#SaveRupiah

Rupiah terus terpukul dalam beberapa bulan terakhir, bahkan hampir menembus level psikologis Rp 13.000 per US$ pada pekan ini. Disisi lain, aksi pembelian saham oleh investor asing di pasar modal Indonesia cukup deras dan beberapa kali IHSG terkoreksi dalam pekan yang sama.

Persoalan juga melanda kinerja ekspor per bulan Januari 2015 yang mengalami penurunan hingga 9% (yoy). Kinerja ekspor Indonesia memang cenderung mengalami stagnansi sepanjang tahun 2014, padahal dalam kurun waktu yang sama, rupiah terus menerus mendapatkan tekanan hingga mencapai puncaknya sebelum libur natal 2014.

Cara pandang dan keyakinan bahwa pelemahan nilai tukar akan dapat mempengaruhi kinerja ekspor seperti yang pernah dilakukan oleh negara-negara maju, mungkin perlu ditelisik kembali dalam konteks Indonesia. Depresiasi nilai tukar rupiah belum tentu menguntungkan secara kumulatif bagi Indonesia. Terlebih, kondisi struktural dalam negeri masih mengalai pelbagai persoalan yang menghambat kinerja ekspor seperti lemahnya sistem logistik dan distribusi, penurunan kontribusi sektor manufaktur, dan lemahnya daya saing nasional.

Nilai tukar yang terdevaluasi justru lebih sering merugikan bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan, selain masih tingginya kebutuhan akan produk impor, pelemahan rupiah juga menyebabkan harga-harga didalam negeri terkerek naik. Persoalannya, bukan hanya harga bensin yang mengalami kenaikan ketika terjadi pelemahan mata uang garuda, tapi juga tarif listrik, tarif kereta api, LPG, dan produk-produk lainnya yang harga jualnya mengikuti pergerakan dari kurs dollar. Alhasil, ketika dollar terapresiasi, harga-harga produk juga terkerek naik. Sehingga bukan tanpa sebab kalau segelintir orang lebih suka dan berwacana untuk menyimpan dan menggunakan mata uang dollar untuk membayar listrik, membeli LPG, maupun membeli bensin.

Bagi korporasi-korporasi besar, hasil stress test yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada bulan Oktober tahun lalu telah menunjukkan bahwanya hanya terdapat 5 dari 57 korporasi besar yang berpotensi mengalami insolvency ketika nilai tukar rupiah berada pada posisi Rp 15.000 per US$. Hal ini memang menunjukkan bahwa korporasi besar yang ada sekarang telah belajar dari pengalaman krisis terdahulu dan lebih mengantisipasi pelemahan rupiah. Sayangnya, tidak sedikit perusahaan besar sekarang yang masih menghasilkan profit dalam bentuk rupiah dan pengeluarannya dalam bentuk dollar. Bahkan perusahaan besar, seperti Garuda Indonesia, yang berpotensi mendapatkan penghasilan dalam mata uang dollar (dengan membuka jalur penerbangan baru diluar negeri), masih domestic-oriented sehingga mendapatkan penghasilan bermata uang rupiah.

Dari sisi eksternal, bank sentral Amerika Serikat, The Fed, memungkinkan menaikkan suku bunga acuannya tahun ini. Walaupun terdapat beberapa keraguan dari Negeri Paman Sam, tapi apresiasi dollar terhadap mata uang lainnya akan meresahkan bagi Amerika Serikat karena terjadinya pelemahan daya saing produk ekspornya. Belajar dari pengalaman terdahulu, Maradona effect datang dari The Fed, pasar bergejolak dari ekspektasi terhadap bank sentral. Kalau The Fed betul-betul menaikkan suku bunganya, bukan tidak mungkin terjadi capital outflow besar-besaran dari dollar yang berada di Indonesia.

Sayangnya, penentu kebijakan lebih memilih untuk tidak mengintervensi pelemahan rupiah. Betul bahwa intervensi rupiah ditengah cadangan devisa yang terbatas belum tentu akan menguntungkan dan membantu menstabilkan pergerakan rupiah. Akan tetapi, sebetulnya masih banyak instrumen otoritas moneter yang dapat digunakan untuk membantu men’damaikan’ laju depresiasi rupiah tanpa perlu menghamburkan cadangan devisi.
Dewasa ini, Bank Indonesia lebih suka menggunakan BI Rate dan intervensi pasar sebagai instrumen menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun, keduanya sama-sama memiliki kelemahan. BI rate kurang dapat mendorong sektor perbankan untuk mengubah suku bunganya. Memang terdapat beberapa bank yang menggunakan BI rate sebagai variabel penentuan suku bunga, tapi tidak sedikit pula bank di Indonesia yang menjadikan BI rate seperti angin lalu. Alhasil wajar kalau suku bunga dibeberapa bank masih tetap tinggi walaupun BI rate telah diturunkan. Sedangkan intervensi pasar, walaupun cukup efektif mengerem laju depresiasi rupiah, biayanya sangat besar.

Instrumen moneter lain yang sebenarnya dapat digunakan adalah giro wajib minimum/GWM (reserve requirement). Instrumen GWM lebih mengikat dibandingkan dengan instrumen moneter lainnya. GWM dapat saja digunakan untuk menetapkan batas minimum cadangan yang perlu disimpan. Kalau perlu, diterapkan GWM khusus untuk investor asing sehingga pergerakan hot-money tidak akan dapat masuk dan keluar dengan sangat cepat dan mengganggu perekonomian nasional.

Repatriation requirement atau menetapkan syarat-syarat bagi investor yang akan melakukan repatriasi investasinya, juga dapat diterapkan untuk menghambat laju repatriasi modal keluar. Negara-negara besar dan berkembang lainnya juga telah menetapkan syarat-syarat untuk proses repatriasi. Negara-negara berkembang lainnya pun bahkan telah lebih restriktif terhadap modal keluar dibandingkan tahun 1995 sebelum terjadi krisis finansial di Asia. Bahkan, di regional ASEAN, Filipina, Malaysia, dan Thailand lebih restriktif terhadap arus modal keluar.

Optimalisasi penggunaan instrumen moneter untuk mempertahankan nilai tukar memang akan mengorbankan pergerakan modal yang mudah masuk dan keluar. Akan tetapi penetapan hambatan modal keluar terkadang perlu dipikirkan kembali mengingat sering kali arus modal keluar menyebabkan berbagai persoalan di dalam negeri. Kekhawatiran masyarakat perlu juga mulai diredakan, #SaveRupiah adalah hal yang tidak kalah krusial dibanding gerakan #save ini itu yang akhir-akhir ini menggelora di sosial media.


*Artikel ini pernah dimuat di harian cetak KONTAN pada 12 Maret 2015


Komentar