Kebijakan dan Strategi Industri Nasional
Salah satu kabar baik dari triwulan pertama tahun 2014 ialah
tumbuhnya industri manufaktur. Produksi industri besar dan sedang mengalami
kenaikan sebesar 3.76% dibanding triwulan pertama 2013 year on year (yoy)
begitu pula dengan industri mikro dan kecil yang tumbuh sebesar 4,41% (yoy). Ditengah
arena persaingan ekonomi yang semakin ketat baik di pasar domestik maupun
internasional, kenaikan produksi industri manufaktur yang terjadi sejak tahun
2008 memberikan harapan positif untuk terus dapat bersaing dengan Negara-negara
lain.
Sayangnya, capaian produksi industri manufaktur musti
dibayar dengan ketergantungan bahan baku impor yang cukup tinggi. Penurunan
impor bahan baku dan barang modal selama bulan Januari hingga Maret 2014
sebesar 5,8% dan 6,5% ternyata memiliki dampak terhadap industri-industri yang
menyerap tenaga kerja lebih banyak. Seperti contohnya subsektor industri makanan
dan minuman dan subsektor industri tekstil yang menyerap tenaga paling banyak
pada sektor industri.
Subsektor industri makanan dan subsektor industri minuman
yang mengalami penurunan hingga 5% dan 6,4% dari triwulan sebelumnya (qoq).
Padahal, subsektor industri makanan dan minuman menyerap tenaga kerja hingga
19% daripada total tenaga kerja di sektor industri. Lain lagi dengan subsektor
tekstil yang memiliki predikat sebagai subsektor penyerap tenaga kerja
terbanyak kedua disektor industri. Subsektor industri tekstil memiliki ketergantungan
bahan baku serat impor hingga 66%. Ketika impor bahan baku dan barang modal
mengalami penurunan, terbukti subsektor industri tekstil mengalami penurunan
produksi hingga 6,6% (qoq) atau turun 5,9% (yoy).
Kenaikan produksi industri manufaktur dan penurunan laju
impor sebenarnya menjadi kabar baik
ditengah ketergantungan impor dan defisit neraca perdagangan yang sudah terjadi
dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, penurunan laju impor tersebut
ternyata berujung pada melemahnya kinerja sektor industri manufaktur yang
memiliki ketergantungan impor tinggi.
Selama tidak substitusi bahan baku produksi industri dari
bahan baku impor menjadi bahan baku lokal, selamanya industri nasional rentan
terhadap resiko perubahan ekonomi dunia.
Mimpi Negara Industri
Syarat utama untuk mampu menciptakan struktur industri
nasional yang kokoh ialah adanya rencana pembangunan industri yang mampu
menjawab tantangan jaman. Adanya industrial policy and strategy mutlak diperlukan oleh bangsa
yang memiliki sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusia yang besar.
sehingga pertumbuhan industri nasional ini mampu menyediakan lapangan kerja
seluas-luasnya bagi anak bangsa dan mempercepat transformasi menjadi Negara
maju.
Kesadaran pentingnya memajukan sektor industri sebenarnya
telah lama dicetuskan oleh para founding fathers. Angan-angan
industrialisasi pertama kali diterjemahkan oleh (alm) Prof.Sumitro
Djojohadikusumo dalam dokumen Rencana Urgensi Perindustrian 1951-1952.
Masterplan industri tersebut terbit pada Kabinet Natsir dan secara
berangsur-angsur dilaksanakan dan diperbaiki dalam Kabinet Sukiman dan Kabinet
Wilopo (Djojohadikusumo, 2000).
Jauh panggang dari api, perkembangan pembangunan industri
pada awal kemerdekaan Indonesia ternyata tidak sesuai dengan harapan semula. Kegagalan
industrialisasi pada awal kemerdekaan terjadi akibat tidak terintegrasinya
komponen-komponen impor, kebutuhan devisa, dan pembangunan industri pada
rancangan APBN di Kabinet Sukiman dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Ditambah
lagi pada saat itu belum berkembangnya penyediaan tenaga listrik di Indonesia.
Pada rezim orde baru, pelajaran ketidak-terintegrasinya
rencana pembangunan dipahami dengan baik oleh para ekonom orde baru. Dokumen Rencana
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) adalah jawaban untuk mengintegrasikan
rencana pembangunan nasional. Sayangnya pembangunan yang digalakkan oleh Orde Baru selama 32 tahun
sangat bertumpu pada hutang luar negeri dan sangat kental diwarnai oleh praktik-praktik
KKN. Kedua faktor tersebut akhirnya memukul telak bangsa Indonesia ketika
terjadi krisis moneter tahun 1998.
Hari ini, pembangunan industri nasional menghadapi tantangan
yang semakin kompleks: mulai dari kapasitas infrastruktur yang belum memadai,
keterampilan tenaga kerja yang rendah, ketidakseimbangan kebutuhan buruh dan
pengusaha, ancaman krisis pasokan energi, ketidakefisienan supply chain,
kesenjangan teknologi dengan Negara maju, juga persaingan kualitas dan harga
produk di arena perdagangan dunia yang semakin ketat.
Sayangnya, tantangan pembangunan industri yang semakin
kompleks, justru dijawab dengan rencana pembangunan industri yang justru lebih
kompleks. Pada puncaknya, terdapat RPJP sebagai acuan pembangunan yang kemudian
diterjemahkan dalam RPJM lima tahunan. Sebagai pelengkap RPJM dalam bidang
ekonomi, telah diterbitkan MP3EI melalui PerPres no.32/2011. Kehadiran RPJM dan
MP3EI masih akan ditambah lagi oleh Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
sebagaimana yang telah di amanatkan oleh UU no.3/2014 tentang Perindustrian. Belum
lagi bila kebijakan dan rencana pembangunan di tingkat nasional diintegrasikan
ditambah dengan kebijakan pembangunan daerah yang sangat beragam.
Belajar dari pahit dan manisnya sejarah pembangunan masa
lalu dan tantangan kedepan, kepemimpinan nasional kedepan harus mampu meramu
solusi pembangunan industri yang lebih komperhensif, tegas, implementatif, dan
mengintegrasikankan para stakeholder terkait untuk mencapai tujuan
bersama. Dengan demikian industri-industri anak bangsa besok mampu memanfaatkan
segenap potensi nasional, menyerap tenaga kerja lebih banyak, dan mampu bersaing
di arena internasional.
Artikel ini pernah dimuat di Harian Cetak KONTAN pada hari Jum'at, 9 Mei 2014
Artikel ini pernah dimuat di Harian Cetak KONTAN pada hari Jum'at, 9 Mei 2014
Komentar