Izin Sumber Pertumbuhan Baru

Bukan barang baru lagi kalau setelah boom harga komoditas di periode 2010-an, perekonomian Indonesia sekarang ini tumbuh lebih lambat. Bila pada periode tersebut Indonesia bisa tumbuh 6% per tahun, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada dikisaran 5% per tahun.
Memang kondisi seperti ini sudah cukup baik. Apalagi bila dibandingkan dengan dengan negara penghasil sumber daya alam lain, seperti Brasil, Rusia, Afrika Selatan, Malaysia, dan Australia, yang kegiatan ekonominya tumbuh lebih lambat dibanding Indonesia.

Akan tetapi, hanya tumbuh dikisaran 5% per tahun tidak cukup untuk membuat Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Perlu loncatan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Oleh karenanya,  untuk bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, maka Indonesia perlu segera mencari sumber pertumbuhan baru. Dari seluruh potensi yang dimiliki oleh Indonesia, sektor yang paling strategis untuk menjadi sumber pertumbuhan baru ialah sektor industri dan sektor pariwisata.

Sektor industri dianggap cocok untuk dikembangkan di Indonesia karena Indonesia memiliki potensi kekayaan alam untuk dikembangkan dan keunggulan komparatif tenaga kerja yang melimpah. Selain itu, sektor Industri sebagai sektor tradeable dianggap lebih bisa menampung lebih banyak tenaga kerja demi mengurangi tingkat pengangguran.

Sedangkan sektor pariwisata di Indonesia memiliki daya ungkit yang luar biasa karena Indonesia memiliki panorama yang indah di beberapa lokasi. Apalagi dengan keramahan penduduk lokal, serta nilai budaya yang besar, sektor pariwisata mengantongi segenap kriteria untuk menjadi maju.
Saya pikir, urgensi untuk memajukan kedua sektor tersebut juga telah banyak dibahas oleh berbagai lembaga pemikir ekonomi dan para cendekiawan ekonomi, seperti CORE Indonesia, INDEF, LPEM FEB UI, dan lain sebagainya.

Namun demikian, meski urgensi pembangunan sektor industri dan pariwisata telah dikampanyekan sejak lama, tetapi untuk mengembangkan kedua sektor tersebut sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional bukanlah perkara mudah. Strategi yang komprehensif belum tentu cukup tanpa kemauan politik dan langkah taktis yang tepat sasaran di lapangan.

Salah satu perkaranya adalah persoalan perijinan di kedua sektor tersebut yang masih membutuhkan waktu yang lama dan prosedur yang berbelit-belit. Tanpa prosedur perijinan yang memudahkan, sangat sulit mengharapkan investasi yang masuk akan bisa membangkitkan potensi dari kedua sektor tersebut.

Memang kalau mengacu pada survey kemudahan investasi atau Ease To Doing Business (EODB) yang diterbitkan oleh World Economic Forum, investasi di Indonesia dalam satu – dua tahun terakhir ini menunjukkan hasil yang membahagiakan. Telah terjadi peningkatan kemudahan berbisnis di Indonesia.

Pada tahun 2016, peringkat EODB Indonesia naik peringkat, dari posisi ke 106 ke posisi 91. Bahkan Pemerintah Indonesia telah mencanangkan di tahun 2018 mendatang, Indonesia berada di peringkat 40 dunia.

Tetapi kita juga jangan salah dan terjebak pada indikator-indikator sederhana yang memberikan hasil menggembirakan. Apalagi, EODB hanyalah survey persepsi yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya. Itupun yang sering kali di survey adalah pelaku usaha di sektor pergudangan. Dan kita ketahui bersama juga bahwa, terutama di Jakarta, sektor pergudangan sudah banyak melakukan relokasi ke Bekasi dan sekitarnya. Singkat kata, indikator ini baik digunakan untuk meyakinkan dunia internasional, tetapi belum cukup bisa menafsirkan kondisi riil di lapangan.

Dari sudut pandang kondisi konkrit di lapangan, kami melihat bahwa bilamana ada investor baru di sektor industri, maka investor tersebut perlu menyelesaikan beberapa perijinan. Mulai dari akte pendirian badan usaha, penerbitan NPWP, SIUP, ijin prinsip dan ijin usaha penanaman modal, kajian AMDAL, pengurusan instalasi petir, genset, listrik, ijin pemakaian alat angkut, ijin SNI, dan lain sebagainya. 

Bila di total, maka perijinan di sektor industri memerlukan lima puluh tiga (53) ijin, yang memakan waktu hingga tiga (3) tahun. Prosedur perijinan yang membutuhkan waktu paling lama ialah kajian AMDAL, pertimbangan teknis di BPN, pemecahan sertifikat (splitzing), peta bidang/penggabungan, pengurusan PLN dan PDAM.

Ini masih di dalam prosedur perijinannya saja, belum lagi bila melihat bebannya terhadap investasi manufaktur. Sebut saja beban konversi mata uang lain ke rupiah, biaya kajian AMDAL lingkungan dan lalu lintas, kajian strategis lingkungan, beserta pajak-pajak seperti pajak pembelian tanah (BPHTB), PPh atas perencanaan, PPh atas pengawasan bangunan, PPh atas biaya konsultan, pajak air bawah tanah, PBB, PPN, pajak penerangan jalan umum, genset, dan reklame, hingga beban iuran asuransi atas pekerja seperti BPJS hingga bunga kredit perbankan.

Hal yang sama juga terjadi di sektor pariwisata. Ambil contoh pembangunan hotel ataupun mall. Maka dibutuhkan sekitar empat puluh delapan (48) ijin, yang bisa menghabiskan waktu pengurusan ijin hingga dua tahun delapan bulan.

Dari sudut pandang lapangan ini kami menilai bahwa ke depan paket-paket regulasi dan penyederhanaan perijinan harus terus masuk ke dalam sisi teknis prosedural perijinan. Ambisi meningkatan daya saing Indonesia dalam indikator EODB harus bisa tercermin di lapangan dunia usaha. Layaknya peribahasa, gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.

Jangan sampai, indikator ekonomi terlihat bagus dari jauh, tapi masalah riil yang terlihat di lapangan masih tetap sulit teratasi.

Artikel ini pernah dipublikasikan di harian KONTAN pada 28 Juli 2017

Komentar