Coretan Perjalanan (bag.IV)
Kalau kita masuk komunitas baru, apa sih yang orang akan
lihat dari kita? Dan apa yang akan bikin kita berbeda/terlihat unggul? Kata
orang, jawabannya tampilan fisik. Karena tampilan fisik itu penting enggak
sedikit orang yang bergaya ketika berpakaian, entah karena selera berpakaiannya
atau sedang mengikuti trend. Malah katanya saking pentingnya tampilan fisik,
cinta bisa datang dari pandangan pertama. Untungnya Tuhan Maha Adil, kasihan
dong orang-orang yg fisiknya buruk dan selera berpakaiannya enggak bagus-bagus
amat (nanti selamanya enggak ada yang ngelirik). Nah, terus kalau pandangan
pertama biasanya menyangkut tentang tampilan fisik, apa tampilan selanjutnya
yang membuat orang A dan orang B berbeda dalam komunitas barunya? Kalau kataku
jawabannya keterampilannya.
Untung sekali ijasah sekolah bentuknya cuma kertas dan
enggak bisa ditempel di jidat. Kalau yang namanya ijasah bisa ditempel di jidat
dan dibawa kemana-kemana, aku udah jadi orang yang paling ganteng disini
hahaha. Ya itu sebenarnya jawaban hopeless dari aku yang fisiknya biasa
saja, selera berpakaiannya alakadarnya, dan modalnya cuma ijasah (sudah gitu
nilai ijasahnya biasa saja lagi hahaha).
Dalam beberapa momentum diperjalananku, kadang ada saja yang
bikin aku merasa jadi orang paling beruntung dan kadang juga banyak hal yang
bikin aku bertanya,”gila, ini orang hebat bener, doi makannya apaan sih?”. Dan
hal yang selalu bikin aku terkesima ketika melihat orang lain itu adalah
keterampilan dan pengetahuannya. Kalau ada orang yang keterampilannya banyak,
jagoan dibidangnya, pengetahuannya luas, cara berpikirnya tajam dan substantif,
terus tangan dan otaknya gesit; emmghhh, aku paling hanya geleng-geleng melihat
ada orang macam begini bisa hidup didunia.
Ada kenalan baruku, namanya Hasbi dari Probolinggo, lahirnya
tahun 1990 dan sekarang umurnya sama denganku. Dulu doi lulusan pesantren, tapi
sebelum lulus pesantren sudah bisa bahasa Arab sehingga umur 17 tahun sudah
mengajar bahasa Arab di Madura. Hidupnya penuh dengan perantauan, pernah di
Madura, Garut, Kediri, dan Jambi. Mungkin memang sudah bakatnya atau entah
seperti apa, tapi setiap daerah yang ia singgahi, dia selalu bisa kuasai bahasa
asli daerahnya. Bahkan kalau dibandingkan dengan aku yang tinggal selama 5
tahun di Bandung, bahasa sundanya lebih halus. Selain empat bahasa daerah itu,
ia juga kuasai bahasa internasional seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Yang lebih mengerikan daripada doi juga ada, temannya namanya mas Muklis
(umurnya mungkin 3-4 tahun di atas), dia sedang belajar bahasa prancis sebagai
bahasa kelima yang mau ia kuasai selain bahasa inggris, arab, mandarin, dan
jepang, gila!
Ada lagi kenalan baruku, namanya Umar. Kayaknya baru sebulan
yang lalu aku lihat dia beli gitar dan bilang mau belajar gitar, hari ini doi
sudah bisa lancar main gitar. Aku cuma bisa geleng-geleng saja lihat orang ini
karena pada dasarnya doi memang multi-talent. Dulu sebelum kecelakaan
motor, doi katanya jago olahraga parkour dan taekwondo, selain itu ini
orang sangat ahli dan jenius dalam komputer, dan kuasai juga bahasa Pakistan
karena dulu pernah beberapa waktu tinggal disana.
Rasanya setiap orang diberi jatah waktu satu hari 24 jam
yang sama oleh Tuhan, tapi kenapa ada orang-orang yang bisa manfaatkan waktunya
untuk menambah keterampilannya dan enggak sedikit juga banyak orang yang
membosankan karena enggak punya keterampilan dan topik pembicaraannya itu-itu
saja?
**
Dulu pernah aku baca transkrip wawancara salah satu media
dengan pak Anies Baswedan. Wawancara itu bicara tentang anak muda Indonesia,
kebetulan memang beliau adalah salah satu orang berusia muda yang punya banyak
prestasi. Dalam wawancaranya, beliau katakan seperti ini,”pernahkah kamu
bayangkan, apa yang akan tertulis dalam curriculum vitae-mu lima,
sepuluh, dua puluh tahun mendatang? apa
yang akan tertulis dalam CV-mu?”.
Aku baca transkrip wawancara itu sekitar setahun yang lalu.
Jelas setelah membaca itu reaksiku pusing dan bingung. Kira-kira apa yang akan
tertulis dalam CV-ku itu? Aku bukan orang yang kejar-mengejar punya CV yang
bagus dan fantastis, tapi dalam CV tersebut akan terlihat apa yang sudah pernah
kau lakukan dalam hidupmu. Aku ingat saat dulu sedang mencalonkan diri menjadi
seorang ketua himpunan. Saat itu ada kolom prestasi yang aku beri garis strip
(-), artinya tidak ada prestasi. Sebenarnya aku punya prestasi saat SMA sebagai
juara lomba cerdas cermat islam tingkat kelas dalam rangka hari Isra Mi’raj,
karena sepertinya orang lain tidak akan percaya hal tersebut, yowes lah aku isi
strip saja haha. Sejak hari itulah aku mulai tanya dalam diriku sendiri, apa
Achievments & Awards diriku? Berapa banyak lomba/kompetisi yang aku
menangi? Seberapa hebat diriku ketika harus bertanding dengan orang lain?
Kemudian apa personal skills-ku berapa tahun mendatang? Berapa banyak bahasa
yang aku kuasai? Seberapa lancarnya kamu dalam berbahasa asing?
Apa yang tertulis dalam CV-mu sebenarnya tidak terlalu
penting dibanding seperti apa karaktermu. Tapi punya karakter yang ‘menarik’
tanpa memiliki keterampilan itu omong kosong. Dan punya keterampilan tapi tidak
punya karakter yang ‘menarik’ seperti layaknya budak. Sejatinya keduanya saling
melengkapi. Bagaimana mengasah karakter dan mengasah keterampilan? Bagaimana
menjadi orang yang lebih bernilai dengan karakter dan keterampilan?
Dulu sewaktu masih tinggal di Bandung, suasananya penuh
dengan kekeluargaan. Jadi kalau ada sesuatu yang enggak bisa kita lakukan
sendiri, dengan mudah kita bisa meminta bantuan teman dan begitu sebaliknya
ketika teman sedang kesusahan. Kalau laptop rusak dikit, tanya temanku bernama
Yovan; kalau enggak ngerti pelajaran kuliah, tanya temanku namanya Adam Pasuna;
kalau enggak ngerti tentang cewek, tanya temanku namanya Tiara; kalau lagi
lemes enggak kuat ngapa-ngapain, minta tolong kuli bangunan bernama Fidic;
kalau enggak punya file/catatan kuliah, minta sama Picul; dan begitu untuk
hal-hal lainnya, pasti aku minta tolong temanku haha. Lah sekarang? Sendirian?
Masuk lingkungan baru? Masalah dimulailah dari sini. Kadang enggak ada orang
lain yang bisa di andalkan selain diri sendiri. Sama seperti naik gunung:
enggak ada warung nasi padang, indom*rt, alfam*rt, tukang ojek, dsb. Semua
harus dilakukan sendiri atau bekerja sebagai tim dengan spesialis masing-masing
(kalau ada yang males-malesan atau enggak bisa ngapa-ngapain kadang jadi
nyusahin yang lain).
Jangan galau dalam gelap |
Yaa inilah hidup, kadan ada saat bersama-sama, kadang ada
saat sendirian. Masuk lingkungan baru, orang enggak akan peduli dari mana
almamater kita atau siapa orang tua kita. Semua tergantung dari bagaimana
karakter kita, apa yang bisa kita lakukan, keterampilan apa yang kita punya.
Yah toh hidup itu pilihan kita kan, mau jadi orang yang selalu minta tolong
atau mau jadi orang yang selalu diminta uluran tangannya…..
(bersambung ke episode lainnya)
Komentar