Maju Mundur Kebijakan Fiskal
Di tengah ketidakpastian
perekonomian dunia dan perekonomian nasional yang belum pulih seutuhnya,
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 disusun lebih
ekspansif. Total belanja Pemerintah di tahun depan ditaksir sebesar Rp 2.070,5
triliun, dengan total penerimaannya yang mencapai Rp 1.737,6 triliun. Adapun defisit
anggaran didesain defisit sebesar Rp 332,8 triliun atau 2,41% dari PDB. Dengan
memasang tema kebijakan fiskal "Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk
Peningkatan Daya Saing dan Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang
Berkelanjutan dan Berkeadilan”, pengeluaran Pemerintah masih diharapkan dapat
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di tahun depan.
Namun demikian, daya dorong
fiskal di tahun 2017, akan sangat bergantung pada perencanan dan kebijakan
anggaran. Melihat pengelolaan fiskal hingga saat ini di tahun 2016, ada banyak
pelajaran penting yang sangat perlu diambil hikmahnya.
Yang pertama dan paling utama,
ialah persoalan perencanaan anggaran.
Kalau diingat pada akhir tahun
2015 lalu, dalam rangka mempercepat penyerapan anggaran tahun 2016, Pemerintah
berinisiaitif untuk mempercepat proses lelang, pada awal tahun 2016. Harapannya
ketika itu, program-program Pemerintah, terutama untuk proyek-proyek
infrastruktur dapat segera dimulai pada triwulan pertama 2016. Percepatan
proses lelang pun juga dimaksudkan untuk merubah budaya fiskal yang biasanya
selalu mencairkan anggaran di akhir tahun anggaran
Tapi di pertengahan tahun 2016,
tenaga fiskal mulai kendor. Pendapatan negara tidak mulus seperti yang
direncanakan. Dampaknya, beberapa program Pemerintah saat ini justru mengalami
kendala di pertengahan tahun, karena persoalan finansial.
Bahkan, berbeda dengan seruan
untuk mempercepat penyaluran anggaran, saat ini Pemerintah dengan DPR sedang
mendiskusikan tentang penghematan anggaran, dengan melakukan pemotongan
anggaran negara.
Buruknya perencanaan anggaran,
amat sangat ditakutkan terjadi lagi di tahun depan. RAPBN 2017, seperti yang
diutarakan dalam pidato Presiden kemarin, didorong untuk ekspansif. Tetapi
belum diketahui bagaimana melakukan pembiayaan defisit anggaran. Apalagi
keseimbangan primer terus mengalami defisit sejak tahun 2012. Disisi lain,
program pengampunan pajak, yang diharapkan mampu mendorong penerimaan negara,
hingga saat ini belum bekerja optimal.
Tolak ukurnya sederhana, dengan
jangka waktu program pengampunan pajak yang hanya sembilan bulan, dari bulan
Juli 2016 sampai bulan Maret 2017, maka untuk mampu menangkap target dana tebusan
sebesar Rp 165 triliun, setiap harinya otoritas pajak harus mampu menangkap Rp
0,6 triliun per hari. Sayangnya realisasinya hingga pertengahan bulan September
2016 baru sebesar Rp 11,7 triliun, atau masih dibawah perhitungan yang linear
tersebut. Padahal di tiga bulan pertama inilah tolak ukur sesungguhnya
keberhasilan amnesti pajak.
Persoalan lain yang perlu
dicermati dalam pengelolaan anggaran di tahun depan ialah ialah persoalan
konsistensi kebijakan anggaran. Pemerintah dalam beberapa waktu lalu mendorong
wacana money follows program. Mengganti
kebiasaan programs follows money
maupun money follows functions. Perubahan
paradigma ini sebetulnya wajib didukung. Akan tetapi, dalam merealisasikan
paradigma tersebut, Kepala Bappenas justru ditunjuk menjadi Chief Investment Officer, untuk mencari
pendanaan dari luar. Sedangkan Menteri Keuangan ditunjuk sebagai Chief Finance Officer, untuk mengatur
pembiayaan investasi pada proyek-proyek yang selama ini menggunakan APBN.
Kalau ditelisik, wacana itu
justru memperkuat kebiasaan programs
follows money. Bappenas yang merancang dan mengetahui lebih detail program
prioritas pemerintah, justru dipaksa mencari sumber pembiayaan dari luar APBN.
Padahal seharusnya, bila teguh pada prinsip programs
follows money, Bappenas lah yang diberi
kewenangan sebagai Chief Finance Officer,
untuk mengatur pembiayaan proyek-proyek prioritas dari APBN.
Pada sisi lain, Kementerian
Keuangan sebagai Bendahara Negara tidak memiliki landasan dan platform yang cukup untuk melihat mana
program yang menjadi prioritas Pemerintah. Apakah itu melalui trilateral meeting antara K/L dengan
Bappenas, persetujuan dengan Bappenas saja, atau berdasarkan peraturan Menteri
Keuangan yang telah tersedia. Selama ini, Kementerian Keuangan menjadi
institusi yang kuat karena ia memegang uang negara. Sedangkan paradigma programs follows money tak pernah
terjadi sejak jaman reformasi, karena Bappenas tidak memiliki posisi tawar yang
cukup: hanya memegang rencana pembangunan tapi tidak memiliki kewenangan
mendesain anggaran.
Pelajaran terakhir yang tidak
kalah penting ialah persoalan penyerapan anggaran di daerah. Persoalan ini
memang problematik. Sejak tahun 2014, UU Pemerintah Daerah No. 23/2014
diterbitkan menggantikan UU Pemerintahan Daerah No. 23/2004. Pada UU
Pemerintahan Daerah yang baru, urusan Pemerintah Daerah menjadi lebih terbatas.
Terdapat beberapa urusan yang tidak harus dikerjakan oleh Pemerintah Daerah.
Ambil contoh persoalan rumah tidak layak huni, persampahan, dsb.
Tetapi sejak tahun 2014 juga,
atau tepatnya sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo, postur anggaran untuk
daerah juga lebih besar. Dari sinilah timbul masalahnya. Antara payung hukum
yang tersedia dan kebijakan anggaran yang dilakukan. Wewenang Pemda banyak
dipotong melalui UU Pemerintah Daerah baru, tetapi anggarannya ditingkatkan.
Sehingga, dengan mempertimbangkan persoalan lain di daerah, seperti misalnya
kapasitas Pemda, banyaknya dana menganggur di daerah bukan menjadi persoalan
yang aneh.
Titik-titik inilah yang penulis
pikir perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan anggaran di tahun depan. Jangan
sampai kita mau maju selangkah, tapi ternyata harus juga melakukan dua langkah
mundur. Kita tentu berharap ada dua/tiga langkah maju, meskipun harus selangkah
mundur menarik hikmah yang ada pada tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya.
Artikel ini pernah di publikasikan di harian KONTAN pada 19 September 2016 dan dapat juga dibaca pada link berikut http://analisis.kontan.co.id/news/maju-mundur-kebijakan-fiskal?page=3
Komentar