Memperbaiki Penyusunan Asumsi APBN

Salah satu implikasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas tuntutan judicial review terhadap UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ialah Pemerintah sebagai lembaga eksekutif dituntut untuk lebih kredibel dalam penyusunan APBN karena perannya yang menguat pasca pemotongan kewenangan Badan Anggaran (Banggar). Penguatan peranan pemerintah sebenarnya dapat menjadi peluang positif, karena Pemerintah akan menjadi lebih fleksibel dalam memilih kebijakan dan program yang sesuai target yang selama ini lebih banyak ditetapkan melalui keputusan politik.

Akan tetapi, kalau melihat sejarah penyusunan APBN dalam beberapa tahun terakhir, penguatan peranan Pemerintah dalam penyusunan APBN belum tentu menjadi angin segar bagi perekonomian nasional. Hal ini disebabkan karena proyeksi dalam penyusunan asumsi APBN yang sering kali jauh dari kondisi teraktual. Contoh paling dekat terjadi pada tahun lalu ketika peranan Banggar masih cukup besar dalam penyusunan APBN. Yaitu penetapan asumsi kurs Rupiah pada APBN 2014 yang dipatok Rp10,500. Padahal sepanjang bulan September, di saat asumsi-asumsi tersebut dibahas oleh Pemerintah dan DPR, Rupiah telah bergerak dikisaran Rp11.000-11.600 per dollar AS akibat reaksi pasar terhadap kebijakan tapering off oleh the Fed. Ketidak-aktualan penyusunan asumsi APBN 2014 juga terjadi pada penetapan lifting minyak bumi yang dipatok 870 ribu barel perhari. Padahal realisasi lifting APBN 2013 hanya 825 ribu barel perhari, akibat rendahnya investasi dan terus menurunnya kapasitas produksi sumur-sumur minyak yang ada.

Ketidak-aktualan penyusunan asumsi APBN memang bisa jadi terjadi karena pola penyusunan APBN yang tidak tepat ketika tenggat waktu penetapan APBN. Karena sebagai mana yang telah diketahui, penyusunan asumsi APBN dilakukan dari bulan Mei hingga Agustus dan ditetapkan pada bulan Oktober oleh DPR. Sehingga terjadi deviasi antara kajian yang telah disusun dari bulan Mei hingga Agustus dan waktu penetapannya pada bulan Oktober.

Tapi waktu/siklus penyusunan APBN tidak bisa menjadi alibi utama penyebab ketidak-aktualan asumsi-asumsi yang ada pada APBN. Karena  toh asumsi pada APBN memiliki fungsi sentral dalam penyusunan RAPBN maupun APBN itu sendiri dan sebagai benchmark bagi dunia usaha dan masyarakat untuk memperoleh gambaran kasar atas perekonomian nasional kedepan untuk perencanaan bisnisnya masing-masing.

Contoh paling pahit dalam penyusunan asumsi APBN terjadi pada krisis moneter 1998. Ketika itu, tanggal 15 Januari 1998, Pemerintah menandatangani letter of intent dengan IMF dan nilai rupiah sudah anjlok ke angka Rp 8.000,-. Padahal sepuluh hari sebelumnya, APBN untuk tahun anggaran 1 April 1998 hingga 31 Maret 1999 baru saja diumumkan dengan asumsi kurs rupiah Rp 4.000,-. Karena pasar melihat asumsi pada RAPBN 1998/1999 yang tidak realistis, permintaan akan dollar kembali naik hingga Rp 11.050,- hingga akhir bulan. Pelajaran sejarah ini berharga karena asumsi APBN bukan menghadirkan iklim perekonomian yang kondusif, tapi menjadi salah satu faktor yang memperkeruh iklim ekonomi nasional.

Momentum Perbaikan
Hasil keputusan MK harus dapat dioptimalkan sebagai momentum perubahan dalam proses penyusunan APBN. Setidaknya, dalam rangka mengurangi risiko ketidak-aktualan asumsi-asumsi dan memperkokoh kredibilitas APBN pada waktu penetapannya, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Pertama, harus ada penyusunan standar baku peninjauan asumsi APBN dengan kondisi teraktual dan sebelum penetapan APBN. Hal ini dimaksudkan agar penetapan APBN bukan hanya meninjau kajian APBN dari bulan Mei-Agustus, tapi pula meninjau kondisi terkini pada bulan Agustus hingga Oktober. Hal ini mutlak diperlukan, terutama untuk menetapkan indikator nilai tukar rupiah yang paling sulit diprediksi dari 7 indikator asumsi APBN lainnya. Terlebih sejak 13 Agustus 1997, Indonesia tidak lagi menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali.

Kedua, berkurangnya kewenangan Banggar dalam penetapan APBN tidak boleh memperlemah sistem check & balance dalam penyusunan APBN. Perlu penguatan lembaga-lembaga pengawas keungan seperti Inspektorat Jendral, BPK, BPKP, dan Bappenas dalam rangka memperkokoh kredibilitas APBN.

Ketiga, selain daripada menfokuskan pada penyusunan asumsi makro, perlu pula memberi perhatian lebih untuk membenahi indikator-indikator yang tertera dalam APBN. Pelajaran bagus kembali datang dari jaman Orde Baru. Saat itu, terdapat hasil fisik bantuan pembangunan pada APBN. Perbaikan pada sisi indikator anggaran dapat sekaligus membantu menguraikan masalah penyerapan anggaran yang sudah sering sekali terjadi dan memaksimalkan manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat.

Tentu bukan barang mudah untuk memprediksi masa depan dan menyusun APBN. Akan tetapi kesulitan tersebut bukan menjadi penghalang untuk mengupayakan anggaran fiskal, mengingat banyak ekonom-ekonom top dengan segudang pengetahuan dan pengalaman yang ada ditubuh Pemerintah. Yang diperlukan hanyalah keinginan yang kuat untuk menyusun APBN yang lebih bermartabat dan bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran segenap rakyat Indonesia.

Semoga para kandidat Presiden baru kita sudah mulai memikirkan hal ini.



Sumber gambar: https://www.selasar.com/politik/memperbaiki-penyusunan-asumsi-apbn

Artikel ini dimuat di portal berita Selasar.com pada hari Senin 16 Juni 2014
https://www.selasar.com/politik/memperbaiki-penyusunan-asumsi-apbn 

Komentar