Pemotongan Anggaran: Beberapa Pengalaman

Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penghematan Anggaran Kementerian dan Lembaga pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016, melakukan pemotongan anggaran pada tahun anggaran 2016. Lebih lanjut, sesuai dengan Inpres tersebut. Penghematan anggaran dilakukan pada belanja operasional seperti biaya honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat, iklan, pemeliharaan gedung, peralatan serta pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan, sisa dana lelang dan/atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan atau yang tidak akan dilaksanakan hingga akhir tahun, serta kegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya.

Namun demikian, pemotongan anggaran tidak selalu memberikan dampak yang positif, bahkan justru sebaliknya, terdapat sejumlah konsekuensi yang harus dipikul dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Pengalaman yang paling lampau ialah pengalaman kebijakan pemotongan anggaran oleh Presiden Amerika Serikat Herbert Hoover, yang dinilai sebagai salah satu penyebab mengapai Depresi Besar (The Great Depression) terjadi dalam waktu yang lama. Di mulai dari hancurnya pasar modal di tahun 1929, kepemimpinan Herbert Hoover pada tahun 1932 justru memotong pengeluaran dan meningkatkan penerimaan pajak untuk menyeimbangkan anggaran fiskal. Hasilnya, jumlah pengangguran meningkat hingga hampir 15 juta jiwa atau seperlima dari tenaga kerja di Negeri Paman Sam waktu itu. Ekonomi Amerika Serikat dan dunia, baru pulih ketika Presiden Franklin Delano Roosevelt mengejawantahkan ajaran John Maynard Keynes tentang pentingnya peran Pemerintah dalam perekonomian.

Pengalaman Herbert Hoover bukanlah satu-satunya pengalaman yang menunjukkan bahwa pemotongan anggaran tidak selalu memberikan hasil yang baik. Pengalaman terdekat ialah pengalaman di negara-negara Uni Eropa. Setelah krisis finansial tahun 2008, negara-negara maju berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter-cyclical, melalui belanja yang ekspansif. Tapi pada pertengahan tahun 2010, dengan cepat mereka mengubah haluan menjadi pengetatan kebijakan fiskal (austerity). Alhasil, karena ekonomi belum sepenuhnya membaik, sekarang pengetatan fiskal justru membuat permintaan swasta dan pertumbuhan ekonominya menjadi jauh lebih rendah dari masa sebelum krisis terjadi.

Fakta yang paling terang di Eropa terjadi di Portugal. Negara asal pemain sepakbola Cristiano Ronaldo ini adalah salah satu negara pasien dari TROIKA, triumvirat pengambil keputusan yang dibentuk oleh European Commission (EC), European Central Bank (ECB) dan International Monetary Fund (IMF). Di tahun 2010, Pemerintah Portugal diharuskan oleh TROIKA untuk menurunkan defisit anggarannya dari 10% terhadap PDB menjadi 3% terhadap PDB di tahun 2013. Nyatanya, setelah ekonomi Portugal sempat tumbuh 1,8% (yoy) di tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Portugal justru terus turun pada tahun-tahun berikut. Ekonomi Portugal tumbuh negatif 1,8% (yoy) di tahun 2011, turun lagi 4% (yoy) di tahun 2012, dan turun lagi -1,1% (yoy) di tahun 2013. Bahkan, di tahun 2015, PDB Per Kapita Portugal masih berada dibawah masa sebelum krisis ekonomi terjadi. Tingkat pengangguran pun justru semakin naik, dari hanya 10% di tahun 2010 menjadi 12% di tahun 2016. Dalam kurun waktu tersebut juga, pengeluaran Pemerintah Portugal terus mengalami penurunan, dari EUR 9,2 Milyar di tahun 2010 menjadi kurang dari EUR 8,4 Milyar di tahun 2016.

Pelbagai pengalaman negara-negara tersebut memberikan satu pelajaran penting. Ketika negara tidak memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai belanjanya, pemotongan belanja dan peningkatan pajak dimaksudkan agar negara tersebut tidak mencari sumber pembiayaan dari luar terlampau banyak. Dalam hal ini dimaksudkan agar defisit fiskal tidak melebihi batas 3% terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB tidak lebih besar dari 60%. Namun nyatanya tidak semua semudah itu.

Namun faktanya, penghematan anggaran justru menurunkan pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menurunkan penerimaan pendapatan, dan sekaligus meningkatkan belanja sosial (untuk asuransi kesejahteraan sosial, penanganan pengangguran, dan lain sebagainya). Singkatnya, penghematan anggaran negara, tidak selalu memberikan hasil yang baik. Dalam jangka pendek pengetatan anggaran justru memicu naiknya tingkat pengangguran dan dalam jangka panjang menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Apalagi, saat ini di Indonesia, pemotongan anggaran tidak diikuti dengan pemotongan target pembangunan. Target pembangunan masih dipasung terlampau tinggi, sedangkan kapasitas fiskal yang ada sudah sangat tidak memadai. Konsolidasi program pembangunan pun tidak banyak terjadi saat ini. Program-program prioritas justru banyak menerima pemotongan anggaran, sedangkan program mercusuar seperti Asian Games malah selamat dari pemotongan anggaran.

Saat ini pun masih bisa dikatakan bahwa desain anggaran defisit masih tetap diperlukan bagi Indonesia. Baik untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, maupun pengembangan teknologi. Selain itu, pengeluaran Pemerintah pun telah menjadi salah satu daya dorong penting dalam pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama setahun terakhir. Datanya, ekonomi triwulan-II 2016 tumbuh 5,1% (yoy) dan berdasarkan komposisinya, pengeluaran pemerintah tumbuh sebesar 6,2% (yoy).

Dari perspektif lain juga, hasil analisa APBN dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh David Alan Aschauer (1989) dari tahun 1984 hingga 2014, pun ditemukan bahwa belanja modal Pemerintah secara signifikan meningkatkan produktivitas sektor swasta. Sehingga sangat amat ditakutkan bahwa pemotongan anggaran kali ini justru juga akan menurunkan produktivitas sektor swasta.

Penyelamatan anggaran negara agar tidak terlalu bocor memang penting. Tapi yang tidak kalah penting adalah kehadiran negara ketika ekonomi masih rentan dan lemah. Belajar dari pelbagai pengalaman yang ada, mudah-mudahan pemotongan anggaran ini bukan bagian bagian dari kebijakan Pemerintah yang hands-off (lepas tangan) terhadap realitas ekonomi dan sosial.

Artikel ini pernah di publikasikan di harian KONTAN pada 13 Oktober 2016 

Komentar