Pilkada dan Institusi Perkotaan

Hampir setengah hari perjalanan dari Jakarta ke Kota Kotamobagu. Dari salah satu kota Metropolitan terbesar di belahan selatan dunia, ke kota kecil di bagian utara Indonesia. Jauh perjalanan ini dilakukan untuk memenuhi undangan sebagai panelis debat tentang infrastruktur perkotaan dan agraria. 

Saya terkesima dengan undangan dari komisioner KPU Kota Kotamobagu di Provinsi Sulawesi Utara. Ukuran kotanya boleh kecil, tapi penyelenggaraan proses demokrasinya berambisi menghadirkan mimpi-mimpi besar untuk pembangunan kotanya. Dan rasanya, memang banyak masyarakat kota yang juga berharap kandidat Walikota kali ini punya gagasan-gagasan besar memajukan kotanya.

Faktanya memang dalam dua dekade terakhir, beberapa kota di Indonesia telah menjadi semacam laboratorium untuk perubahan tata kelola Pemerintahan secara keseluruhan. Bahkan sering kali kebijakan di perkotaan menjadi rujukan di tingkat nasional. Pemerintahan Kota memang telah menjadi garda terdepan dalam menghasilkan berbagai inovasi dalam kebijakan dan program pemerintah. Bagaimana program-program yang pada tingkat Pemerintahan Kota dituntut untuk langsung menyentuh ke masyarakat, berdampak bagi perbaikan sarana dan prasarana dasar, meningkatkan pelayanan dasar, meningatkan partisipasi publik, dan menanggulangi persoalan-persoalan kota yang telah laten terjadi.

Sebut saja bagaimana dulu Walikota Joko Widodo berhasil merevitalisasi pasar di Solo, Walikota Arief Wismansyah yang mengubah Kota Tangerang yang terkenal kotor menjadi penerima penghargaan Adipura, Walikota Ridwan Kamil yang mengenalkan taman-taman tematik di Bandung, dan keberhasilan para Walikota lainnya. Pasca reformasi, para Walikota yang terpilih dari proses demokrasi pernah menunjukkan bagaimana demokrasi dan otonomi bisa memberi harapan. Dan Kota menjadi pionir dalam inovasi kebijakan dan transformasi tata kelola Pemerintahan.

Memang kalau merujuk ke belakang, kata city merujuk pada citizenry. Beberapa peneliti dan pakar kota sering kali menekankan bahwa kota secara historis memang terhubung dengan konsep demokrasi, sebagai tempat dimana metode baru dimana warga kota dapat menyatakan hak, tuntutan, dan kepentingan mereka di ranah publik, sehingga kota juga menjadi arena pengorganisasian politik ditempa (Barnett, 2014; Isin 2002). 

Demokrasi level kota di beberapa Negara yang demokratis juga menunjukkan hasil yang signifikan dalam pembangunan Perkotaan. Hal ini terjadi karena Pemerintah Kota dekat dengan keseharian hidup masyarakat, sehingga kebijakan Pemerintah Kota bisa langsung berdampak dari kualitas kebijakan pemerintahan. Tidak terasa mengawang-awang di langit, tapi langsung terasa menapak di daratan. Dan sebaliknya, Kota juga menjadi arena dimana masyarakat punya kesempatan untuk berpartisipasi dan berpengaruh dalam proses menyusunan kebijakan.

Jadi tidak salah kiranya kalau tuntutan masyarakat pada Pilwalkot di tahun 2024 ini juga semakin tinggi. Meski tidak sedikit masyarakat yang lelah karena penyelenggaraan Pemilu selama setahun terakhir ini, tapi banyak pula yang menaruh harapan bagi pembangunan kotanya selama lima tahun kedepan. Kalau ada Walikota yang pernah bisa dan sukses, apa mungkin Pilkada serentak tahun ini bisa menghasilkan Walikota-Walikota yang kembali memberikan harapan.

Apalagi tuntutan akan Pemerintahan Kota yang efektif bukan hanya ada pada tingkatkan pemilih. Bahkan dunia juga menekankan harapannya pada Pemerintahan Kota. Lihat saja bagaimana agenda dan kesepakatan pada tingkat global, banyak yang bertumpu pada performa Pemerintahan Kota. Mulai dari New Urban Agenda, Paris Agreement, Sustainable Development Goals (SDGs), dan lain sebagainya.

Dengan begitu banyaknya tuntutan akan perbaikan kualitas kota dan kompleksitas persoalan struktural di perkotaan, tentu tidak bisa hanya di selesaikan tanpa adanya dukungan perbaikan institusi, terutama institusi yang terbuka untuk berkolaborasi dengan masyarakat. 

Garda Terdepan

Singkatnya demokrasi menuntut perbaikan institusi dan sebaliknya, demokrasi juga tidak bisa bertahan tanpa institusi yang terbuka dan transparan. Namun demikian, mendesain progres dari demokrasi di kota juga sebetulnya bukan hanya sekedar penguatan kelembagaan di tingkat lokal, tetapi juga terkait dengan relasinya pada tingkat regional, nasional, dan bahkan global.

Beruntungnya saat ini Pilkada dilakukan setelah Pilpres dan Pileg selesai. Maka momentum hari ini bukan hanya menyamaratakan waktu penyelenggaraan Pemilu, tetapi juga bisa dilakukan untuk menyamakan dan mengintegrasikan rencana pembangunan dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah. Sehingga kemudian tata kelola Pemerintahan diharapkan bisa efektif dimulai dari rencana pembangunan yang terintegrasi dari pusat sampai daerah yang disusun pada waktu yang bersamaan.

Kami berharap kedepan pembangunan perkotaan akan semakin terpadu dengan rencana pembangunan nasional di perkotaan. Sehingga kemudian inovasi tata kelola Pemerintahan Kota tidak bisa lagi sporadis. Hanya menggantungkan harapan pada kapasitas inovasi dari masing-masing Pemimpin kota. Perkotaan punya potensi menjadi tulang punggung pembangunan. Menjadi garda terdepan dalam implementasi program Pemerintah nasional. 


Artikel ini pernah dipublikasikan di harian KONTAN pada 20 November 2024. Bisa juga diakses melalui laman: https://insight.kontan.co.id/news/pilkada-dan-institusi-perkotaan

Komentar