Dilema BPJS dan Ruang Swasta

Bagi siapapun yang bergerak di dunia kesehatan, pasti memahami bahwa BPJS memiliki masa depan yang cerah di Indonesia. Masalahnya, seperti bayi yang berjalan masih meronta-ronta, BPJS masih memikul pelbagai persoalan yang menghambatnya untuk maju.

Faktanya, BPJS memang menghasilkan dilema bagi seluruh pelaku usaha kesehatan yang turut serta berperan (lebih banyak rumah sakit pemerintah) maupun tidak berperan didalam BPJS (kebanyakan rumah sakit swasta). Tidak sedikit rumah sakit swasta lain yang semakin dirugikan dari keberadaan BPJS. Hal ini dikarenakan banyak masyarakat beralih menggunakan layanan BPJS.

Bahkan, Saking di anggap merugikan bagi pelaku sektor swasta, beberapa pihak dari sektor swasta kesehatan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena menganggap BPJS memonopoli usaha asuransi kesehatan.

Persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha kesehatan yang berperan di BPJS pun tidak kalah berat. Claim-ratio sudah di atas 100 persen. Artinya, dana yang tersedia dari iuran peserta sudah tidak mencukupi untuk membiayai aktivitas BPJS. Alhasil BPJS malah mengalami kerugian akibat membludaknya jumlah pasien BPJS. Disisi lain, imbal balik secara materi yang didapatkan oleh dokter dan rumah sakit dari BPJS sangat minim secara materil.

Keadaan semakin ruwet ketika Presiden Jokowi yang menginginkan seluruh pasien BPJS harus dapat diterima di rumah sakit. Padahal kerugian BPJS semakin membengkak tetapi pembangunan instrumen dan infrastruktur tidak secepat laju kerugian materil.

Ruang Swasta dalam BPJS

Bahkan terdapat pemikiran lain yang menyebutkan bahwa sebaiknya masyarakat kelas atas lebih baik dibebaskan dari beban BPJS. Sehingga masyarakat kaya lebih baik menggunakan jasa asuransi swasta dibandingkan jasa BPJS.

Sayangnya pemikiran tersebut justru mencederai semangat gotong royong yang dibawa oleh BPJS. Karena dengan adanya BPJS, masyarakat kaya ikut pula berpartisipasi untuk membantu penyediaan layanan kesehatan untuk masyarakat miskin.

Selain itu, pemikiran tersebut juga tidak didasarkan pada data dan fakta yang terjadi. Berdasarkan analisa dari data Susenas tahun 2014, 30% kelompok masyarakat dengan pendapatan tertinggi (decile 8,9,dan 10) sebenarnya sudah lebih banyak menggunakan jasa asuransi swasta lain sebagai asuransi kesehatannya. Kondisi berbeda jika melihat 40% masyarakat dengan pendapatan terendah (decile 1,2,3,dan 4) yang menggunakan BPJS sebagai asuransi kesehatannya. Alhasil, BPJS sebenarnya belum menjadi wadah subsidi silang antara masyarakat kaya dengan masyarakat menengah dan miskin. Terutama karena masih minimnya kontribusi masyarakat kaya terhadap BPJS dan tidak sedikit juga masyarakat yang sebenarnya memiliki kemampuan membayar lebih tinggi justru memilih pelayanan kelas BPJS yang rendah.

Mengusir orang kaya untuk tidak menggunakan layanan BPJS justru merupakan langkah yang ceroboh. Lebih baik memberikan ruang untuk orang kaya dan layanan asuransi swasta untuk berpartisipasi dalam BPJS. 
Pemerintah, dalam hal ini otoritas BPJS harus memanfaatkan peluang besarnya permintaan atas jasa asuransi swasta untuk memberikan ruang bagi para pemain swasta. Karena jasa layanan asuransi dari swasta sebenarnya dapat saja memasukkan unsur iuran untuk BPJS dalam pembayaran biaya asuransinya. Sehingga kemudian masyarakat berpendapatan tinggi yang  menggunakan layanan asuransi swasta dapat berpartisipasi dalam iuran BPJS.

Kalau disadari, Potensi ini sangat besar. Karena bukan hanya masyarakat kaya, tetapi juga tidak sedikit masyarakat kelas menengah yang menggunakan BPJS dan asuransi swasta secara bersamaan. Dengan menghubungkan antara jasa asuransi kesehatan milik swasta dengan BPJS, risiko double claim akan menjadi lebih minim. Selain itu, pemain swasta di sektor kesehatan juga akan terhindar dari risiko besarnya opportunity cost yang lebih besar bila tidak bergabung dengan BPJS yang memiliki masa depan cerah. 

Rumah sakit swasta pun akan lebih tertarik untuk ikut serta dalam skema BPJS. Karena hal tersebut akan meminimalkan risiko rugi akibat membludaknya jumlah pasien BPJS. Setidaknya mereka masih mampu mengambil margin keuntungan dari pasien kelas menengah ke atas yang menggunakan manfaat dari gabungan asuransi BPJS dan asuransi swasta.

Dari sisi pengguna layanan, masyarakat akan memiliki kebebasan untuk memilih asuransi yang akan dipakai. Tidak melulu masyarakat menggunakan layanan dari rumah sakit pemerintah. Karena masyarakat yang lebih mampu, dengan membayar BPJS dan asuransi swasta, dapat mengunakan jasa rumah sakit swasta dengan biaya yang ditanggung oleh split pembayaran atas BPJS dan asuransi swasta.

Bagi Pemerintah, BPJS juga tetap dapat menjadi payung dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Keberadaan pemain swasta dalam BPJS juga akan meminimalkan monopoli dalam sektor usaha kesehatan dan menciptakan iklim usaha kesehatan yang lebih kondusif. Pemain swasta yang berpartisipasi dalam BPJS juga akan menjadi lebih effisien karena harus mampu bersaing dan menawarkan pelbagai kelebihan dengan BPJS maupun kompetitor swasta lainnya. Pemerintah pun juga dapat lebih fokus untuk memperbaiki ketimpangan infrastruktur kesehatan yang berbeda di setiap daerah.

Memang bagi beberapa pihak, persoalan dalam BPJS di anggap biasa karena BPJS baru berjalan satu tahun. Tetapi bila tidak ada langkah-langkah inovatif dan progresif, bukan tidak mungkin permasalahan yang ada dalam BPJS akan terus melarut-larut dan tidak kunjung selesai seperti persoalan-persoalan klasik yang menghinggapi badan pemerintah lainnya.

Apalagi kalau menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara lama seperti privatisasi, menaikkan biaya iuran, dsb. BPJS malah makin seperti sindiran Wiji Thukul dalam karyanya berjudul Reportase dari Puskesmas (1986): Puskesmas itu demokratis sekali, pikirku; Sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam, tak bisa tidur; semua disuntik dengan obat yang sama. Ini namanya sama rasa sama rasa; ini namanya setiap warga negara mendapatkan haknya; semua yang sakit diberi obat yang sama.

Pernah di muat di harian Kontan pada 4 Juni 2015

Komentar