Public-Private Partnership dan Nasionalisme

Bergaul sama orang pinter kadang suka dibohongin, tapi bergaul sama orang bodoh kadang jadi kebawa bodoh. Pertanyaannya sama siapa kita harus bergaul? Haha oke enggak penting, tapi cukup diingat saja pertanyaannya, dengan siapa hari ini kita bergaul. Karena kadang kalau kita akan ketemu sama orang baru, mungkin datang waktunya untuk kita bertanya kediri sendiri akan pemahaman lama yang dulu kita pahami. Termasuk cerita saya tentang pemahaman public-private partnership (PPP).

Sumber gambar: https://percolatorcorner.wordpress.com/tag/finance/

Dulu jaman kuliah masih (dan Alhamdulillah masih inget), pernah dikenalin sama yang namanya PPP ini. Sederhananya PPP ini bisa diterjemahkan sebagai bentuk kerjasama antara pemerintah dan badan usaha private dalam membiayai barang public. Ya karena jaman kuliah saya malas buka literature dan bertanya ditengah kelas, yowes jadi terima saja (ini contoh buruk yang saya yakin tanpa disuruh udah banyak yang ngikutin saya hehe). Nah kena batunya pas sudah lulus! Ketika lulus mulai bergaul sama aktivis di daerah; dan entah kenapa setiap kali mereka ini mendengar kata ‘private’ atau ‘PPP’, seketika kupingnya merah dan ribuan kata-kata brutal lainnya segera menyerbu. Ada stigma, suatu pemahaman negatif bahwasanya PPP ini bentuk ketidak-nasionalisme-an pemegang keputusan sekarang. Bagi saya yang pernah belajar tentang PPP dan bergaul sama mereka, tentu ada tanggung jawab tersendiri bagaimana menengahi kesalahpemahaman yang terjadi. Tulisan ini dibuat ringan (bukan hanya bahasanya, tapi mungkin juga karena pemahaman saya yang juga ringan haha), tapi semoga bisa sedikit membuat kita berpikir lebih jernih.

Uraian sekilas tentang PPP


Yang namanya public harusnya disediakan oleh pemerintah yang punya kewenangan mengurus urusan public. Sayangnya, terlalu naïf jikalau kita anggap pemerintah itu Tuhan yang maha bisa segalanya dan maha punya semuanya. Salah satunya urusan dana. Ada keterbatasan pemerintah dalam urusan dana dan pertimbangan apakah dana sebesar 10 lebih baik digunakan untuk A atau B. Hal ini menyebabkan adanya skema penyelesaian dengan bekerja sama dengan pihak swasta. Alhasil pemerintah bisa alokasikan dana untuk A dan B dan pendanaan infrastruktur dibantu oleh swasta termasuk beberapa resikonya (seperti resiko konstruksi, yang sifatnya teknik, pengoperasian, bahkan sampai resiko force majeure).

Disisi lain pihak swasta yang enggak pusing-pusing amat mikirin masalah distribusi dan lebih fokus mencari profit (sehingga lebih kedepanan faktor effisiensi), menjadikan swasta lebih unggul dalam pengelolaan (termasuk pula biasanya teknologi dan SDM) maupun keuangan (termasuk menanggung resiko). Faktor-faktor ini yang kemudian menjadi perspektif mengapa kita perlu mendorong sektor swasta berperan dalam pembangunan public.

Sehingga dalam artian lain kita bisa bilang bahwa dalam skema PPP ini pihak swasta secara tidak langsung melaksanakan fungsinya sebagai pemerintah (karena memenuhi kebutuhan public). Tapi perlu diingat sekali lagi, bukan hanya jadi ‘pemerintah sesaat’ tapi juga bertanggung jawab atas segala resiko yang muncul dan pula menerima benefit selama pelaksanaan tersebut.

Tapi apa bener pihak swasta yang bener-bener jadi pemerintah? Santai, enggak juga karena ada macam-macam bentuk PPP itu mulai pihak swasta Cuma donor, advokasi, sebagai kontraktor, maupun jadi pemegang konsesi proyeknya. Dari sini kita bisa bilang sebenarnya dalam PPP ini ialah bagaimana melibatkan sektor private yang kadang lebih unggul dalam beberapa hal dalam urusan public.

Nasionalisme dalam ekonomi

Ini baru problematika. Apa dan bagaimana konsep ekonomi yang nasionalis itu? Mungkin enggak ada satu pemahaman yang mutlak diterima semua orang tentang kebijakan ekonomi yang nasionalis. Ada yang katakan, ekonomi kita dikatakan nasionalis kalau masyarakat Indonesia yang menerima manfaatnya. Ada juga yang katakan berarti modal mengarah ke Indonesia. Dan ada lagi yang katakan kalau nasionalis berarti semua yang ada didalam negeri kita yang kontrol. Apalagi kalau menyentuh tataran instrument fiskal, apakah memberikan subsidi, proteksi, atau tidak impor sama sekali merupakan bentuk ekonomi yang nasionalis? Dan apakah kebijakan impor atau memberikan izin investasi asing adalah bentuk ekonomi yang tidak nasionalis?

Perbedaan pemahaman ini terjadi karena nasionalisme adalah ideologi sedangkan tidak sedikit orang katakan ilmu ekonomi ini science (sehingga sering dikatakan bebas nilai). Padahal tidak mungkin ada ilmu pengetahuan sosial tanpa ideologi. Dan inilah yang jadikan orang-orang sekelas Adam Smith (bukan adhamaski) dan Karl Marx namanya masih mentereng sampai sekarang, karena mereka bukan hanya menyentuh science tapi pula tataran ideologi dan sifat manusia. Berbeda dengan konsep ekonomi pancasilanya (alm) Prof.Mubyarto, tanpa kurangi rasa hormat saya dengan beliau yang maha sakti, beliau menyentuh tataran ideologi tapi sangat sulit diterjemahkan dalam justifikasi science karena enggak ada juga bentuk sifat manusia indonesianya kek mana.

Tapi kalau ditanya apakah penting nasionalisme dalam ekonomi? Jawabannya tentu iya walau kita sendiri masih dalam perdebatan seperti apa bentuk ekonomi yang nasionalis itu. Sehingga kita bisa acuhkan saja orang-orang (yang walau mereka ini banyak yang jadi dosen, menteri, bahkan pemimpin organisasi dunia) yang katakan kalau nasionalisme dalam era globalisasi itu kuno dan ketinggalan jaman. Mereka ini enggak lihat kenapa bank sentral Amerika Serikat (the Fed) sekarang memutuskan tapering off atau kenapa dulu saat Hollywood dibeli oleh Sony mereka malah dibuat bangkrut oleh artis-artisnya. Apa itu semua bukan bentuk nasionalisme dalam ekonomi? Mohon maaf tapi orang-orang yang bertanya apakah ‘aseng’ lebih baik daripada ‘asing’ dan sekelompok orang yang katakan kalau nasionalisme dalam era globalisasi itu parno adalah orang-orang yang tidak paham hakikat kemerdekaan bangsa ini.  Kalau mereka pikir bangsa ini hanya butuh modal yang mengarah ke Indonesia, lebih baik kita tetap saja jadi Nusantara yang dijajah kompeni, karena toh dari kompeni pula modal masuk dan beberapa infrastruktur dibangun. Justru karena dulu para pejuang bangsa ini ingin merubah struktur masyarakat yang timpanglah kita sekarang jadi bangsa yang merdeka.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, nasionalisme dalam ekonomi itu penting, tapi ingat bukan karena urgensinya kita jadi harus mengarahkan nasionalisme pada chauvisme. Sehingga pelbagai hal yang berbau asing harus kita tolak, termasuk impor dan investasi asing. Ini bukan hanya menjadikan kita sebagai bangsa yang menganut chauvinism, tapi juga mereduksi perdebatan ilmiah menjadi sebatas pro dan anti-asing. Tentunya hal ini yang jadikan bung Karno tekankan pentingnya sosio-nasionalisme agar nasionalisme tidak mengarah pada chauvinism dan bung Hatta masih perbolehkan adanya ruang bagi swasta dan asing masuk dalam lingkup ekonomi nasional.

Dari uraian tersebutlah kita terjemahkan bahwa nasionalisme dalam ekonomi adalah perwujudan dari kebijakan ekonomi yang mengarah pada kepentingan nasional. Kepentingan nasional ini bagi saya harus diterjemahkan sebagai bentuk transformasi struktur dalam masyarakat dalam konteks persaingan luar negeri. Transformasi struktur dalam masyarakat adalah cita-cita kemerdekaan bangsa ini setelah pengalaman pahit dan penderitaan yang bangsa ini alami selama masa penjajahan sedangkah konteks persaingan luar negeri yang dimaksud adalah menjadi Negara yang mampu bersaing secara kekuatan ekonomi dengan bangsa-bangsa lainnya sehingga tidak lagi kita menjadi bangsa yang dipandang rendah dan seenaknya dijajah.

Kita kembali dalam pembahasan PPP. Bagaimana hubungan antara kebijaksanaan PPP dalam membiayai (misalnya) kebutuhan infrastruktur dan nasionalisme dalam ekonomi yang mengedepankan kepentingan nasional?

Kosakata ‘privatisasi’ menjadi hal buruk bagi kalangan masyarakat kita. Terutama ketika beberapa BUMN di privitasasi, salah satunya yang masih kita ingat adalah BUMN yang bergerak dalam bidang telekomunikasi. Banyak yang katakan kalau bidang telekomunikasi yang kita jual, artinya kita berikan informasi diberikan kepada pihak luar secara gratis. Penjualan BUMN bidang telekomunikasi di artikan sebagai penjualan informasi yang merukapan kepentingan nasional. Padahal kalau kita ingat lagi kejadian akhir-akhir ini, tanpa kita jual BUMN pun Negara asing sudah menyadap informasi para pejabat kita. Kasus ini mereduksi hakikat dari kepentingan nasional. Padahal bukan masalah jual telekomunikasi beri informasi, bukan! Kasus ini harus kita padang sebagai ketidakmampuan nasional mengedepankan pengembangan kepentingan nasional itu sendiri. Telekomunikasi adalah bidang yang sangat dibutuhkan dimasa depan. Kalau kita tidak kelola bidang tersebut dengan baik, di masa depan kita jadi bangsa yang payah dan tidak mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya. Itulah kenapa hari ini kita hanya terdiam melihat kemajuan industri telekomunikasi dari Taiwan dan korea selatan.

Ketersediaan infrastruktur itu kepentingan nasional, bukan kepentingan pejabat yang enggak mau disadap dalam komunikasi. Tentunya harus ada upaya bagaimana sektor private tidak menyebrang hingga mengganggu pengambilan keputusan untuk kepentingan nasional. Secara garis besar, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah agar niatan baik sektor private membantu pembangunan sektor public tidak berubah jadi tindakan buruk sehingga sektor private mengocok-ngocok urusan public (hal ini yang menurut saya banyak terjadi sehingga banyak stigma negative dari masyarakat kepada private ketika mereka masuk dalam urusan public). Hal-hal tersebut ialah seberapa berkapasitasnya pemerintah sebagai institusi dan regulator, bagaimana komitmen politik  dan akutablitas (termasuk dalam urusan pengalokasian fiskal untuk infrastruktur) dalam mengedepankan urusan public.

Menurut saya, jangan sampai kita terus mereduksi masalah PPP hanya jadi sebatas masalah dana, teknologi, dan SDM. Ini sering sekali jadi pledoi dalam beberapa kasus migas di Indonesia. Karena selain hanya menujukkan kegagalan dalam memajukan teknologi dan kualitas SDM kita juga makin jauh dari cita-cita founding father.

Jadi ingat bacaan jaman kuliah tentang watak kolonial ekonomi Indonesia oleh bung Karno (pemasok bahan mentah, pasar produk industri Negara maju, dan tempat memutar kapital) dan struktur sosial-ekonomi Hindia-Belanda dalam tiga stara menurut bung Hatta (kelas atas bangsa eropa, lapis tengah warga timur asing, dan yang paling bawah kaum pribumi). Bukannya yang kita kejar hari ini adalah kebalikan apa yang terjadi sebelum kemerdekaan? Dan bukannya yang kita kejar hari ini adalah ‘pembangunan indonesia’ (dan bukan ‘pembangunan di Indonesia’).

Komentar