Memprioritaskan Pembangunan Kota

Pada pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Tahun 2024, Presiden Joko Widodo menunjukkan perhatiannya pada beban perkotaan yang akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang akan tinggal di kota.  Oleh karena itu, Kepala Negara menyampaikan bahwa rencana kota secara detail perlu dimiliki oleh setiap kota, bukan hanya untuk mengantisipasi pertambahan jumlah penduduk perkotaan, tetapi juga demi mewujudkan kota masa depan yang hijau, pintar, juga liveable dan loveable.

Pernyataan dan perhatian dari Presiden ini semuanya benar. Namun demikian, pengembangan perkotaan bukan saja tugas dari setiap Walikota, tetapi juga peran dari Pemerintah Pusat. Baik secara institusi, rencana, maupun pembiayaan pembangunan.

Di beberapa Negara maju, perkotaan dianggap sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Perkotaan dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan ekonomi nasional. Semakin besar peranan kota tersebut dalam perekonomian, semakin tinggi pula pendapatan per kapitaa penduduk dan pertumbuhan ekonomi nasional negaranya. Sehingga penting untuk diatur ditingkat nasional. Department of Housing and Urban Development di Amerika Serikat, Ministry of Housing and Urban-Rural Development di Tiongkok, adalah contoh negara yang memiliki institusi perkotaan dan sukses mengelola proses pengkotaan.

Sementara di Indonesia, institusi nasional perkotaan diatur terpisah oleh beberapa Kementerian dan Lembaga. Dewan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekpunjur adalah contoh bagaimana akhirnya urusan perkotaan justru dilempar langsung ke meja Presiden sebagai pimpinan tertinggi. Hal ini tentu dikarenakan kita tidak mengenal satu lembaga di tingkat nasional yang secara khusus menangani perkotaan.

Begitu juga pada sisi rencana. Di tingkat global, semakin banyak agenda dan kesepakatan yang bertumpu pada performa kota. Mulai dari New Urban Agenda, Paris Agreement, Sustainable Development Goals (SDGs), dan lain sebagainya. Seluruh kesepakatan dan agenda dunia ini seharusnya diterjemahkan terlebih dahulu di tingkat nasional, sebelum kemudian dilembar ke level Pemerintah Kota.

Dengan tekanan penduduk di perkotaan yang semakin meningkat, maka diperlukan rencana kebijakan perkotaan pada tingkat nasional. Chinese National New-type Urbanization Plan di Tiongkok, Smart City Plan di Australia, Cities and Local Government Devolution Act di Inggris, National Urban Development Policy di Jerman, dan lain sebagainya adalah contoh kebijakan nasional perkotaan, sebagai perangkat aturan dalam mengkoordinasikan berbagai aktor perkotaan untuk mewujudkan pembangunan perkotaan yang tangguh, inklusif, dan produktif.

Sedangkan di Indonesia, sampai dengan saat ini kita belum punya cetak biru perkotaan. Padahal tekanan urbanisasi sudah memberikan dampak bukan hanya pada kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Tetapi juga sudah menekan kota-kota menengah dan kecil. Daerah di Jabodetabek misalnya, arus urbanisasi lebih tinggi di Bodetabek ketimbang Jakarta.

Memang peningkatan jumlah penduduk di perkotaan ini tidak hanya terjadi akibat migrasi penduduk desa-kota, tetapi juga akibat pertumbuhan penduduk secara alamiah maupun reklasifikasi desa-kota. Namun demikian besarnya tekanan urbanisasi bagi kota-kota di Indonesia berimplikasi pada kebutuhan penyediaan layanan publik, infrastruktur dasar, juga kelangsungan sosial dan lingkungan. Jadi strategi urbanisasi penting untuk dilihat dalam kerangka membangun kota-kota besar, menengah, dan kecil juga relasi hubungan antara kota-kota tersebut.

Terakhir tentang pembiayaan pembangunan di perkotaan. Sebagaimana disebut oleh Presiden Jokowi, hampir tidak ada Pemerintah Kota yang mampu membiayai pembangunan transportasi publik berbasis rel secara mandiri.

Harus diakui bahwa hampir semua kota administratif di Indonesia tidak bisa mandiri membiayai kebutuhan pembangunannya sendiri. Sehingga pembiayaan pembangunan masih bergantung pada transfer dari Pemerintah Pusat. Bahkan Provinsi Jakarta yang punya kapasitas fiskal besar pun sebenarnya masih kewalahan untuk membiayai berbagai kebutuhan program pembangunan. Apalagi tuntutan di perkotaan makin besar dan kian kompleks: transportasi publik, hunian terjangkau, pemenuhan sarana prasarana dasar, dan lain sebagainya.

Usulan kami, prioritas anggaran justru perlu difokuskan di perkotaan. Istilahnya memancing uang dengan uang. Untuk membiayai pertumbuhan ekonomi, prioritas alokasi anggaran justru perlu diarahkan pada daerah yang bisa memberikan dampak lebih luas bagi pertumbuhan ekonomi. Dibanding Rp 70 triliun disebar ke setiap desa, justru lebih baik dana tersebut dialokasikan ke kota dan mendorong orang desa migrasi ke kota, agar bisa mencapai standar hidup yang lebih baik.

Selain yang bersumber dari APBN, gagasan tentang urban fund (dana perkotaan) menjadi penting untuk ditelisik. Bagaimana membiayai pembangunan di perkotaan yang bersumber dari pembangunan itu sendiri. Kompensasi Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dana konversi hunian berimbang, hingga Land-Value Capture (LVC) adalah bentuk-bentuk inovasi pembiayaan pembangunan yang perlu ditarik dalam kerangka yang lebih luas untuk membiayai pembangunan di perkotaan.

Kami berharap pada Pemerintahan kedepan pembangunan perkotaan kedepan akan menjadi salah satu prioritas pembangunan. Menyebarluaskan pembangunan sehingga tidak hanya bertumpu pada satu-dua kota saja di Pulau Jawa. Bahkan kota menjadi bagian dari strategi mempercepat pemerataan pembangunan di Indonesia.




Artikel ini pernah dipublikasikan di harian KONTAN pada 10 Agustus 2024. Bisa juga diakses melalui laman: https://insight.kontan.co.id/news/memprioritaskan-pembangunan-kota

Komentar