Puasa Anggaran Lagi (?)

Melalui media ini, Penulis telah berkali-kali menyampaikan gagas pikiran dan kritik atas pemotongan anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah selama beberapa tahun terakhir, baik dalam artikel “Opsi Memperlebar Defisit Anggaran” (30 Maret 2016), “Memotong Anggaran, Memangkas Pertumbuhan” (25 Agustus 2016), “Maju Mundur Kebijakan Fiskal” (19 September 2016), “Pemotongan Anggaran: Beberapa Pengalaman” (13 Oktober 2016), dan “Mengaktifkan Kembali Kebijakan Fiskal” (24 November 2016). Dalam seluruh artikel tersebut, Penulis selalu menyampaikan bahwa pemotongan anggaran bukanlah solusi yang tepat untuk mengejar target pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, meski bulan suci ramadhan 1438 hijriah telah berakhir, tetapi nampaknya Negara masih akan terus melakukan puasa anggaran. Setidaknya hingga enam bulan terakhir di tahun 2017 ini.

Hal ini terlihat sesaat sebelum hari raya Idul Fitri, dimana Pemerintah melontarkan wacana untuk memangkas beberapa mata anggaran pada APBN Perubahan Tahun Anggaran 2017. Salah satunya ialah anggaran subsidi rumah rakyat, yang akan direalokasikan untuk pembangunan infrastruktur Asian Games 2018.

Saat ini memang Pemerintah Pusat memberlakukan dua jenis subsidi bagi pembangunan rumah rakyat demi menjalankan program strategis pembangunan satu juta rumah. Kedua jenis subsidi tersebut ialah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB). 
Secara singkat, dalam program FLPP,  Pemerintah menanggung dana Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) hingga 90 persen, dimana sisanya dialokasikan oleh perbankan. Adapun dalam program SSB, Pemerintah hanya membayarkan selisih antara bunga yang diberikan kepada masyarakat dengan bunga yang seharusnya diterima bank, sedangkan dananya sepenuhnya berasal dari Perbankan.
Dalam wacana yang dilontarkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut, anggaran subsidi yang akan dipangkas berasal dari program FLPP. Tetap di saat yang sama, Pemerintah masih akan tetap mempertahankan anggaran SSB.

Padahal, berbeda dengan SSB, program FLPP tidak akan menyandera anggaran pada tahun-tahun berikutnya. Karena, bilamana KPR yang diajukan oleh konsumen Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) adalah 20 tahun, maka SSB harus terus ada selama masa tenor tersebut.

Memang perlu diakui juga bahwa Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir juga telah berusaha untuk mensukseskan program sejuta rumah. Bukan hanya dari sisi anggaran yang selalu meningkat setiap tahunnya, tapi juga dari sisi kebijakan. Salah satunya ialah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Melaui peraturan yang terbit sebagai kelanjutan paket kebijakan ke-13, Pemerintah berusaha untuk memberikan kemudahan dan kepastian dalam prosedur perijinan pembangunan rumah subsidi. Meski dalam implementasinya kebijakan ini belum berjalan di daerah, tetapi kebijakan ini telah menjadi sinyal perhatian Pemerintah Pusat terhadap pembangunan rumah bagi rakyat kecil.

Maka menjadi hal yang mengherankan ketika Pemerintah tengah menggenjot produksi rumah subsidi, anggaran program FLPP justru mau dikorbankan dalam APBNP 2017 besok.

Satu hal yang pasti, bila wacana pemotongan anggaran ini betul-betul terlaksana, maka secara tidak langsung Pemerintah juga memotong rencana pembangunannya sendiri. Target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk mengurangi angka backlog rumah menjadi 6,8 juta unit pada tahun 2019, akan menjadi sulit terwujudkan.

Apalagi, program FLPP juga telah menjadi tulang punggung dalam pembangunan rumah rakyat. Meski margin keuntungan dari pembangunan rumah rakyat tidak seberapa, tetapi Program FLPP memberikan insentif bagi sektor swasta untuk membangun rumah bagi MBR. Itulah mengapa, dalam beberapa tahun keberjalanan program sejuta rumah, pelaku usaha di sektor perumahan dan permukiman justru lebih aktif dalam pembangunan rumah rakyat.

Sehingga kemudian, adalah tidak lazim ketika Pemerintah meminta peran pelaku usaha dan masyarakat secara swadaya untuk membantu mensukseskan program satu juta rumah, tetapi disaat yang sama Pemerintah juga memotong anggaran subsidinya sendiri. Lagi pula, penelitian akademis pernah menunjukkan bahwa belanja Pemerintah secara siginifikan meningkatkan produktivitas sektor swasta di Indonesia (Aschauer, 1989).

Sebagai penutup, menurut hemat penulis, ada baiknya bila wacana pemotongan anggaran ditinjau kembali. Terlebih, opsi kebijakan memotong subsidi rumah rakyat ini mencederai hak atas rakyat untuk bermukim, seperti yang tersiratkan dalam amanat konstitusi UUD 1945 ayat 28H: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, BERTEMPAT TINGGAL, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 

Artikel ini pernah dipublikasikan di harian KONTAN pada 7 Juli 2017

Komentar