DPR buat undang-undang untuk siapa?

Dalam beberapa bulan terkahir ini banyak rancangan undang-undang yang disahkan menjadi undang-undang. Contohnya RUU BHP (badan hukum pendidikan) dan RUU Pornografi yang sudah disahkan menjadi UU. Masih ada juga RUU MA (Mahkamah Agung) yang masih menunggu pengesahan dari presiden.

Tapi tak sedikit dari UU tersebut yang menimbulkan kontroversi. Misalnya UU pornografi, ditentangnya UU tersebut ditentang oleh beberapa kalangan, karena bisa menimbulkan hilangnya kebudayaan. Pengesahannya menjadi UU diwarnai dengan unjuk rasa diberbagai daerah. Tak sedikit dari mereka yang berasumsi kalau ada UU tersebut kekayaan budaya didaerahnya bisa hilang.

Paling dekat adalah UU BHP. Yang diwarnai dengan ricuhnya mahasiswa universitas indonesia (UI) saat sidang paripurna. Juga di Makassar yang akhirnya diakhiri dengan bentroknya mahasiswa dengan polisi. Begitu juga diberbagai daerah, misalnya yogyakarta dan bandung. RUU BHP dianggap menkomersilkan pendidikan. Bahkan pihak swasta pun bisa menaruh uang di badan pendidikan dan bisa menetapkan kurikulum. Peran serta masyarakat juga dituntut dalam pendidikan setelah RUU ini disahkan. Andil masyarakat dianggap penting dalam peningkatan mutu pendidikan.

Baik-kah undang-undang tersebut??

Hmmmm, sebenarnya UU tersebut memiliki arti yang baik, semisal UU pornografi yang bertujuan mengecilkan aspek kejahatan terhadap wanita dan anak dibawah umur untuk tindakan asusila. Atau juga UU BHP yang meningkatkan peran serta masyarakat. Tapi kok banyak pihak yang protes??

Ya mau enggak mau, ternyata beberapa RUU ini terkesan buru-buru disahkan oleh DPR tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu. Sosialisasi disini diperlukan agar masyarakat tidak menjadi kaget dengan adanya peraturan yang baru. Sosialisasi ini juga dimaksudkan agar meminta pertimbangan masyarakat, agar undang-undang tersebut dapat dengan baik diterapkan dimasyarakat. Singkatnya adanya peran masyarakat dalam pembuatan UU. Hal ini tidak dilaksanakan, karena berasumsi bahwa masyarakat sudah punya wakil di DPR. Sayangnya kepala-kepala di DPR tidak mewakili rakyat. Mereka mewakili Partai!

Suara rakyat, Suara Tuhan.

Sayangnya kata-kata ini tidak ditemukan di indonesia. DPR seenaknya membuat UU dengan mengabaikan rakyat. Sebenarnya buat siapa sih UU dibuat? Buat rakyat atau DPR? Kok enggak minta suara dari rakyat? Apa semisal UU pornografi dibuat untuk anggota DPR yang suka main perempuan??

Ketidak-effisiennya UU yang dibuat DPR ini bisa juga diakibatkan karena sedikitnya para anggota dewan yang hadir saat rapat berlangsung. Atau juga karena seringnya anggota dewan yang tertidur saat sidang paripurna.

Yah semoga aja tahun 2009, rakyat bisa memilih wakilnya yang baik dan bisa menampung aspirasi rakyat. Kalo kata bang iwan fals ma,”wakil rakyat, seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang rakyat, wakil rakyat............”

Komentar