Mengatasi Kesenjangan Wilayah
Branko Milanovic, mantan
ekonom dari World Bank, mengumpamakan kesenjangan seperti layaknya kolesterol.
Dalam artian, kesenjangan memiliki dua sisi mata koin. Ia baik pada batasnya
namun menjadi buruk bila terlalu berlebihan.
Dalam hal ini, kesenjangan
yang terlalu lebar akan menyebabkan dampak yang tidak baik, terutama dalam
skala makro. Penelitian dari Andrew Berg dan Jonathan D. Ostry dari IMF pada
2011 mengkonfirmasi hal ini dengan mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara
yang memiliki kesenjangan pendapatan yang lebar cenderung tidak berkelanjutan.
Sebaliknya, negara yang lebih setara dalam distribusi pendapatan, cenderung
memiliki pertumbuhan ekonomi dalam durasi yang lebih panjang.
Kalau dilihat dalam
konteks Indonesia, hal ini sangat memungkinkan menjadi salah satu alasan
mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkelenjutan. Bila pada periode
boom harga komoditas tahun 2010-an bisa
tumbuh 6% per tahun, tetapi pada saat ini perekonomian Indonesia hanya bisa
tumbuh pada kisaran 5% per tahun.
Berdasarkan hasil
analisa, ternyata kesenjangan wilayah di Indonesia selama periode 2010 hingga
2014, justru semakin melebar. Indeks Williamson bergerak dari 0,72 pada 2010,
menjadi 0,76 pada 2014. Nilai Williamson baru turun menjadi 0,65 pada 2015.
Adapun dalam indeks ini, bila nilainya 1, berarti pembangunan wilayah sangat
timpang dan berlaku sebaliknya.
Tidak bisa
dipungkiri persoalan kesenjangan wilayah adalah persoalan fundamental dalam
perekonomian Indonesia. Selama 30 tahun, dari 1983 sampai 2013, kontribusi PDRB
terhadap PDB Nasional Kawasan Barat Indonesia (KBI), tidak pernah kurang dari
80% terhadap PDB. Bahkan di tahun 2017 ini, kontribusi KBI sudah mencapai 82%
terhadap pembentukan kue ekonomi nasional.
Untuk mengatasi
persoalan ini, terdapat beberapa inisiatif berbasis spasial yang telah dilakukan
oleh periode Pemerintahan sekarang dan upaya ini perlu diacungi jempol. Salah
satunya ialah program pembangunan sepuluh kota baru publik, yang menjadi terjemahan
dari Nawacita poin (3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, dan poin (7) Mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik.
Berdasarkan RPJMN 2015
– 2019, sepuluh kota baru publik tersebut adalah Padang, Palembang, Maja,
Pontianak, Banjarbaru, Tanjung Selor. Sedangkan empat kota baru publik lainnya
berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), yakni Makassar, Manado, Sorong, dan
Jayapura. Di luar yang tertera dalam RPJMN, Kota Sofifi di Provinsi Maluku
Utara juga ditetapkan sebagai kota baru publik melalui direktif Presiden Joko
Widodo. Sebuah milestone untuk
pemerataan pembangunan nasional, terutama di timur Indonesia.
Pembangunan kota
baru publik dalam rangka mengatasi kesenjangan wilayah ini baik sekali
dilakukan karena pembangunan kota akan memancing urbanisasi. Dimana fenomena
urbanisasi yang terjadi diseluruh dunia berkaitan erat dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat.
Penelitian World
Bank mengutarakan bahwa dari tahun 1970 sampai 2012, setiap kenaikan 1%
urbanisasi perkotaan berkorelasi dengan rata – rata persentase PDB per kapita.
Sebagai gambaran, kenaikan 1% tingkat urbanisasi di India meningkatkan 13%
kenaikan PDB per kapita. Begitu juga di China yang mampu meningkatkan PDB per
kapita hingga 10%, Vietnam 8%, dan Thailand 7%.
Sayangnya memang,
dalam penelitian yang sama, diutarakan juga bahwa kontribusi kenaikan 1%
urbanisasi di Indonesia hanya mampu meningkatkan 4% PDB per kapita. Persoalannya
memang, tujuan urbanisasi di Indonesia masih pada sekitar Jabodetabek dan belum
meluas ke kota – kota lainnya. Sehingga program kota baru publik yang
menciptakan “gula” baru di ujung – ujung Indonesia menjadi penting bagi
pemerataan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Persoalannya ialah,
meski telah ditetapkan dalam RPJMN, progress pembangunan progress kota baru
publik ini seperti jalan di tempat. Dari kesebelas kota baru publik tersebut,
baru enam kota diantara yang sudah masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
Tiga kota (Pontianak, Tanjung Selor, dan Sofifi) yang sudah memiliki konsep
Masterplan dan Rencana Aksi Strategis, Empat kota yang sudah memiliki Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR), dan baru kota Pontianak yang sudah melakukan
pembangunan sarana dan prasarana. Bahkan kesebelas kota tersebut belum menyusun
regulasi dan kerangka kelembagaan sebagai kota baru publik.
Kami memandang,
meski memiliki tujuan yang mulia, terdapat salah kaprah dalam pembangunan kota
baru publik ini. Selama ini, pembangunan kota baru publik masih memeluk paham government led-development atau
Pemerintah yang menjadi garda terdepan dalam pembangunan kota – kota baru
publik tersebut.
Padahal success story pembangunan kota – kota
baru di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pelaku usaha swasta. Sebagai
contoh pembangunan Bumi Serpong Damai, Bukit Jonggol Asri, Pembangunan Jaya,
Lippo City, Cikarang Baru, Kota Legenda, Kota Cileungsi, Royal Sentul, Bintaro
Jaya, Gading Serpong, Modernland, Alam Sutera, dan lain sebagainya.
Pembangunan kota
baru publik ini seakan dijadikan ajang antitesa pembangunan kota baru oleh
sektor swasta. Pemerintah seakan tidak ingin kalah dengan pembangunan kota –
kota yang dilakukan oleh swasta. Tetapi sayangnya, Pemerintah sendiri juga tidak
memiliki kapasitas untuk menciptakan kota baru.
Sehingga bisa
dikatakan, bila ingin mengakselerasi pembangunan kota baru publik, seharusnya
Pemerintah lebih banyak melibatkan pelaku usaha swasta. Apalagi keuangan fiskal
Pemerintah saat ini sangat terbatas dan pembangunan kota baru publik pastinya
memerlukan biaya yang sangat besar.
Selain itu,
pembangunan kota baru melalui pelaku usaha swasta ini juga mendorong investasi
dan pertumbuhan berbagai sektor industri dan jasa turunan, yang pada gilirannya
dapat diharapkan untuk meningkatkan potensi penerimaan pajak, penyerapan tenaga
kerja, dan kontribusi terhadap pembangunan di daerah.
Dari situlah kita
berharap pemerataan ekonomi akan tercipta dengan semakin tumbuhnya sentra –
sentra pertumbuhan ekonomi baru di seluruh pelosok Tanah Air. Yang mana,
pembangunan “gula” baru ekonomi bukan hanya dirasakan nanti ketika kota baru
tersebut selesai dibangun, tetapi sudah bisa dirasakan “manis”nya ketika sedang
dibangun.
Artikel ini pernah dipublikasikan di harian KONTAN pada 27 Desember 2017
Komentar
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut