Restrukturisasi Dana Bansos

Situasi ekonomi dewasa ini semakin tidak bersahabat dengan masyarakat wong cilik. Laporan BPS menyebutkan bahwa jumlah orang miskin pada bulan Maret 2015 bertambah 800 ribu orang bila dibandingkan September 2014. Sehingga masih terdapat 28,5 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun ini.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa standar garis kemiskinan yang diterapkan di Indonesia masih sangat minimalis. Hanya sebesar Rp 330.776/kapita/bulan (rata-rata nasional). Dalam catatan kami, dari tahun 2006 sampai 2014, bila standar garis kemiskinannya di lipat gandakan dua kali lipat maka jumlah orang miskin di Indonesia bisa meningkat hingga lima kali lipat. Sebagai contoh, pada tahun 2014, jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan sebanyak 28 juta jiwa, tapi bila standar garis kemiskinannya di naikkan dua kali lipat maka jumlah orang miskin di Indonesia dapat mencapai 141 juta jiwa.

Betul bahwa terjadi perbaikan dalam statistik BPS. Pada bulan Maret 2015 misalnya, jumlah sampel pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencapai 300 ribu rumah tangga. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah sampel pada Susenas tidak pernah lebih dari 280 ribu rumah tangga (Susenas Core). Akan tetapi penggunaan konsep kebutuhan dasar dengan standar yang rendah menyebabkan terjadinya kerancuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Sebagai contoh, dengan pemahaman jumlah orang miskin sebesar 28 juta jiwa, tapi dibutuhkan target dua hingga tiga kali lipatnya untuk program-program bantuan sosial (bansos).

Bila mengikuti standar kemiskinan World Bank, maka orang dapat dikatakan miskin bila hidup kurang dari US$ 2 per hari. Secara teknis, standar dari World Bank memang bisa dijadikan acuan perbandingan antar negara. Tetapi mengingat terjadi perbedaan inflasi dan daya beli masyarakat, di perlukan kehati-hatian dalam menggunakan standar ini. Sebagai gambaran, per 1 dollar Amerika Serikat dapat dibelanjakan untuk jumlah barang yang berbeda di Amerika Serikat ataupun di Indonesia. US$ 1 di Indonesia cukup untuk membeli satu gantungan kunci, tapi belum tentu US$ 1 di Amerika Serikat cukup untuk membeli satu barang yang sama.

Namun demikian, standar dari World Bank dapat memberikan gambaran bahwa jumlah orang miskin masih sangat besar di Indonesia. Pada tahun 2014 saja jumlahnya mencapai 43% dari populasi. Artinya 2 dari 5 orang Indonesia adalah orang yang hidup dibawah kemiskinan.

Menariknya, ditengah kondisi ekonomi yang semakin mencekik masyarakat miskin dan hampir miskin, RAPBN 2016 yang di susun oleh Pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla justru memilih untuk melakukan effisiensi dalam alokasi dana bansos. Sehingga alokasi dana bansos pada tahun 2016 akan dilakukan lebih spesifik seperti untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Padahal, berdasarkan UU No.11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, seharusnya dana bansos dimaksudkan agar masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentetanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.

Memang perlu di akui bahwa dalam implementasinya, dana bansos malah dibelanjakan dalam bentuk barang dan uang justru sering kali tidak sesuai dengan cita-cita mulianya.  Seperti misalnya, dana bansos yang di alokasikan untuk membeli perlengkapan tenis meja maupun pot tanaman yang sangat tidak jelas maksud dan penggunaannya dalam melindungi masyarakat dari resiko sosial. Bahkan tidak jarang pula ditemukan dana bansos yang digunakan untuk membiayai pemilu kepala daerah.

Tapi diluar berbagai buruknya penyalahgunaan dana bansos, sebenarnya juga terdapat beberapa program sosial yang bisa dikatakan berhasil membantu masyarakat yang mengalami persoalan sosial. Seperti program pemberian dana bantuan modal awal bagi calon wirausaha baru, revitalisasi pasar tradisional, tempat praktik keterampilan usaha, maupun penyediaan fasilitas perumahan dengan cicilan rendah maupun sanitasi lingkungan.

Mencari tikus tidak perlu membakar seluruh sawah. Cukup dengan cerdas menangkap menutup lubang-lubang pintu masuk dari para tikus. Dalam kaitannya pada dana bansos, langkah Pemerintah dalam mengeffisienkan dana bansos justru terlihat dilakukan dengan cara yang juga sangat effisien. Yakni dengan hanya menjadikan Kementrian Sosial sebagai corong utama dana bansos dan menghapus program-program bansos di berbagai Kementrian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah. Termasuk, program-program yang yang bahkan pernah sukses dilakukan oleh K/L lain dan Pemda. Cara ini memang effisien (mudah) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, tapi akan sulit diterima oleh masyarakat. Terutama di masa sulit seperti sekarang.

Saran penulis, Bappenas yang telah meningkat perannya sekarang dalam menyetujui program Pemerintah, maupun Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebaiknya segera mengambil langkah untuk restrukturisasi dana bansos. Terutama meninjau kembali program-program bansos yang pernah sukses dilakukan oleh K/L lain dan Pemda dalam memberdayakan masyarakat wong cilik.

Kalau Pemerintah berani menetapkan kekebalan hukum untuk tidak menkriminalisasi kebijakan dan mempercepat realisasi penyerapan anggaran, mengapa justru tidak juga berani mendesak perbaikan implementasi bansos yang dilakukan oleh K/L lain dan Pemda untuk menyelamatkan masyarakat miskin yang turut mengalami perlambatan ekonomi?


Apalagi Kabinet Kerja telah menunjukkan kemajuan dari adanya indikator kesejahteraan dan target pembangunan yang kini terpampang dalam APBN. Tanpa adanya konsolidasi kebijakan, alokasi anggaran maupun indikator APBN justru menjadi sia-sia. 


Artikel ini pernah di muat di harian KONTAN pada 18 September 2015

Komentar