Mencermati Pembiayaan Infrastruktur
Ditengah
perlambatan ekonomi, publik semakin berharap pembangunan infrastruktur yang
dijanjikan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo dapat segera terlaksana.
Setidaknya ada harapan ketika terhitung sudah 22 proyek infrastruktur yang
telah melakukan groundbreaking (peletakan batu pertama) dari awal Januari 2015
hingga sekarang. Namun demikian, pertimbangan kebutuhan pembiayaan menjadi
konsen utama dan batasan dalam pembiayaan infrastruktur.
Di awal
kepemimpinan Presiden Jokowi, rencana pembangunan infrastruktur dalam RPJMN
2014-2019 disusun sangat optimis. Melalui perhitungan dari Bappenas (2014),
diperkirakan pembangunan infrastruktur dari tahun 2014-2019 akan membutuhkan
dibutuhkan Rp 5,519.4 trilliun. Sedangkan Kementrian Keuangan, melalui Badan
Kebijakan Fiskal (2015) memperkirakan dibutuhkan sekitar Rp 5,619 trilliun
untuk pembangunan infrastruktur.
Dari estimasi biaya
tersebut, porsi pembiayaan Pemerintah dari APBN yang di patok cukup besar,
hingga 40% (Rp 2.216 trilliun) dari total biaya keseluruhan. Baik pengamat
maupun masyarakat secara umum pun awalnya seperti tersihir, meyakini bahwa
pembangunan infrastruktur akan dapat berjalan dengan baik. Terutama karena
adanya political will dari Pemerintah untuk mengalokasikan belanja
infrastruktur yang lebih besar. Apalagi bila dibandingkan dengan rencana
pembangunan serupa di masa lalu. MP3EI misalnya, yang hanya mematok porsi
pembiayaan infrastruktur dari APBN sebesar 15,6%.
Sayangnya ada
kesenjangan antara rencana yang di susun optimistik dan realita yang justru
semakin menimbulkan pesimistik. Pertama, meskipun terjadi peningkatan alokasi
anggaran infrastruktur dalam APBN, namun sayangnya jumlah tersebut masih belum
cukup memadai bila dibandingkan dengan estimasi kebutuhan.
Anggaran
infrastruktur pada APBNP 2015 di alokasikan sebesar Rp 290,3 Trilliun, bahkan
akan kembali naik menjadi Rp 313,5 Trilliun pada RAPBN 2016 yang sekarang
sedang dibahas bersama dengan anggota dewan. Tapi untuk memenuhi estimasi porsi
pembiayaan infrastruktur dari porsi APBN, maka minimal setiap tahunnya di perlukan
Rp 443 trilliun untuk anggaran infrastruktur. Bila alokasi anggaran
infrastruktur hanya naik sekitar Rp 20 trilliun setiap tahun, maka alokasi
anggaran infrastruktur pada APBN hingga tahun 2019 hanya dapat mencapai Rp 1.683,5 Trilliun.
Atau kurang Rp 532 trilliun dari yang di rencanakan.
Apalagi, instrumen
keuangan negara yang sangat dangkal juga menjadi persoalan tersendiri dalam
pembiayaan infrastruktur dari APBN. Selain itu, masih ada persoalan kelambanan
dan keengganan Pemerintah dalam menyerap anggaran seperti yang terjadi dewasa
ini. Meskipun Pemerintah telah menjamin tidak adanya pelanggaran hukum atas
kebijakan maupun penyerapan anggaran, sayangnya kapasitas kelembagaan masih
tidak cukup kuat untuk melawan praktik premanisme yang menjangkit dalam
proyek-proyek Pemerintah.
Kedua, untuk
mengandalkan kemampuan swasta maupun BUMN dalam mengadakan infrastruktur, maka
di perlukan mobilisasi pembiayaan jangka panjang. Dalam hal ini, Pemerintah,
melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) sebenarnya telah memiliki
kinerja yang sangat baik.
Hingga bulan juli
2015, PT. SMI telah membiayai proyek infrastruktur hingga Rp 65 trilliun.
Jumlah ini delapan kali lipat bila dibandingkan nilai komitmen pembiayaan PT.
SMI yang hanya sebesar Rp 7,4 trilliun dan enam kali lipat bila dibandingkan
jumlah aset PT. SMI sebesar Rp 10 trilliun. Dimana jumlah aset tersebut belum
termasuk Rp 18 trilliun modal dari alokasi aset PT. PIP dan Rp 2 Trilliun
tambahan modal dari Pemberian Modal Negara (PMN) yang diberikan dari APBN 2014.
Bahkan, pada tahun 2016, juga direncanakan PT. SMI juga akan kembali
mendapatkan PMN sebesar Rp 3 trilliun.
Dengan kemampuan
PT. SMI memberikan efek pengganda pembiayaan proyek hingga enam hingga delapan
kali lipat dan asumsi bahwa penyertaan modal negara akan konsisten diberikan
hingga akhir tahun 2019 (diperkirakan sebesar Rp 2-3 trilliun setiap tahun),
maka pada tahun 2019, PT. SMI akan mampu membiayai proyek infrastruktur hingga
Rp 250 trilliun.
Sayangnya, meskipun
berkinerja dengan sangat baik, jumlah tersebut baru 10% dari estimasi kebutuhan
infrastruktur yang dibiayai oleh BUMN dan Swasta. Artinya, untuk mampu
memaksimalkan kemampuan PT. SMI sebagai katalis pembiayaan infrastruktur untuk
BUMN dan Swasta, maka Pemerintah perlu memberikan dukungan kapasitas pembiayaan
yang jauh lebih besar lagi dibandingkan dengan yang sudah diberikan APBN 2014
dan APBNP 2015. Atau, perlu adanya aturan hukum yang tepat untuk memberikan
fleksibilitas bagi PT. SMI dalam menangkap sumber pendanaan jangka panjang
seperti dana tabungan pensiun atau dana haji.
Ketiga, meskipun
Presiden Jokowi sudah sangat agresif mempromosikan peluang pembangunan
infrastruktur diberbagai kesempatan, usaha tersebut tidak diikuti dengan
realisasi pembangunan. Berdasarkan data BKPM, peningkatan lisensi prinsip
investasi infrastruktur (rencana) tidak diikuti dengan realisasi investasi
dibidang infrastruktur.
Lisensi prinsip
investasi infrastruktur meningkat pesat dari US$ 5 Trilliun pada semester-I
2014 menjadi US$ 24,8 Trilliun pada semester-I 2015. Sayangnya, bila pada
semester-I 2014 realisasi investasinya menjadi 93% dari rencana investasinya,
pada semester-I 2015 realisasi investasinya hanya sebesar 19% atau US$ 4,82
trilliun dari rencana investasinya.
Persoalannya tentu
bukan cuma sekedar prosedur investasi maupun regulasi skema kerjasama
Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam pembangunan infrastruktur. Karena Pemerintah
sebenarnya telah dengan sangat baik berupaya mempersingkat prosedur perizinan
investasi dan memberikan kepastian skema
KPS melalui Peraturan Presiden No.38/2015.
Tapi yang lebih
penting juga ialah bagaimana memberikan kepastian hukum dari investasi
infrastruktur. Sebagai contoh, proyek pembangunan PDAM di Pekanbaru dan
infrastruktur panas bumi di Sumatera Barat akhirnya gagal terealisasi karena
adanya kekosongan hukum Sumber Daya Air (karena UU yang lama baru saja
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi) dan belum adanya peraturan pemerintah
terkait dengan harga satuan energi panas bumi.
Memang tidak bisa
di pungkiri lagi bahwa Indonesia memerlukan infrastruktur, semua orang dari
sabang sampai merauke, baik yang berpendidikan tinggi maupun rendah pun akan
setuju dengan hal tersebut. Tapi perlu ingat juga bahwa selalu terselip
prioritas dan pilihan kebijakan disetiap kebutuhan dan keinginan.
Artikel ini pernah di muat di harian KONTAN pada 13 Oktober 2015
Komentar