Mitigasi Resiko Pengampunan Pajak
Dalam masa reses menjelang masa
sidang kelima DPR RI yang akan dimulai pada tanggal 17 Mei besok, debat
pro-kontra akan pembahasan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) justru semakin
memanas. Termasuk juga meluasnya isu-isu nasionalisme yang rasanya tidak tepat
digunakan dalam argumentasi membela pengampunan pajak. Seperti isu ‘permainan
licik’ dari Singapura, IMF, Bank Dunia, dan lain sebagainya untuk memuluskan
pengesahan RUU Pengampunan Pajak. Bukan cara bangsa yang berdaulat dan beradab,
untuk menggunakan sentimen nasionalisme sebagai daya upaya memfitnah ataupun
menjelek-jelekkan negara atau institusi lain.
Pada satu sisi, kita bisa pahami
dorongan Pemerintah untuk merealisasikan UU Pengampunan Pajak, terutama untuk
membiayai target-target pembangunan yang bombastis dan menutup lemahnya realisasi
penerimaan atas pajak selama triwulan pertama 2016.
Walaupun, berdasarkan perhitungan
penulis yang menggunakan indikator primary
gap atau ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek (Blanchard, 1990;
Horne 1991), ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek masih berada pada
zona aman. Artinya, meskipun kebijakan fiskal tahun ini tidak berubah dengan
kebijakan fiskal di tahun 2015, masih terdapat ruang fiskal untuk meningkatkan
belanja tanpa memperburuk ketahanan fiskal. Atau dengan kata lain, ada atau
tidaknya pengampunan pajak tahun ini, keadaaan fiskal tidak akan jauh lebih
buruk.
Sayangnya, melihat berbagai
pernyataan politik yang dilempar oleh pimpinan DPR RI dan juga kondisi politik
yang ‘tersandera isu reshuffle’, rasanya kalau tidak ada aral melintang, RUU
Pengampunan Pajak dapat di pastikan akan di sahkan pada tahun ini.
Meskipun begitu, belajar dari
Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) yang juga disahkan pada
awal tahun ini, saya memandang substansi UU yang disahkan nantinya, akan dapat
berbeda dengan draft usulan UU sebelumnya. Artinya masih terbuka lebar ruang
diskusi, terutama untuk isu-isu yang di anggap sensitif. Termasuk juga
mempertimbangkan langkah-langkah untuk memitigasi resiko yang akan muncul
ketika RUU Pengampunan Pajak disahkan. Adapun beberapa resiko tersebut ialah:
Pertama, durasi pengampunan pajak
yang relatif singkat, juga besarnya dana masuk dari hasil pengampunan pajak,
akan dapat menyebabkan terjadinya gejolak (shock)
bagi perekonomian domestik.
Sebagai gambaran, karena kondisi
perekonomian yang belum pulih sepenuhnya dan permintaan agregat yang masih
rendah, aliran uang tax amnesty yang
masuk ke sektor perbankan justru menekan likuditas perbankan. Sehingga, dengan
kondisi ekonomi dan bisnis yang belum kondusif sepenuhnya, tekanan ini secara
tidak langsung mendorong sektor perbankan untuk ‘menghamburkan’ penyaluraan
kredit, termasuk juga ke sektor-sektor yang belum prospektif.
Kedua, capital inflow dari implementasi pengampunan pajak akan membuat
nilai tukar rupiah menguat begitu cepat, yang kemudian membuat produk Indonesia
relatif menjadi lebih mahal di pasar internasional, dan mengakibatkan ekspor
turun. Di sisi lain, penguatan nilai tukar rupiah juga akan membuat produk luar
negeri relatif menjadi lebih murah sehingga menyebabkan impor naik. Penurunan
ekspor dan peningkatan impor kemudian akan menekan neraca perdagangan.
Ketiga, masuknya aliran dana tax
amnesty ke pasar obligasi juga tidak serta-merta membawa berkah. Struktur pasar
obligasi Indonesia masih dikuasai oleh obligasi Pemerintah. Karena selain dari
faktor keamanan (risiko yang lebih rendah), imbal hasil yang ditawarkan oleh
obligasi Pemerintah juga masih kompetitif di Kawasan Asia. Tapi obligasi
Pemerintah juga belum tentu dapat menampung seluruh aliran dana yang masuk
akibat adanya kebijakan pengampunan pajak. Penerbitan obligasi Pemerintah pun
bukan perkara mudah, karena harus melewati mekanisme APBN Perubahan dan
jumlahnya pun terbatas. Disisi lain, belum ada tanda-tanda juga bahwa sektor
swasta hari ini tengah bersiap-siap menerbitkan obligasi, untuk menampung
aliran uang.
Selain itu, Pemerintah juga perlu
memikirkan bilamana uang tax amnesty
mengalir ke obligasi Pemerintah, maka beban biaya bunga dari investasi tersebut
tidak membebani APBN di masa mendatang, tapi justru memperkuat dan memperdalam
pasar obligasi Indonesia.
Keempat, derasnya uang masuk akan
mengakibatkan jumlah uang beredar di dalam negeri meningkat. Hal ini kemudian
berdampak naiknya tingkat inflasi. Untuk mencapai keseimbangan pada pasar uang,
bank sentral kemudian akan ‘tersandera’ untuk menaikkan suku bunga. Atau dengan
kata lain, capital inflow dari
pengampunan pajak akan membawa resiko naiknya tingkat inflasi dan suku bunga.
Terakhir, masih dalam pasar uang,
uang beradar inti di masyarakat (Mo) dan uang beredar di perbankan (M1)
cenderung tumbuh stagnan, sedangkan uang berdedar dalam artian luas (M1 dan
pasar keuangan), tumbuh lebih agresif dalam satu dekade terakhir. Masalahnya,
karena daya tarik pasar keuangan lebih menarik dibandingkan dengan sektor riil,
aliran dana yang masuk ke pasar uang dapat membuat bubble pada pasar keuangan,
yang kemudian justru membawa resiko yang lebih besar di masa mendatang.
Dan seperti yang sudah banyak
ditulis dan diberitakan, implementasi pengampunan pajak diberbagai negara
biasanya akan membawa transisi ke era pajak baru, yang juga secara tidak
langsung membawa tantangan baru. Oleh karena itu, sebelum rancangan pengampunan
pajak benar-benar disahkan, alangkah lebih bijak bila kita selalu sedia payung
sebelum hujan. Meskipun kita tidak tahu pasti, hujan itu adalah hujan uang yang
menghasilkan berkah atau hujan batu yang membawa sengsara.
Artikel ini pernah di publikasikan di KONTAN pada 20 Mei 2016 atau dapat dilihat di http://analisis.kontan.co.id/news/mitigasi-risiko-pengampunan-pajak
Komentar