Memotong Anggaran, Pangkas Pertumbuhan?

Ada cerita menarik dari seorang kawan yang bekerja di suatu unit Pemerintahan. Kita katakanlah itu adalah unit A, yang memiliki anggaran sebesar Rp 8 miliar pada tahun ini. Pada awal tahun 2016, menuruti kemauan dari Presiden Joko Widodo untuk mengubah budaya fiskal yang biasanya menumpuk pengeluaran di akhir tahun anggaran, unit A tersebut mempercepat penyerapan belanjanya. Dari bulan Januari hingga Juni 2016, total sudah terserap sekitar Rp 4 miliar. Namun, pemotongan anggaran yang ada di dalam APBNP 2016 juga APBNP-Perubahan kedua 2016 yang sekarang sedang disusun, anggaran mereka dipotong hingga Rp 3,9 miliar. Alhasil, sejak bulan Agustus ini sampai dengan akhir tahun, hanya tinggal tersisa sekitar Rp 100 juta, untuk membiayai program-program yang ada di tahun ini. Yang tentu jauh dari kata cukup.

Cerita ini, hampir pasti banyak terjadi diberbagai lembaga Pemerintahan. Kalau mau jujur, sepanjang tahun 2016 ini memang publik disuguhi oleh kebijakan fiskal, yang mohon maaf, cenderung ling lung (baca: memusingkan).

Pada akhir tahun 2015 hingga awal tahun 2016, dalam rangka mempercepat penyerapan anggaran tahun 2016, proses lelang untuk berbagai proyek Pemerintah, terutama proyek infrastruktur 2016, dilakukan lebih awal. Harapannya, sejak triwulan pertama tahun 2016, proyek-proyek tersebut dapat segera berjalan.

Tapi dipertengahan tahun, tenaga fiskal mulai kendor. Realisasi pendapatan pajak hingga bulan Agustus, tidak semulus target penerimaannya. Alhasil, kalau pada awal tahun Presiden menginstruksikan untuk mempercepat belanja, sekarang yang terjadi justru sebaliknya, harus ada penghematan belanja. Termasuk dengan memotong beberapa mata anggaran. Implikasinya, seperti cerita dari unit A, beberapa program Pemerintah justru menjadi mandek.

Kondisi ini sebetulnya telah terlihat sejak bulan-bulan pertama tahun 2016. Dalam artikel saya berjudul “Opsi Memperlebar Defisit Anggaran” di harian ini pada 30 Maret 2016, penulis mengutarakan bahwa kondisi fiskal tahun 2016 akan sangat terancam oleh persoalan penerimaan pajak, penurunan harga minyak, juga besarnya belanja Pemerintah. Saat itu, saya mengusulkan bahwa perlu adanya pelebaran defisit anggaran, bahkan kalau perlu melewati batasan 3% dari PDB. Apalagi, dengan menggunakan indikator ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek (primary gap), yang dikembangkan oleh Olivier Blanchard (1990) dan Jocelyn Horne (1991), penulis melihat bahwa ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek masih berada pada zona aman. Artinya, masih terdapat ruang fiskal untuk meningkatkan belanja tanpa memperburuk ketahanan fiskal.

Akan tetapi sayangnya opsi ini tidak dimaksimalkan. Dalam pembahasan APBNP 2016, Pemerintah dan DPR justru bersikukuh untuk mempertahankan level defisit anggaran. Termasuk juga dengan melakukan pemotongan anggaran.

Saat ini pun, bisa dikatakan bahwa mengeluarkan Perpu untuk mendorong pelebaran defisit pun sudah terlambat. Berbeda bila dikeluarkan pada awal tahun, penerbitan Perpu untuk memberi kelonggaran defisit anggaran terhadap PDB justru memberikan contoh ketidakdisiplinan fiskal dan memicu terjadinya moral hazard.

Dilemanya, sekarang ini pengeluaran Pemerintah menjadi salah satu pendorong penting dalam perekonomian. Datanya, ekonomi triwulan-II 2016 tumbuh 5,1% (yoy) dan berdasarkan komposisinya, pengeluaran pemerintah tumbuh sebesar 6,2% (yoy).

Apalagi, seperti teori dasar makro ekonomi, memotong anggaran ketika kondisi makro ekonomi yang belum pulih sebelumnya, berimplikasi pada melambatnya pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Contoh terdekat terjadi di Eropa. Setelah krisis finansial tahun 2008, negara-negara maju berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter-cyclical, melalui belanja yang ekspansif. Tapi pada pertengahan tahun 2010, dengan cepat mereka mengubah haluan menjadi pengetatan kebijakan fiskal (austerity). Alhasil, karena ekonomi belum sepenuhnya membaik, sekarang pengetatan fiskal justru membuat permintaan swasta dan pertumbuhan ekonominya menjadi jauh lebih rendah dari masa sebelum krisis terjadi.

Selain itu, dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh David Alan Aschauer (1989), yang memfokuskan dampak belanja pemerintah terhadap produktivitas sektor swasta, hasil analisa dari tahun 1984 hingga 2014, menunjukkan belanja modal Pemerintah Indonesia secara signifikan meningkatkan produktivitas sektor swasta. Yang artinya juga belanja Pemerintah Indonesia membantu pertumbuhan ekonomi. Mirip seperti hasil studi dari William Easterly dan Sergio Rebelo (1993), Ross Levine dan Sara Zervos (1993), yang menunjukkan hubungan positif antara belanja pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.


Tentunya kita sama-sama berharap bahwa pemotongan anggaran yang terjadi sekarang tidak benar-benar mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Apalagi, menjadikan pemotongan anggaran kali ini sebagai bagian dari kebijakan Pemerintah yang hands-off (lepas tangan) terhadap realitas ekonomi. 



Artikel ini pernah di publikasikan di  harian KONTAN pada 25 Agustus 2016 dan dapat juga dibaca pada link berikut http://analisis.kontan.co.id/news/memotong-anggaran-pangkas-pertumbuhan 

Komentar