Belajar dari kemajuan Cina

Siapapun di dunia ini pasti tertegun bila melihat kemajuan ekonomi China. Ekonomi China tumbuh di atas 9% selama 20 tahun secara berturut-turut. Kebijakan lompatan jauh ke depan Mao Tse Tung akhirnya berhasil meski melalui pengorbanan rakyat yang tidak sedikit.

Saat ini China memiliki cadangan devisa US$711 miliar. Dan menurut Credit Suisse First Boston (CSFB) cadangan devisa China akan mencapai US$1 triliun saat Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade pada 2008. Luar biasa!

Melihat kemajuan China di bidang ekonomi, adakah negara itu sudah berkembang menjadi kapitalis? Tidak. Sebab sistim pemerintahan China tetap menganut ajaran Marxisme-Leninisme yang diimplementasikan melalui sistim satu partai [Partai Komunis Cina]. Fenomena China adalah jawaban jelas bahwa tidak benar demokrasi identik dengan kemakmuran.

Dalam membangun sistim perekonomiannya, China berpegang pada kebijakan ekonomi berencana terpusat yang didasarkan sistem tiga tingkat. Tingkat teratas ialah negara mengontrol bahan mentah, industri dan bahan pokok konsumen.

Tingkat kedua, penjualan jasa dan komoditas yang dibuat secara privat dalam lingkup harga yang ditentukan oleh negara. Tingkat ketiga 'pasar bebas' di perkotaan dan pedesaan di mana harga ditentukan dari sisi penawaran dan permintaan. Tingkat ketiga ini banyak diasumsikan, khususnya oleh Barat, sebagai langkah menuju kapitalisme.

Mengenai kebijakan ekonomi tersebut, Deng Xiaoping, peletak batu pertama reformasi ekonomi China, mengatakan bahwa perekonomian berencana terpusat tidak bisa disamakan dengan sosialisme, karena pada kapitalisme pun ada perencanaan.

Suatu ekonomi pasar tidak bisa disamakan dengan sosialisme karena sosialisme pun mempunyai pasar. Perencanaan dan pasar adalah ukuran dalam ekonomi. Sifat yang terkandung dalam kapitalisme dan sosialisme tidak bisa ditentukan oleh derajat mekanisme perencanaan ataupun mekanisme pasar.

Pada awal reformasi ekonomi, Deng Xiaoping membentuk Special Economic Zone (SEZ) di kota-kota pantai yang secara strategis letaknya berdekatan dengan Hong Kong, Macao dan Taiwan. Di SEZ, pemerintah memberikan konsesi, lebih tepatnya insentif bagi investor.

Selain itu pemerintah mempermudah segala prosedur yang bertujuan untuk melancarkan pelaksanaan penanaman modal asing. Sebuah langkah yang sangat revolusioner dan tidak lazim di negara komunis.

Hasilnya, di daerah-daerah SEZ ekonomi tumbuh dan berkembang sangat pesat dan menarik daerah-daerah lain untuk ikut tumbuh dan berkembang. China menjadi negara di kawasan Asia yang paling banyak menyedot investasi asing dengan nilai sekitar US$50 miliar dari total US$75 miliar investasi asing yang masuk ke seluruh Asia per tahunnya.

Keberhasilan reformasi ekonomi telah mengubah China, dari sebuah negeri miskin yang dilanda kelaparan, menjadi salah satu raksasa ekonomi masa depan. Tingkat kemiskinan berkurang dramatis, dari 60% penduduk pada 1980 menjadi 15% dari penduduk pada 2004.

300 Juta terangkat

Dengan kata lain, karena keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi, lebih dari 300 juta penduduk berhasil terangkat dari jurang kemiskinan.

Lantas apa kunci kemajuan ekonomi China, selain melakukan reformasi ekonomi? Jawabnya, pembangunan infrastruktur dan menempatkan pimpinan nasional pada tempat yang terhormat, apapun kesalahan dan kekeliruan yang telah dibuatnya, karena jasanya tidak bisa dihilangkan karena kesalahannya.

Salah satu prioritas utama China dalam memperbaiki ekonomi adalah dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur. Pemerintah menyadari ketersediaan infrastruktur merupakan syarat utama membangun perekonomian.

Pada 1978 total panjang jalan raya di China hanya 89.200 km. Sebaliknya pada 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km.

Pada 1988, jalan tol pertama dibuka dengan total panjang 185 km, sementara pada 2001 sudah mencapai 19.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini China memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT.

Tahun 2001, negara itu menghasilkan tenaga listrik 14,78 triliun kwh. Dan direncanakan pada 2009 mengoperasikan PLTA terbesar di dunia yang menghasilkan tenaga listrik 84,7 triliun kwh. Sementara, untuk saluran telepon (fixed line), pada 2002 China memiliki 207 juta sambungan. Padahal pada 1989 hanya ada 5,68 juta sambungan.

Sebuah studi terakhir menunjukkan bahwa negara berkembang di Asia Timur membutuhkan lebih dari US$200 miliar per tahunnya selama 2006-2010 untuk membangun infrastrukturnya.

Dari total kebutuhan tersebut, sebagian besar (80 %) merupakan kebutuhan China dalam membangun infrastruktur.

Selain pembangunan infrastruktur yang melibatkan PMA, China juga melakukan reformasi pertanian dengan mengembalikan usaha tani yang dulu dikuasai pemerintah kepada petani. Kebijakan tersebut berhasil meningkatkan penghasilan para petani.

Langkah berikutnya yang dilakukan adalah mengembangkan industri manufaktur sebagai sarana mengembangkan dan memperluas usaha kecil dan menengah serta wirawasta.

Semua dilakukan secara bertahap dan pragmatis, mengikuti apa yang pernah diucapkan Deng bahwa membangun China ibarat menyeberang sungai dengan merasakan bebatuan yang terinjak kaki. Dengan mengatakan pula bahwa dirinya tidak peduli apakah kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.

Sementara rakyat di banyak negeri lain, seperti di Asia, Afrika dan Amerika Latin, terseok dalam kemunduran dan keterbelakangan. Tidak terkecuali Indonesia. Rakyat China seolah tidak memiliki hambatan untuk hidup menjadi kapitalis, seperti yang diucapkan Deng Xiaoping: Menjadi kaya adalah mulia.

Komentar