Beberapa pengamat ekonomi sibuk menjustifikasi kenapa bank asing tidak boleh diikutsertakan dalam program pengampunan pajak. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang menggunakan sentimen nasionalisme. Di sisi lain, Pemerintah juga mungkin hanya menunjuk 18 bank untuk menjadi penampung dana tax amnesty, tanpa olang-aling tentang masalah kepemilikan bank tersebut.

Tapi apakah itu bank asing ataupun bank milik pribumi, sejatinya persoalan berada pada bentuk investasinya. Bukan warna kulit kepemilikan bank nya. Di era globalisasi seperti sekarang, sangat memungkinkan produk investasi ditawarkan, dibuat seolah-olah uangnya ada di Indonesia. tetapi sebenarnya uang tersebut sudah berada di luar negeri. Maka menjadi sangat penting bagi otoritas keuangan, untuk memantau produk-produk investasi yang ditawarkan oleh perbankan.

Pada sisi lain, struktur pasar perbankan kita, cukup rawan bila harus diserbu oleh aliran modal yang masuk dan keluar dalam jumlah besar. Struktur pasar perbankan di Indonesia bersifat oligopoli-oligopsoni. Karena 10% dari total bank umum di Indonesia menguasai 69% total DPK. Kemudian, 52% dari total DPK tersebut hanya dikuasai oleh 0,4% dari total deposan di industri perbankan.

Artinya hidup mati perbankan kita, sangat bergantung dari deposan besar. Nah, inilah masalah fundamentalnya. Jumlah bank yang menjadi bank persepsi justru sangat sedikit, hanya 18 bank dari 119 bank yang ada di Indonesia. Bila terjadi perpindahan modal dari bank yang bukan merupakan bank persepsi, kepada bank persepsi, dikhawatirkan akan terjadi rush akibat penarikan tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar.

Ilustrasinya begini: struktur pemodalan bank A sangat bergantung dari orang B. Ketika orang B ingin menggunakan fasilitas pengampunan pajak, ia hanya bisa menggunakannya melalui bank C. Maka, agar orang B bisa diampuni, ia harus memindahkan asetnya dari bank A ke bank C. Karena struktur pemodalan bank A sangat bergantung pada orang B, maka mau tidak mau akan terjadi persoalan pada bank A. Tapi tidak berhenti dari situ. Persoalan pada bank A yang kekurangan DPK, justru bisa menyebabkan second round effect ke iklim perbankan.

Singkatnya, jumlah bank penampung dana pengampunan pajak yang terlalu sedikitlah justru yang menjadi persoalan utama hari ini.

Selain itu, melihat perkembangan terkini, ada kecendrungan bahwa Wajib Pajak hanya akan melakukan deklarasi. Bukan repatriasi. Pendeknya, program pengampunan pajak hanya akan mendorong pengungkapan harta di dalam maupun di luar negeri, bukan untuk membawa kembali uangnya untuk disimpan di Indonesia. Maka dari itu, pada masa sekarang, perlu dipikirkan dengan segera, insentif-insentif yang diberikan, agar mendorong wajib pajak melakukan repatriasi.

Persoalan lain yang muncul ketika UU Pengampunan Pajak ini telah diterbitkan ialah kesiapan infrastruktur pelaksananya. Perlu diingat juga bahwa dalam beberapa waktu lalu pernah disebutkan target dana yang masuk dari pengampunan pajak mencapai Rp 560 Triliun.

Artinya, bila masa pengampunan pajak hanya sembilan bulan, dari bulan Juli 2016 sampai bulan Maret 2017, maka setiap harinya otoritas pajak harus mampu menangkap Rp 2 Triliun per hari. Iya harus ada Rp 2 Triliun per hari agar total dana pengampunan pajak bisa mencapai Rp 560 Triliun!

Kalau dibandingkan dengan realisasi pengampunan pajak (baik deklarasi maupun repatriasi) yang baru mencapai Rp 300 Miliar pada 22 Juli kemarin, tentu bisa dikatakan bahwa targetnya masih sangat jauh. Memang perhitungan Rp 2 Trilliun ini tidak liniar. Tapi hal ini menunjukkan bahwa, perlu upaya yang lebih banyak, baik dari Pemerintah, asosiasi badan usaha, dan pelaku kepentingan lain, untuk menggiatkan sosialisasi terkait pengampunan pajak.


Oleh maka itu, diperlukan adaptasi yang lebih pada program pengampunan pajak. Bukan hanya programnya yang harus cepat beradaptasi dengan struktur perbankan dan persoalan-persoalan yang datang kemudian, tetapi juga Menteri Keuangan baru, Ibu Sri Mulyani, yang juga harus cepat beradaptasi pada program ini. Penulis sejujurnya sangat khawatir bila program ini berjalan lancar dan sukses menangkap Rp 560 Triliun, hasilnya bila dilihat dari perspektif yang lebih luas, justru negatif. Ia sukses menangkap uang banyak, tapi mengorbankan struktur ekonomi yang tidak cukup siap menampung uang dalam jumlah besar. Kerjasama antar pemangku kepentingan, utamanya LPS, OJK, Menteri Keuangan, dan Bank Indonesia, sangat penting dalam memastikan program ini berhasil mendorong perekonomian, ke arah yang lebih baik.



Artikel ini pernah di publikasikan di  harian KONTAN pada 1 Agustus 2016 dan dapat juga dibaca pada link berikut http://analisis.kontan.co.id/news/masa-adaptasi-pengampunan-pajak 

Komentar