Pemotongan Anggaran
PEMOTONGAN ANGGARAN
Sepanjang tahun 2016 ini publik
disuguhi oleh kebijakan fiskal, yang mohon maaf, cenderung ling lung (baca: memusingkan).
Pada akhir tahun 2015 hingga awal
tahun 2016, dalam rangka mempercepat penyerapan anggaran tahun 2016, proses
lelang untuk berbagai proyek Pemerintah, terutama proyek infrastruktur 2016,
dilakukan lebih awal. Harapannya, sejak triwulan pertama tahun 2016,
proyek-proyek tersebut dapat segera berjalan.
Tapi dipertengahan tahun, tenaga
fiskal mulai kendor. Realisasi pendapatan pajak hingga bulan Agustus, baru
mencapai 40% dari target penerimaan. Alhasil, kalau pada awal tahun Presiden
menginstruksikan untuk mempercepat belanja, sekarang yang terjadi justru
sebaliknya, harus ada penghematan belanja. Termasuk dengan memotong beberapa
mata anggaran.
Program pengampunan pajak, yang
diharapkan mampu mendorong penerimaan negara, hingga saat ini, baru mampu
mengajak 340 wajib pajak untuk ikut memanfaatkan program pengampunan pajak
dengan total harta yang dideklarasikan Rp3,6 triliun. Padahal, jika menggunakan
prediksi yang paling minimalis dari Bank Indonesia sebesar Rp 560 triliun,
realisasi penerimaan fiskal dari program pengampunan pajak selama satu bulan
terakhir, bisa dikatakan masih sangat sedikit. Dengan jangka waktu program
pengampunan pajak yang hanya sembilan bulan, dari bulan Juli 2016 sampai bulan
Maret 2017, maka untuk mampu menangkap total Rp 560 triliun, setiap harinya
otoritas pajak harus mampu menangkap Rp 2 triliun per hari!
Hal ini berbeda dengan kebijakan
menambal penerimaan negara di tahun lalu: kebijakan revaluasi aset, yang terbit
pada paket kebijakan V. Kebijakan revaluasi aset tidak lebih heboh dibandingkan
dengan program pengampunan pajak. Tetapi realisasi penerimaan pajak dari
revaluasi aset, malah dua kali lipat dibanding target awalnya, yang sebesar Rp
10 Triliun.
Di tengah kesulitan mencari
penerimaan negara, Pemerintah dengan cukup berani memangkas alokasi belanja
kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga dalam RAPBN 2017 direncanakan
sebesar Rp 758,4 triliun lebih rendah dibandingkan pagu APBN-P 2016 yang
sebesar Rp 767,8 triliun atau turun sebesar 1,24 persen.
Pemotongan anggaran ini
sebetulnya sangat disayangkan, apalagi mengingat sekarang pengeluaran
Pemerintah menjadi salah satu daya dorong penting dalam perekonomian. Datanya,
ekonomi triwulan-II 2016 tumbuh 5,1% (yoy) dan berdasarkan komposisinya,
pengeluaran pemerintah tumbuh sebesar 6,2% (yoy).
Apalagi, seperti teori dasar
makro ekonomi, memotong anggaran ketika kondisi makro ekonomi yang belum pulih
sebelumnya, berimplikasi pada melambatnya pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Contoh
terdekat terjadi di Eropa. Setelah krisis finansial tahun 2008, negara-negara
maju berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter-cyclical,
melalui belanja yang ekspansif. Tapi
pada pertengahan tahun 2010, dengan cepat mereka mengubah haluan menjadi
pengetatan kebijakan fiskal (austerity).
Alhasil, karena ekonomi belum sepenuhnya membaik, sekarang pengetatan fiskal
justru membuat permintaan swasta dan pertumbuhan ekonominya menjadi jauh lebih
rendah dari masa sebelum krisis terjadi.
Memang sepintas, langkah
pragmatis pemotongan anggaran bisa diterima secara logis, karena realisasi
defisit anggaran hingga bulan Agustus 2016 telah mencapai mencapai 88,5 persen
dari target Rp296,7 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB. Apalagi, dari
perspektif regulasi keuangan negara, rasio defisit terhadap PDB tidak boleh
melebihi 3 persen.
Namun demikian, kedua indikator
tersebut saja sebenarnya belum cukup untuk menilai kondisi keuangan negara
berada pada kondisi yang mengkhawatirkan atau tidak.
Indikator rasio defisit terhadap
PDB tidak memantulkan informasi yang lengkap dan menimbulkan pengertian yang misleading, dan menganggap bila rasio
defisit terhadap PDB sudah mendekati 3%, maka negara tersebut berada di ujung
kebangkrutan.
Defisit anggaran, dalam UU
Keuangan Negara, didefinisikan sebagai total pendapatan dikurangi dengan
penerimaan. Sayangnya, pengertian tradisional ini membuat kita tidak bisa
melihat usaha kebijakan fiskal untuk mengurangi beban utang negara yang
dilakukan setiap tahun.
Sebagai gambaran, bila tingkat
bunga nomimal pada utang Pemerintah tidak lebih besar dibanding pertumbuhan
nominal PDB, maka surplus primer akan menyatakan secara tidak langsung bahwa share utang Pemerintah terhadap PDB akan
turun. Padahal yang terjadi bisa saja sebaliknya: utang Pemerintah justru
bertambah.
Salah satu indikator yang bisa
digunakan ialah indikator ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek (primary gap) . Indikator ini
memperhitungkan berapa suku bunga riil, pertumbuhan ekonomi riil, jumlah utang
baru, juga keseimbangan primer pada anggaran fiskal (Blanchard, 1990; Horne
1991). Berdasarkan perhitungan penulis ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka
pendek masih berada pada zona aman. Artinya, masih terdapat ruang fiskal untuk
meningkatkan belanja tanpa memperburuk ketahanan fiskal.
Selain itu, pemotongan anggaran
pun bisa dikatakan sebagai pertaruhan kredibilitas Pemerintah. Kredibilitas
Pemerintah bukan hanya dilihat dari seberapa besar realisasi defisit anggaran
dibandingkan dengan peraturan yang berlaku. Tetapi juga apakah pilihan
kebijakan untuk pemotongan anggaran, tidak akan menganggu program-program
prioritas Pemerintah dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Akhir kata, penulis sangat
berharap, pemotongan anggaran ini bukan menjadi bagian dari kebijakan lepas
tangan (hands-off), dimana Pemerintah
hanya mengharapkan sektor usaha untuk berjuang sendiri di tengah kesulitan
ekonomi dan mengorbankan target-target pembangunan yang telah dijanjikan
sebelumnya.
Artikel ini pernah di publikasikan di harian Koran Jakarta pada 22 Agustus 2016 dan dapat juga dibaca pada link berikut http://www.koran-jakarta.com/pemotongan-anggaran/
Komentar