Opsi Memperlebar Defisit Anggaran
Lemahnya realisasi pendapatan
pajak pada dua bulan pertama 2016 dibandingkan pendapatan pajak selama dua
tahun terakhir membuat defisit anggaran diprediksi semakin melebar. Apalagi,
beleid pengampunan pajak masih menggantung di DPR dan belanja Pemerintah dalam
APBN 2016 lebih tinggi dibandingkan APBN sebelumnya.
Kondisi ekonomi yang belum
kondusif sepenuhnya, menjadi salah satu faktor mengapa realisasi pajak selama
dua bulan pertama 2016 menurun. Apalagi, struktur pendapatan pajak masih sangat
bergantung pada pendapatan pajak badan usaha.
Di sisi lain, penurunan harga
minyak dunia juga berpengaruh terhadap penerimaan APBN dari non-pajak.
Sensitivitas penurunan USD 1 harga minyak dunia dapat mempengaruhi pendapatan negara
hingga sebesar Rp 3,5 – 3,9 trilliun, dan belanja negara sebesar Rp 2,5 – 3,6
Trilliun. Bila diasumsikan harga minyak dunia berada pada USD 38 (sesuai dengan
laporan terakhir dari Commodity Market Outlook ), maka penulis memperkirakan
defisit fiskal dapat membengkak menjadi Rp 276,8 - 285,2 Trilliun dari semula
sebesar Rp 273,2 Trilliun.
Laporan terakhir dari World Bank dan
IMF terakhir juga memprediksi melebarnya defisit anggaran pemerintah Indonesia.
World Bank memprediksi bahwa defisit anggaran pada tahun 2016 akan mencapai
2,8% dari PDB. Untuk itu, World Bank menyarankan Pemerintah Indonesia untuk
menjaga defisit di bawah 3% dari PDB dan mengurangi belanja Pemerintah yang
tidak prioritas (yang tidak berhubungan dengan belanja infrastruktur).
Sementara itu, IMF yang juga
memprediksi defisit anggaran akan mencapai 2,8% dari PDB (baseline). Namun demikian, IMF juga menuturkan dalam laporannya
bahwa bila Indonesia mampu melakukan reformasi, maka defisit anggaran dapat
hanya mencapai 2,5% dari PDB. Reformasi yang dimaksud oleh IMF ialah
meningkatkan pendapatan negara dari cukai, meminimalkan pengeluaran yang bukan
prioritas, juga mengurangi resiko sumber penerimaan dari pasar finansial.
Meskipun demikian, pelebaran
defisit anggaran sebenarnya dapat menjadi salah satu opsi dalam RAPBNP 2016.
Apalagi, ditengah kelesuan ekonomi, belanja Pemerintah pada tahun lalu justru
menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru.
Di tahun ini, meskipun Bank
Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan dalam tiga bulan pertama tahun
2016, tetapi rasanya masih sulit mengharapkan sektor swasta untuk bangkit
secepatnya, dan memutar kembali roda ekonomi.
Masalahnya, banyak pihak
menganggap bahwa pelebaran defisit anggaran berarti menjadi pertanda bahwa
kondisi ekonomi berada pada lingkungan yang buruk. Bahkan beberapa pihak
menyebut bahwa Indonesia berada di ujung kebangkrutan karena defisit anggaran
meningkat hingga 2,5% dari PDB pada tahun 2015. Padahal tidak seperti itu juga.
Secara teoritis, defisit anggaran
Pemerintah dapat mencetak uang di masa mendatang (Keen, 2001). Salah satu
caranya ialah defisit anggaran di peruntukkan untuk mendorong aktivitas
ekonomi. Dan karena hari ini defisit anggaran masih dilakukan untuk membangun
infrastruktur dan aktivitas ekonomi, maka defisit anggaran secara tidak
langsung dilakukan untuk menggali pendapatan potensial pajak di masa depan,
ketika infrastruktur itu sudah bisa beroperasi. Sehingga secara normatif,
defisit anggaran hari ini bisa ditutup dari pendapatan pajak di masa mendatang.
Yang jadi persoalan ialah, apakah
pelebaran defisit dapat dibiayai tanpa merusak keberlangsungan fiskal di masa
mendatang.
Secara legal, berdasarkan UU
Keuangan Negara, ketahanan fiskal dilihat dari rasio defisit terhadap PDB,
dimana defisit anggaran tidak boleh melebihi 3% PDB. Rasio defisit anggaran ini
mengacu pada Maastricht Treaty, yang
merupakan Undang-Undang Dasar (UUD) Uni Eropa, yang juga telah menjadi rujukan
bagi dunia internasional.
Sayangnya, indikator rasio
defisit terhadap PDB tidak memantulkan informasi yang lengkap dan menimbulkan
pengertian yang misleading, dan
menganggap bila rasio defisit terhadap PDB sudah mendekati 3%, maka negara
tersebut berada di ujung kebangkrutan.
Defisit anggaran, dalam Maastricht Treaty dan UU Keungan Negara,
didefinisikan sebagai total pendapatan dikurangi dengan penerimaan. Sayangnya,
pengertian tradisional ini membuat kita tidak bisa melihat usaha kebijakan
fiskal untuk mengurangi beban utang negara yang dilakukan setiap tahun.
Sebagai gambaran, bila tingkat
bunga nomimal pada utang Pemerintah tidak lebih besar dibanding pertumbuhan
nominal PDB, maka surplus primer akan menyatakan secara tidak langsung bahwa share utang Pemerintah terhadap PDB akan
turun. Padahal yang terjadi bisa saja sebaliknya: utang Pemerintah justru
bertambah.
Salah satu indikator yang bisa
digunakan ialah indikator ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek (primary gap) . Indikator ini
memperhitungkan berapa suku bunga riil, pertumbuhan ekonomi riil, jumlah utang
baru, juga keseimbangan primer pada anggaran fiskal (Blanchard, 1990; Horne
1991).
Berdasarkan perhitungan penulis
ketahanan fiskal Indonesia dalam jangka pendek masih berada pada zona aman.
Artinya, masih terdapat ruang fiskal untuk meningkatkan belanja tanpa
memperburuk ketahanan fiskal.
Oleh karena itu, titik tolak
pembahasan RAPBN 2016 antara Pemerintah dan DPR memegang peranan penting dalam
kelangsungan ekonomi tahun ini. Apabila Pemerintah dan DPR bersikukuh dan tidak
memberikan ruang kelonggaran akan defisit fiskal, sangat sulit mengharapkan
instrumen fiskal sebagai upaya counter-cyclical
mendorong perbaikan ekonomi.
Artikel ini pernah di publikasikan di KONTAN pada 30 Maret 2016 atau dapat dilihat di http://analisis.kontan.co.id/news/opsi-memperlebar-defisit-anggaran
Komentar