Kesenjangan Kesempatan di Jakarta

Kalau di daerah mimpi terus lah jadi mimpi, tapi kalau di Jakarta, mimpi bisa jadi kenyataan! Begitu kiranya kata seorang kawan yang berasal dari daerah. Pergi ke Jakarta adalah sebuah cita-cita dan pertaruhan hidup seseorang.

Jakarta memang punya daya tarik yang luar biasa dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Bila dibandingkan dengan 34 Provinsi lainnya di Indonesia, Jakarta berkontribusi hampir 17 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Nilai tersebut jauh berada diatas kontribusi seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, daerah Maluku dan Papua. Bahkan sumbangsih Jakarta terhadap pembentukan ekonomi nasional hampir menyerupai sumbangsih seluruh provinsi di Pulau Sumatera, yang relatif lebih maju dibanding pulau-pulau lain selain Jawa.

Besarnya kontribusi Jakarta terhadap perekonomian nasional menunjukkan bagaimana lebarnya kesempatan berbisnis dan berusaha di ibu kota ini. Jangankan gedung-gedung perkantoran, dipinggiran jalan pun orang bisa membuka usaha di Jakarta.

Tapi sungguh pun begitu, ibu kota juga lebih kejam dibanding ibu tiri. Tidak sedikit orang yang harus kalah bersaing di Jakarta. Tidak semua orang dapat menjadi sukses dan mewujudkan mimpinya di ibu kota.

Yang kaya dan berkecukupan dapat hidup sejahtera, tapi yang miskin dan kekurangan terpaksa harus terpinggirkan.

Apalagi, di Jakarta, meskipun membuka kesempatan berusaha bagi setiap orang, tetapi tiap-tiap individu tidak memiiki kesetaraan kesempatan. Inilah yang kemudian dikatakan sebagai kesenjangan kesempatan.

Kesenjangan kesempatan (inequality of opportunities) adalah konsep yang berbeda dengan kesenjangan pengeluaran (inequality of outcome). Kesenjangan pengeluaran (ataupun pendapatan) dapat diukur melalui indikator indeks gini. Dimana indikator indeks gini kemudian merefleksikan distribusi pengeluaran antar orang per orang, sehingga memberikan gambaran mengenai bagaimana pengeluaran individu maupun rumah tangga terdistribusi dalam populasi.

Dalam konteks Jakarta, indeks gini Provinsi Jakarta pada tahun 2016 ialah sebesar 0,46. Nilai tersebut berada di atas indeks gini nasional yang sebesar 0,43. Namun, bila ditelisik lebih dalam lagi, maka kesenjangan pengeluaran di ibu kota menghasilkan gambaran yang sangat menggugah: 30% masyarakat termiskin di DKI Jakarta hanya memiliki pengeluaran maksimal Rp 1 juta per bulan, sedangkan 10% masyarakat terkaya di Jakarta memiliki rata-rata pengeluaran hingga Rp 42 juta per bulan. Artinya, dengan pengeluaran paling besar Rp 1 juta per bulan di Jakarta, 30% masyarakat termiskin sangat memiliki keterbatasan dalam membeli barang dan jasa.

Sedangkan kesenjangan kesempatan ialah suatu kondisi dimana terjadi ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Misalnya, perbedaan akses individu maupun kelompok terhadap fasilitas publik seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, permukiman, dan fasilitas sosial lainnya.

Dalam konteks Jakarta, tidak semua masyarakat memiliki akses yang sama dalam kebutuhan dasar. Bahkan, ada kecenderungan bahwa masyarakat miskin masih cukup jauh atas akses ke kebutuhan dasar, sedangkan masyarakat kaya yang memiliki kecukupan finansial, memiliki akses ke kebutuhan dasar yang lebih baik dibandingkan masyarakat miskin. Alhasil, dengan pendapatan yang juga terbatas, sebagian besar pengeluaran masyarakat miskin harus dialokasikan untuk belanja kebutuhan dasar.

Dalam akses ke sumber air minum misalnya,  hanya 38% masyarakat Jakarta yang meminum air dari air kemasan bermerk, sedangkan sisanya masih meminum air dari air isi ulang (32%), leding meteran (10%), leding eceran (4%), sumur (2%), dll. Itu pun mayoritas air minum dari kemasan bermerk diakses oleh masyarakat 10% terkaya. Dimana 76% dari masyarakat terkaya (desil 10) meminum air kemasan bermerk, sedangkan hanya 13% dari masyarakat termiskin (desil 1) yang meminum air kemasan bermerk.

Atau dalam perihal jaminan sosial misalnya, dari 30% masyarakat termiskin (desil 1 sampai 3), hanya 1 dari 20 penduduk pada kategori tersebut yang memiliki jaminan sosial, baik jaminan pensiun, jaminan hari tua, asuransi kecelakaan kerja, asuransi kematian, maupun pesangon pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pada 10% masyarakat terkaya (desil 10), rata-rata 1 dari 10 penduduk pada kategori tersebut memiliki jaminan sosial.

Begitu pun dalam sektor ketenagakerjaan, 26% pekerja di Jakarta adalah pekerja dengan pendidikan tertinggi SMP. Itu pun rata-rata harus bekerja selama 50 jam seminggu, dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 2 juta dalam sebulan. Berbeda dengan lulusan diploma ataupun universitas yang rata-rata bekerja selama 40 jam dan 43 jam selama seminggu, dengan tingkat penghasilan berkisar Rp 4 sampai Rp 7 juta per bulan. Dengan penghasilan yang terbatas, kelompok pekerja tidak terampil pun harus terbata-bata dalam membiayai kebutuhan dasarnya.

Adanya keterbatasan akses ke kebutuhan dasar bagi penduduk miskin kota Jakarta, yang mencerminkan lebarnya kesenjangan kesempatan adalah persoalan besar yang harus diselesaikan. Penduduk Jakarta tidak berdiri pada level yang setara dan masing-masing melihat peluang yang berbeda. Dalam hal ini, masyarakat miskin berada di dalam keadaan terpaksa untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar, untuk membiayai akses ke fasilitas publik. Sedangkan sebaliknya masyarakat kaya yang berkecukupan tidak perlu mengeluarkan uang dalam jumlah yang lebih besar untuk mengakses fasiltas-fasilitas tersebut.

Untuk itu, momentum pemilihan gubernur DKI Jakarta, harusnya jadi ajang adu gagasan untuk mendekatkan masyarakat miskin kota ke fasilitas publik dan memberikan harapan atas mimpi-mimpi warga kota. Bukan cuma memberi iming-iming uang ataupun program masa lalu yang terbukti belum menyelesaikan masalah.

Artikel ini pernah dipublikasikan di harian KONTAN pada 10 Januari 2017

Komentar

AMISHA mengatakan…
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut