Peraturan Pemerintah Perkotaan dan Pekerjaan Rumah yang Belum Dijawab

Menutup akhir tahun 2022, Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan. Beleid ini lahir setelah sekian lama Indonesia tidak memiliki peraturan terkait perkotaan. Beberapa hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain soal bentuk dan klasifikasi perkotaan, penyelenggaraan pengelolaan perkotaan, penyelenggaraan pengelolaan perkotaan dengan pendekatan kota cerdas, dan pendanaan.

Urusan soal perkotaan memang urusan yang pelik. Multi sektor, banyak pelaku, dan beragam kepentingan. Tetapi dibalik ini urusan perkotaan adalah urusan yang sangat penting, sehingga memang sangat perlu untuk diatur. Sekitar enam puluh persen kue ekonomi nasional ada di perkotaan, yang kemudian juga menjadi daya tarik orang untuk selalu datang ke kota. Saat ini sekitar 55 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, melesat jauh dari hanya sekitar 42 persen penduduk di tahun 2000. Sayangnya potensi besar ekonomi perkotaan belum dioptimalkan secara luas, studi dari World Bank tahun 2016 menyebut kenaikan 1% urbanisasi di perkotaan Indonesia hanya berkorelasi dengan kenaikan 4% PDP per kapita. Sementara di perkotaan Thailand sudah mencapai 7%, Vietnam 8%, dan bahkan tertinggal jauh dari China yang dapat tumbuh 10%.

Timbulnya peraturan terkait perkotaan ini menjadi ujung harapan. Utamanya menjawab bagaimana agar pengelolaan perkotaan Indonesia bukan hanya dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih besar lagi, tetapi juga menciptakan kesetaraan pembangunan.

Sayangnya, setelah membaca utuh aturan PP Nomor 59 Tahun 2022 ini, harapan – harapan tersebut belum banyak bisa dijawab. Setidaknya ada beberapa pekerjaan rumah (PR) yang masih tersisa dari penerbitan PP ini. Pertama ialah persoalan urban sprawl atau penyebaran wilayah perkotaan secara acak, yang terjadi akibat tidak efektifnya manajemen perkotaan dan kurangnya ketersediaan infrastruktur. Saat ini wilayah perkotaan di Indonesia hampir semuanya mengalami urban sprawl. Sebagai contoh di Metropolitan Jakarta yang wilayahnya melebar hingga ke Maja di sebelah barat dan juga ke Kawarang di sebelah timur.

Urban sprawl yang terjadi ini merupakan sebuah refleksi atas elestisitas pendapatan masyarakat terhadap permintaan ruang permukiman. Dengan kenaikan pendapatan masyarakat yang tidak secepat pertumbuhan harga tanah di tengah kota yang sudah tidak terkendali, tidak sedikit masyarakat perkotaan yang akhirnya harus rela tinggal ke pinggiran kota. Ditambah juga penyediaan perumahan yang juga tumbuh dan menjamur di pinggiran kota membuat kondisi ini semakin klop.

Kegagalan pasar dan timbulnya urban sprawl ini seharusnya bisa dijawab apabila ada intervensi pemerintah yang tepat. Sayangnya PP Nomor 59 Tahun 2022 ini belum mampu menjawab persoalan ini. Tidak ada insentif bagi Pemerintah Daerah di pinggiran kota yang menjadikan daerahnya sebagai green belt. Tidak heran bila kemudian wilayah perkotaan semakin melebar, sehingga persoalan macet dan banjir akan terus terjadi, sebagai implikasi kegagalan pasar ini.

Kedua, ialah persoalan pendanaan pembangunan wilayah perkotaan. Aturan perkotaan yang ada masih menggantungkan diri pada pendanaan dari APBN, APBD, dan sumber – sumber pendanaan yang sah dan tidak mengingkat berdasarkan berbagai perangkat peraturan. Tetapi belum ada alokasi dan tanggung jawab pendanaan baru bagi pendanaan wilayah perkotaan, sebagaimana dipraktikkan di dalam wilayah perdesaan di Indonesia.

Apalagi ada ketimpangan fiskal yang terjadi di wilayah perkotaan. Sebagai gambaran, pada tahun 2022 misalnya, APBD di Jakarta bisa mencapai Rp 82 Triliun, sedangkan di wilayah sekitarnya hanya berkisar Rp 3 sampai 5 Triliun dengan yang tertinggi Kota Bekasi Rp 5,9 Triliun, yang bahkan tidak mencapai sepuluh persen dari Kota Jakarta. Alhasil anggaran untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada di Metropolitan Jakarta mengantunggkan harapan dari ketersediaan dana hibah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pola-pola bantuan hibah dari kota inti ke kota pendukung yang tidak berkelanjutan, selain tidak sehat dan optimal, juga bukan solusi atas persoalan struktural yang timbul akibat algomerasi perkotaan.

Persoalan ketimpangan fiskal ini belum lagi bila ditambah ketidakcukupan anggaran yang tersedia. Ruang fiskal yang sempit di daerah – daerah perkotaan menyebabkan sulitnya mengharapkan ada solusi – solusi perkotaan yang bisa diatasi dari anggaran daerah saat ini. Bahkan untuk setingkat Jakarta saja yang punya poster APBD besar pun sebenarnya bila dilihat dari perspektif persoalan yang begitu besar, dana APBD yang ada pun relatif tidak mencukupi pembiayaan pembangunan. Sebagai gambaran, pada tahun 2019 Pemprov DKI Jakarta pernah mengirimkan proposal kepada Pemerintah Pusat sebesar Rp 571 Triliun untuk membiayai pembangunan infrastruktur transportasi, air bersih, pengolahan air limbah dan perumahan perkotaan. Jauh lebih besar dari ketersediaan APBD Jakarta sebesar Rp 70 – 80an Triliun per tahun. Sayang persoalan pembiayaan pembangunan wilayah perkotaan ini tidak juga dijawab melalui penerbitan PP Perkotaan.

Terakhir ialah persoalan ketimpangan pembangunan dalam wilayah perkotaan. Sudah jamak terjadi bahwa fokus pembangunan di suatu wilayah perkotaan hanya ada pada kota intinya saja. Sebagaimana dipraktikkan dalam pembangunan Jakarta yang timpang dengan Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Salatan, Bekasi, hingga Cianjur. Sayangnya warna administrasi kewilayahan dan pelayanan yang kental dalam peraturan ini dirasa belum cukup manjur untuk mengurangi disparitas antara kota besar, kota menengah, dan kota kecil, yang bahkan terjadi dalam satu wilayah perkotaan.

Hemat kami, aturan terkait perkotaan diharapkan bukan hanya mendorong efisiensi pembangunan pada kota besar, tetapi juga mengurangi gap antara kota besar dengan kota menengah dan kota kecil yang berperan sebagai pendukungnya. Payung hukum perkotaan juga bukan hanya untuk mempertegas posisi kota dari kacamata administrasi pemerintahan, tetapi juga menguatkan perannya bagi pembangunan nasional.



Artikel ini pernah dipublikasikan di harian KOMPAS pada 27 Januari 2023. Bisa juga diakses melalui Kompas.id pada laman: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/26/peraturan-pemerintah-perkotaan-dan-pekerjaan-rumah-yang-belum-dijawab?fbclid=IwAR2Di5q15-SlP9u6iyt7MEVvenh1pe-3nRIMWs8eoHTZBtM5SczlDw2Mtn0 

Komentar