Kado Masalah Tahun Baru: Revisi Daftar Negatif Investasi

Saat inflasi sedang tinggi-tingginya pada bulan Juli dan Agustus 2013, Pemerintah keluarkan paket kebijakan untuk redam gejolak. Ada empat poin utama, salah satunya mempercepat realisasi investasi dengan cara: (1) penyederhanaan perizinan, (2) merevisi PP tentang daftar negatif investasi (DNI), dan (3) mempercepat investasi berbasis agro, CPO, kakao, rotan, mineral, logal, dan lain sebagainya.

Sumber gambar: http://seekingalpha.com/article/117762-global-markets-in-review-fresh-economic-woes-impact-sentiment
Karena tidak bukan berpendidikan ekonomi dan tidak punya gelar sebagai ekonom, saat pertama kali saya dengan tentang DNI, yang ada dipikiran saya waktu itu,”oh mungkin itu daftar investasi yang nakal-nakal (makanya dikatakan negatif) seperti badan usaha yang sering manipulasi perhitungan akuntansi ataupun mereka-mereka yang suka merusak lingkungan”. Tapi beberapa hari lalu ketika membaca berita tentang rencana revisi DNI, ternyata pikiran awalku itu semua salah.

Yang dimaksud dengan DNI bukan mereka, badan usaha, yang sudah berinvestasi di Indonesia dan melakukan kenakalan, tapi adalah sektor-sektor yang tidak diperbolehkan untuk diinvestasikan oleh sektor private.

Tulisan ini saya bagi jadi dua bagian, pertama pemahaman sekilas tentang DNI (agar teman-teman tidak menjadi bodoh seperti saya dulu), dan kedua tentang bagaimana prospek DNI terhadap perekonomian nasional.

Sekilas tentang DNI

Salah satu pertimbangan yang penting dari seorang investor untuk melakukan investasi adalah transparasi dalam kejelasan berinvestasi dari pelbagai regulasi. Tujuannya ialah membuka ketertutupan informasi (agar tidak menimbulkan rasa tidak pasti bagi investor) yang kemudian menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi. Berangkat dari hal ini terbitlah secara hukum tentang DNI yang diatur pada Peraturan Presden Nomor 36 tahun 2010 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal.

Beberapa tujuan DNI menurut PerPres (didapatkan dari PerPres sebelumnya, yakni PerPres No.76/2007), yakni: (1) meletakkan landasan hukum yang pasti, (2) menjamin transparansi dalam proses penyusunan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, (3) memberikan pedoman dalam penyusunan dan menetapkan bidang usaha tertutup dan terbuka dengan persyaratan, (4) pedoman pengkajian ulang, dan (5) pedoman perbedaan penafsiran.

Karena rencana revisi DNI terbersit saat inflasi sedang tinggi (dan masuk dalam paket pemerintah), tentunya rencana ini adalah salah satu solusi bagaimana menekan masalah melemah nilai tukar rupiah yang disebabkan oleh defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan. Untuk kembali menyeimbangkannya kembali, salah satu cara pemerintah ialah dengan menarik investasi masuk ke dalam negeri. Hal ini dikarenakan (dengan analogi sederhana) kalau kita anggap perekonomian nasional itu tubuh manusia, investasi adalah makanan yang paling bergizi karena dapat menjadi sumber energi bagi terbukanya lapangan kerja, peningkatan penghasilan,  hingga berpengaruh kepada indikator makro ekonomi lainnya. Inilah yang kemudian dalam akal pikirku menyebabkan salah satu tujuan dari paket kebijakan pemerintah ialah mempercepat realisasi investasi dengan cara merevisi daftar negatif investasi.

Dari pernyataan pak Mahendra Siregar (kepala BKPM), terdapat beberapa kategori yang memungkinkan akan direvisi dalam PerPres tentang DNI. Pertama, sektor perhubungan yang mencakup pembangunan terminal angkutan darat dan barang untuk umum dengan porsi asing maksimal 49%. Kedua, sektor partiwisata dan ekonomi kreatif, dimana investor asing dapat memiliki saham sampai maksimal 51%. Ketiga sektor keungan, modal ventura dapat dimiliki oleh asing sebesar 85%. Keempat, kepemilikan saham asing dalam industri farmasi maksimal 85%. Kelima, sektor komunikasi dan informatika, dimana kepemilikan modal asing 65%, fixed line yang terintegrasi dengan multimedia sebesar 65% dan multimedia sendiri 49%. Terakhir pergudangan maksimal 33% dan cold storage di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali sebesar 33% dan daerah lainnya sebesar 67%.

Karena bentuknya masih draft dan informasinya juga sulit didapatkan, kiranya memang hanya pernyataan pejabat yang berwenang yang bisa kita jadikan acuan. Sehingga apa yang tertulis di paragraph sebelumnya mungkin hanya sebagian dari apa yang akan berubah pada revisi besok dari PerPres sebelumnya.

Mengira-ngira Dampak Revisi DNI Masa Depan

Ada satu cerita menarik dari salah satu temanku yang kebetulan keluarganya adalah pengrajin kayu di Jepara. Pada krisis 1998 ketika rupiah jatuh melemah, hampir semua pengrajin meubel di Jepara naik haji! Termasuk teman saya beserta keluarganya. Pengrajin kayu di Jepara banyak yang berorientasi ekspor, sehingga ketika mata uang dollar naik, penghasilan mereka pun melambung. Dari satu cerita sederhana di Jepara tahun 1998, kita bisa ambil sebuah kesimpulan: bahwasanya ketika rupiah tertekan, hasilnya belum tentu buruk bagi perekonomian kita, ASALKAN kita punya produk ekspor yang siap bersaing dipentas Internasional.

Kalau tahun 1998 bisa buat orang satu kampung di Jepara naik haji, apakah naiknya dollar hari ini bisa bikin orang satu kampung di Jepara beli Ka’bah? Ternyata selain Ka’bah tidak bisa dibeli, naiknya dollar tidak memberikan keuntungan bagi perekonomian kita hari ini. Hal ini dikarenakan adanya masalah, sekali lagi, defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan. Kebutuhan impor masih lebih besar dibandingkan produk yang kita ekspor, alhasil bukannya mendapatkan uang lebih banyak dari naiknya nilai tukar dollar, malah mengeluarkan uang lebih banyak untuk kebutuhan impor.

Saya pikir justru solusi merevisi DNI jadi sangat textbook. Kalau kita ketahui inti masalahnya berada pada defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan, bukankah dana segar tidak hanya kita dapatkan dari investasi asing (sehingga berharap dengan membuka sektor yang tabu untuk berinvestasi, investor asing akan datang untuk berinvestasi di Indonesia?). Bukannya masih ada cara lain untuk menyeimbangkan transaksi berjalan dan defisit perdagangan?

Kita mulai tinjau dari jurus menanggulangi masalah yang ada sekarang. Secara garis besar, dari sisi Pemerintah salah satu caranya adalah merevisi DNI dan dari sisi moneter, Bank Indonesia naikkan BI Rate hingga 7.50 poin sehingga berharap uang tidak keluar ke dalam negeri. Bahkan kedua tindakan ini pun saya pikir malah bersebrangan, naiknya BI Rate justru membuat ragu investasi masuk dan upaya membuka ruang investasi menjadi percuma. Dan kita ketahui sendiri bahwa inti permasalahan investasi bukan hanya terletak pada berapa ruang yang masuk dalam DNI ataupun tidak, tetapi justru terletak pada masalah seperti birokrasi, infrastruktur, dan SDM. Apalagi kalau pelbagai masalah tersebut masih ditambah dengan adanya tapering off oleh The Fed (BI-nya Amerika Serikat) yang menyebabkan orang lebih baik investasi ke Amerika Serikat dibanding ke Indonesia.

Secara garis besar pula, saya pikir cara-cara yang bisa dilakukan untuk menanggulangi masalah defisit sekarang ialah: (1) pro-aktif mendorong ekspor dengan membuka pasar luar negeri lebih banyak dan mendorong perusahaan yang berorientasi ekspor, (2) memperketat impor, terutama impor pangan, dengan bekerja sama (dan mengembalikan kembali fungsinya) BULOG, sehingga memiliki informasi yang cukup tentang ketersediaan dan kebutuhan pangan, (3) merubah kebijakan impor dari kuota menjadi tariff sehingga akan ada dana yang masuk ke dalam kas pemerintah ketika barang-barang impor masuk kedalam negeri , dan (4) memberikan insentif bagi investor domestik untuk menarik uang-uang masyarakat yang terepatriasi diluar negeri dan berinvestasi (atau minimal menabung) di dalam negeri.

Dan masalah yang lebih mengerikan dari revisi DNI ini ialah ketika ruang kepemilikan modal asing semakin besar, dimana tempat bagi anak-anak bangsa hari ini?? bagaimana bangsa ini dimasa depan mengendalikan kepentingan nasionalnya?

Apa investasi asing membawa bangsa ini lebih akrab dengan janji transfer of knowledge dan transfer of technology? Tidak! Karena ruang untuk belajar pengetahuan dan teknologi dikunci oleh divisi Research and Development yang tidak sembarang orang boleh masuk. Apalagi enggak ada insentif badan usaha domestic untuk lakukan RnD sendiri.

Apa investasi asing menghasilkan adanya keuntungan (dalam bentuk dana) kedalam negeri? Tidak juga, karena kita lupa membandingkan investasi asing yang masuk dengan dana yang terepatriasi keluar negeri.

Apa investasi asing ditambah kebijakan local content memberikan dampak bagi industri lokal? Saya jamin juga enggak kalau kita lihat industri hulu dalam negeri jalannya mandek!

Kita harus belajar dari sejarah krisis sebelumnya, bukan hanya belajar gejala-gejala yang terjadi sebelum krisis, tapi juga solusi apa yang telah bangsa ini lakukan. Krisis tahun 1966 ketika presiden Soekarno turun dan inflasi naik sebesar 400%, solusinya ialah menerbitkan UU penanaman modal asing tahun 1967. Krisis tahun 1998 ketika presiden Soeharto didemo oleh mahasiswa dan masyarakat, solusinya adalah menandatangani letter of intent –nya IMF yang justru malah bikin terpuruk. Hari ini mungkin belum krisis, tapi gejala-gejalanya mirip. Mulai dari nilai tukar rupiah yang melemah, harga pangan yang naik, sampai sombong-sombongnya ekonom pemerintah yang bicara,”ekonomi kita masih kuat” pun semuanya sama.

Semakin sering saya beli dan baca buku, semakin takut saya bangsa ini hanya jadi bangsa yang textbook. Bukan hanya solusi meredam masalahnya saja yang textbook tapi juga kita tidak pahami apa hakikat yang ada dalam textbook. Bahkan bukannya textbook matematika sekolah dasar pun ajarkan kalau 1+1 tidak selalu 2 dan jawabannya bisa saja 5-3, 100÷50, dll?

Komentar