Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Mengaktifkan Kembali Kebijakan Fiskal

Gambar
Pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan-III 2016 cukup mengecewakan bagi banyak pihak. Setelah berhasil melewati stagnansi pertumbuhan dibawah 5 persen sejak tahun lalu dan perlahan beranjak ke 5,2 persen (yoy) di triwulan-II 2016, pertumbuhan ekonomi justru turun ke level 5 persen (yoy). Padahal biasanya, menjelang akhir tahun, pertumbuhan ekonomi nasional cenderung naik. Rilis BPS terkait dengan pertumbuhan ekonomi di triwulan-III 2016 juga memberikan gambaran nyata tentang bagaimana dampak pengetatan anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pengeluaran Pemerintah (government spending) tumbuh minus 0,2 persen dari triwulan II ke triwulan III-2016. Dari komposisinya, pengeluaran Pemerintah pun hanya memberikan kontribusi -0,25 persen (yoy) terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,02 persen (yoy). Kondisi tersebut memperlihatkan adanya trade-off antara pemotongan anggaran dengan pertumbuhan ekonomi. Pemangkasan anggaran, memangkas p

Pemotongan Anggaran: Beberapa Pengalaman

Gambar
Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penghematan Anggaran Kementerian dan Lembaga pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016, melakukan pemotongan anggaran pada tahun anggaran 2016. Lebih lanjut, sesuai dengan Inpres tersebut. Penghematan anggaran dilakukan pada belanja operasional seperti biaya honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat, iklan, pemeliharaan gedung, peralatan serta pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan, sisa dana lelang dan/atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan atau yang tidak akan dilaksanakan hingga akhir tahun, serta kegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya. Namun demikian, pemotongan anggaran tidak selalu memberikan dampak yang positif, bahkan justru sebaliknya, terdapat sejumlah konsekuensi yang harus dipikul dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengalaman yang paling lampau ialah pengalaman kebijakan pemotongan anggaran oleh Presiden Amer

Maju Mundur Kebijakan Fiskal

Gambar
Di tengah ketidakpastian perekonomian dunia dan perekonomian nasional yang belum pulih seutuhnya, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 disusun lebih ekspansif. Total belanja Pemerintah di tahun depan ditaksir sebesar Rp 2.070,5 triliun, dengan total penerimaannya yang mencapai Rp 1.737,6 triliun. Adapun defisit anggaran didesain defisit sebesar Rp 332,8 triliun atau 2,41% dari PDB. Dengan memasang tema kebijakan fiskal "Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk Peningkatan Daya Saing dan Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Berkeadilan”, pengeluaran Pemerintah masih diharapkan dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di tahun depan. Namun demikian, daya dorong fiskal di tahun 2017, akan sangat bergantung pada perencanan dan kebijakan anggaran. Melihat pengelolaan fiskal hingga saat ini di tahun 2016, ada banyak pelajaran penting yang sangat perlu diambil hikmahnya. Yang pertama dan paling utama, ialah persoalan perencanaan anggaran.

Memotong Anggaran, Pangkas Pertumbuhan?

Gambar
Ada cerita menarik dari seorang kawan yang bekerja di suatu unit Pemerintahan. Kita katakanlah itu adalah unit A, yang memiliki anggaran sebesar Rp 8 miliar pada tahun ini. Pada awal tahun 2016, menuruti kemauan dari Presiden Joko Widodo untuk mengubah budaya fiskal yang biasanya menumpuk pengeluaran di akhir tahun anggaran, unit A tersebut mempercepat penyerapan belanjanya. Dari bulan Januari hingga Juni 2016, total sudah terserap sekitar Rp 4 miliar. Namun, pemotongan anggaran yang ada di dalam APBNP 2016 juga APBNP-Perubahan kedua 2016 yang sekarang sedang disusun, anggaran mereka dipotong hingga Rp 3,9 miliar. Alhasil, sejak bulan Agustus ini sampai dengan akhir tahun, hanya tinggal tersisa sekitar Rp 100 juta, untuk membiayai program-program yang ada di tahun ini. Yang tentu jauh dari kata cukup. Cerita ini, hampir pasti banyak terjadi diberbagai lembaga Pemerintahan. Kalau mau jujur, sepanjang tahun 2016 ini memang publik disuguhi oleh kebijakan fiskal, yang mohon maaf, cend

Pemotongan Anggaran

Gambar
PEMOTONGAN ANGGARAN Sepanjang tahun 2016 ini publik disuguhi oleh kebijakan fiskal, yang mohon maaf, cenderung ling lung (baca: memusingkan). Pada akhir tahun 2015 hingga awal tahun 2016, dalam rangka mempercepat penyerapan anggaran tahun 2016, proses lelang untuk berbagai proyek Pemerintah, terutama proyek infrastruktur 2016, dilakukan lebih awal. Harapannya, sejak triwulan pertama tahun 2016, proyek-proyek tersebut dapat segera berjalan. Tapi dipertengahan tahun, tenaga fiskal mulai kendor. Realisasi pendapatan pajak hingga bulan Agustus, baru mencapai 40% dari target penerimaan. Alhasil, kalau pada awal tahun Presiden menginstruksikan untuk mempercepat belanja, sekarang yang terjadi justru sebaliknya, harus ada penghematan belanja. Termasuk dengan memotong beberapa mata anggaran. Program pengampunan pajak, yang diharapkan mampu mendorong penerimaan negara, hingga saat ini, baru mampu mengajak 340 wajib pajak untuk ikut memanfaatkan program pengampunan pajak dengan tot

Masa Adaptasi Pengampunan Pajak

Gambar
Melalui harian ini pada tanggal 20 Mei 2016, atau satu bulan sebelum UU Pengampunan Pajak diterbitkan oleh DPR dan Pemerintah, artikel saya berjudul "Mitigasi Resiko Pengampunan Pajak" memberikan gambaran tentang persoalan-persoalan ekonomi yang akan muncul ketika UU Pengampunan Pajak diresmikan. Durasi pengampunan pajak yang relatif singkat, akan dapat menyebabkan terjadinya gejolak ( shock ) bagi perekonomian domestik.   Baik persoalan yang akan mungkin terjadi pada arus uang yang masuk, obligasi, kurs rupiah, struktur perbankan, dan lain sebagainya. Entah harus senang atau pun bersedih, ternyata satu per satu prediksi itu mulai nampak menjadi kenyataan. Penerbitan UU Pengampunan Pajak tanpa adanya persiapan yang matang pada implementasinya, menyebabkan beberapa persoalan baru muncul setelah UU tersebut diberlakukan. Salah satu contoh persoalan yang muncul setelah UU Pengampunan Pajak diterbitkan ialah persoalan bank penampung dana pengampunan pajak, yang sempat he

Harga Pangan & Ekspektasi Ramadan

Gambar
Dalam rapat kabinet beberapa pekan lalu, kita mendengar keinginan dan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan pangan selama bulan puasa dan Idul Fitri. Dan seperti juga semangatnya pada bulan ramadhan pertama di era kepemimpinannya, tahun ini Pemerintah kembali bertekad menjungkirbalikkan alias menurunkan harga pangan. Pertanyaannya kemudian, kalau rencana dan tekad Pemerintah ini betul-betul terwujud, akankah itu baik untuk masyarakat Indonesia? Sebelum menjawab lebih jauh, kita perlu ingat bahwa inflasi pada bulan ramadhan dalam beberapa tahun terakhir memang mengalami perubahan waktu. Pada 2008, bulan ramadhan jatuh pada September, kemudian pada tahun 2011 bulan ramadhan berada pada bulan Agustus, dan sejak tahun 2012 ada pada bulan Juli. Namun, meskipun waktu ramadhan dan lebaran silih berganti, tapi yang pasti sejak tahun 2008, inflasi pada bulan puasa tak pernah berada di bawah 0,7%. Bahkan kalau mau dilihat lebih detail

Mitigasi Resiko Pengampunan Pajak

Gambar
Dalam masa reses menjelang masa sidang kelima DPR RI yang akan dimulai pada tanggal 17 Mei besok, debat pro-kontra akan pembahasan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) justru semakin memanas. Termasuk juga meluasnya isu-isu nasionalisme yang rasanya tidak tepat digunakan dalam argumentasi membela pengampunan pajak. Seperti isu ‘permainan licik’ dari Singapura, IMF, Bank Dunia, dan lain sebagainya untuk memuluskan pengesahan RUU Pengampunan Pajak. Bukan cara bangsa yang berdaulat dan beradab, untuk menggunakan sentimen nasionalisme sebagai daya upaya memfitnah ataupun menjelek-jelekkan negara atau institusi lain. Pada satu sisi, kita bisa pahami dorongan Pemerintah untuk merealisasikan UU Pengampunan Pajak, terutama untuk membiayai target-target pembangunan yang bombastis dan menutup lemahnya realisasi penerimaan atas pajak selama triwulan pertama 2016. Walaupun, berdasarkan perhitungan penulis yang menggunakan indikator primary gap atau ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka p

Opsi Memperlebar Defisit Anggaran

Gambar
Lemahnya realisasi pendapatan pajak pada dua bulan pertama 2016 dibandingkan pendapatan pajak selama dua tahun terakhir membuat defisit anggaran diprediksi semakin melebar. Apalagi, beleid pengampunan pajak masih menggantung di DPR dan belanja Pemerintah dalam APBN 2016 lebih tinggi dibandingkan APBN sebelumnya. Kondisi ekonomi yang belum kondusif sepenuhnya, menjadi salah satu faktor mengapa realisasi pajak selama dua bulan pertama 2016 menurun. Apalagi, struktur pendapatan pajak masih sangat bergantung pada pendapatan pajak badan usaha. Di sisi lain, penurunan harga minyak dunia juga berpengaruh terhadap penerimaan APBN dari non-pajak. Sensitivitas penurunan USD 1 harga minyak dunia dapat mempengaruhi pendapatan negara hingga sebesar Rp 3,5 – 3,9 trilliun, dan belanja negara sebesar Rp 2,5 – 3,6 Trilliun. Bila diasumsikan harga minyak dunia berada pada USD 38 (sesuai dengan laporan terakhir dari Commodity Market Outlook ), maka penulis memperkirakan defisit fiskal dapat memb

Menyoal Kekuatan Fiskal

Gambar
Melalui harian ini pada tanggal 16 Juni 2016, artikel saya berjudul “Mewaspadai Defisit Anggaran” memprediksi bahwa ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pada APBNP 2015, akan mendorong terjadi pembengkakan defisit anggaran. Sayangnya, ramalan itu menjadi nyata. Defisit anggaran melebar menjadi Rp 318,5 triliun (2,80 persen terhadap PDB), sedangkan target di APBN-P 2015 hanya sebesar Rp 222,5 triliun (1,9 persen). Tahun ini, masalah yang sama kurang lebih akan terjadi. Apalagi, bila UU Pengampunan Pajak yang di ajukan oleh Pemerintah, tidak kunjung di sah-kan. Minimnya inovasi dalam melebarkan basis pajak, juga peningkatan target pajak di atas rata-rata kemampuan pengumpulan pajak, membuka ruang defisit semakin melebar. Selain itu, ancaman kekuatan fiskal juga terjadi karena asumsi harga minyak yang sudah menjadi tidak relevan. Asumsi harga minyak pada APBN 2016 ialah sebesar 50 dollar AS per barrel. Padahal, sekarang harga minyak dunia sudah berada di kisara

Mempertimbangkan Penyangga Fiskal

Gambar
Menggantungnya beleid pengampunan pajak di DPR, juga realisasi penerimaan pajak per Februari 2016 yang baru sekitar 9% dari target, nampaknya membuat ancaman defisit anggaran semakin terang benderang. Dalam APBN 2016, Pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp 1.822,5 triliun.  Sementara belanja negara di anggarkan sebesar Rp 2.095,7 triliun. Sehingga defisit diperkirakan sebesar Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen dari PDB. Tanpa memperhitungkan potensi penerimaan dari tax amnesty sekitar Rp 60 triliun-Rp 100 triliun, defisit APBN 2016 pasti akan melebar karena penerimaan pajak nonmigas tahun ini akan meleset dari target. Melihat ini semua, menjadi wajar apabila beberapa pihak yang menyadari akan besarnya potensi pelebaran defisit APBN, banyak dari mereka yang telah menyarankan Pemerintah untuk mengurangi belanja. Namun demikian, dalam kondisi makro ekonomi yang belum pulih sebelumnya, mengurangi anggaran belanja rasanya bukan jalan yang terbaik. Apalagi dengan performa s

Ketakutan akan MEA

Gambar
Beberapa hari terakhir saya mendapati tiga sampai empat tulisan yang sama dari berbagai grup Whatsapp. Tulisan yang tidak diketahui siapa penulis dan apa yang menjadi referensinya itu, kurang lebih menceritakan tentang adanya ratusan pebisnis asal Thailand yang mengikuti kursus bahasa Jawa, ribuan warga Filipina dan Vietnam yang mengikuti kursus bahasa Indonesia, ratusan konsultan keuangan asal Singapura yang sedang belajar budaya Bali, NTB, dsb. Entah tulisan itu hoax atau tidak, tetapi intinya, tulisan itu secara eksplisit mengatakan bahwa semua persiapan itu dilakukan oleh negara-negara ASEAN itu dilakukan untuk menguasai pasar Indonesia, pasar terbesar di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Studi dan survey yang kami lakukan untuk mengetahui persiapan negara-negara ASEAN menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) justru menunjukkan hasil yang berbeda. Memang ada negara yang secara sungguh-sungguh menunjukkan persiapan menghadapi MEA, seperti Thailand. Sebagai gambaran