Mewaspadai Defisit Anggaran

Ditengah perlambatan ekonomi, Pemerintah mulai bergerak untuk mendorong daya beli masyarakat. Salah satunya ialah melalui pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk beberapa barang-barang. Kebijakan tersebut perlu di apresiasi sebagai salah satu bentuk sinyal dari Pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang hanya tumbuh 4,7% pada triwulan I kemarin.

Namun demikan, kebijakan pembebasan PPnBm untuk beberapa barang sebenarnya melukai target pajak yang telah disusun sebelumnya. Faktanya, pada APBN Perubahan 2015, target Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM misalnya, ditargetkan meningkat hingga 40% dari realisasinya di tahun 2014. Terlebih, realisasi penerimaan PPN dan PPnBm di akhir bulan Mei 2015 juga sebenarnya berada dibawah realisasinya pada bulan Mei 2014. Bila pada bulan Mei 2014 realisasi PPN dan PPnBM mampi mencapai Rp 150 trilliun, pada bulan mei 2015, realisasinya hanya Rp 141 trilliun.

Realisasi penerimaan yang rendah pun bukan hanya terjadi pada penerimaan untuk PPN dan PPnBM, tapi juga untuk total penerimaan negara. Realisasi pendapatan negara hingga akhir bulan mei baru mencapai Rp 377 trilliun, lebih rendah dibandingkan akhir bulan mei 2014 yang mencapai Rp 386 trilliun.

Masalahnya, target Pemerintah sekarang jauh lebih ambisius. Terutama untuk pembangunan infrastruktur yang selama ini menjadi batu ganjalan utama pembangunan ekonomi nasional. Pada akhir tahun lalu, Bappenas telah memperkirakan dibutuhkan Rp 5,519.4 trilliun untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia hingga tahun 2019. Porsi pembiayaan Pemerintah dari APBN pun di patok cukup besar, hingga 40% dari total kebutuhan. Meningkat dibandingkan porsi pembiayaan infrastruktur dari APBN untuk MP3EI yang hanya di patok sebesar 15,6%.

Anggaran pembangunan infrastruktur dalam APBN Perubahan 2015 pun di patok lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila anggaran infrastruktur pada tahun 2011 dan 2013 hanya sebesar Rp 114,2 trilliun dan Rp 155,9 trilliun, anggaran infrastruktur pada tahun 2015 mencapai Rp 290,3 trilliun. Hampir dua kali lipat lebih besar! Tidak heran bila berita peletakan batu pertama (groundbreaking) untuk sejumlah pembangunan pun terjadi di mana-mana.

Bom Defisit Anggaran

Belajar dari pengalaman beberapa tahun terakhir, realisasi defisit anggaran yang tercatat dalam LKPP justru lebih rendah dibandingkan target defisit anggaran pada APBNP, dan lebih tinggi dibandingkan dengan target defisit anggaran yang dipatok dari APBN. Namun, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, defisit anggaran pada APBNP 2015 justru dipatok lebih rendah dibandingkan APBN 2015. Defisit anggaran APBN 2015 ditargetkan mencapai 2,2%, sedangkan target APBNP 2015 yang disusun pada awal tahun tersebut hanya mencapai 1,9%.

Padahal, dengan belanja pembangunan yang lebih masif dan rendahnya realisasi penerimaan hingga saat ini, bukan tidak mungkin defisit anggaran yang terjadi di akhir tahun nanti akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan target defisit anggaran dari APBNP 2015, pun mungkin daripada APBN 2015.

Pilihan kebijakan untuk menambah hutang tentu bukan opsi yang paling baik ditengah meningkatnya rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio), pelemahan mata uang rupiah, dan besarnya beban hutang yang ada.

Sisa waktu enam bulan ke depan harus mampu di optimalkan oleh Pemerintah. Bukan cuma untuk menyerap anggaran yang tersedia, tetapi juga menggali sumber pembiayaan yang potensial. Setidaknya terdapat berbagai resep yang bisa dilakukan untuk keluar dari masa sulit pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Pertama, kebijakan pro-BUMN yang dilakukan oleh Pemerintahan sekarang melalui kebijakan PMN harus dibalas dengan meningkatnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari BUMN dalam anggaran negara. Selama ini, walaupun terjadi peningkatan penerimaan PNBP dari laba BUMN, tetapi persentasenya semakin mengecil. Artinya kontribusi BUMN untuk pendapatan negara semakin menciut, dari sebesar 3,6% terhadap pendapatan negara pada tahun 2003, menjadi hanya sebesar 2,4% pada tahun 2013.

Kedua, harus ada upaya penghematan pos-pos anggaran. Tetapi jangan lagi kebijakannya hanya untuk mencuri perhatian publik dan menghambat proses pemerintahan seperti larangan rapat di hotel yang diterapkan ketika kapasitas gedung pemerintahan masih terbatas. Tagihan utang pemerintah dalam rangka pembayaran BLBI tahun 1999 kepada BI sebesar Rp 230 trilliun juga masih memungkinkan untuk ditunda dalam rangka mengejar prioritas pembiayaan infrastruktur.

Ketiga, persoalan realisasi penyerapan anggaran yang lebih rendah dibandingkan alokasinya dalam beberapa tahun terakhir memerlukan leadership untuk meningkatkan kapasitas institusi dan melakukan pengawasan target pembangunan yang terukur. Target pembangunan pun harus di susun lebih matang dan konsultasi publik untuk program-program unggulan harus dilaksanakan agar program pembangunan tidak hanya sekedar wacana.

Keempat, untuk tetap mengejar target pembangunan infrastruktur, perlu adanya perbaikan regulasi pembangunan infrastruktur dalam skema kerja sama Pemerintah dan Swasta/KPS (Public-private partnership). Sebagai contoh, skema KPS di Indonesia diselenggarakan oleh berbagai kementerian dan lembaga, sedangkan skema KPS yang lebih sukses di Vietnam, Thailand, dan Malaysia justru sama-sama mendelegasikan wewenang skema KPS ke satu badan pemerintah (sentralisasi). Dengan mendelegasikan wewenang KPS kepada satu badan khusus, keuntungannya adalah lebih mudah mensuksesikan pembangunan infrastruktur dan tidak terjerumus dalam persoalan birokrasi.

Terakhir, iklim usaha hanya tumbuh bila timbul ekspektasi atas margin keuntungan yang kemudian menumbuhkan banyak pemain yang menjadi risk-taker dalam suatu sektor. Menjaga ekspektasi pelaku usaha akan terwujudnya pembangunan infrastruktur adalah tugas yang penting agar infrastruktur tidak hanya sampai pada peletakan batu pertama saja.


Pernah di muat di SUARA KARYA pada 16 Juni 2015
Bisa juga dibaca pada link berikut http://www.suarakarya.id/2015/06/16/mewaspadai-defisit-anggaran-oleh-adhamaski-pangeran.html 

Komentar